Konferensi Nasional Tani Ke-II PKI

15-16 Juli 1961


Sumber: Konfernas Tani ke-II PKI., Djakarta: Jajasan "Pembaruan", 1962. Scan PDF Booklet


ISI

Perluas front persatuan tani anti-feodal untuk pelaksanaan perubahan tanah (Asmu)

Kembangkan pembentukan regu saling bantu kaum tani untuk memperkuat front persatuan tani anti-feodal (Djadi Wirosubroto)

Kesimpulan-kesimpulan Konfernas Tani ke-II PKI Perluas dan perkuat front persatuan tani anti-feodal

Pelaksanaan dengan sungguh-sungguh perubahan tanah syarat untuk melaksanakan pola pembangunan nasional semesta

Memenuhi kebutuhan sendiri bahan makanan terutama beras

Susun undang-undang perjanjian bagi hasil yang menguntungkan kaum nelayan

Laksanakan pembentukan swatantra tingkat III dan pendemokrasian tata-perdesaan untuk melaksanakan land reform

Jadikan PKI pemimpin tani yang sejati! (D.N. Aidit)

 

------------------------------------------

 

PERLUAS FRONT PERSATUAN TANI ANTI-FEODAL UNTUK PELAKSANAAN PERUBAHAN TANAH

POLITIK PERUBAHAN TANAH (LANDREFORM) MENJADI POLITIK BERSAMA PEMERINTAH DAN PENDUKUNG-PENDUKUNG MANIPOL

Oleh Asmu

 

Karena belajar dari pengalaman-pengalaman Revolusi Agustus 1945, sesuai dengan Resolusi “jalan Baru”, kaum Komunis Indonesia sadar, bahwa “ untuk memenangkan revolusi Indonesia terutama harus diusahakan penyelesaian soal agraria selekas-lekasnya”. Sejak itu, partai mulai memperbaiki pekerjaannya di kalangan kaum tani. Perhatian kader-kader Partai terhadap masalah tani makin hari makin bertambah besar dan pada bulan Juli 1953 Kawan D.N. Aidit menulis tentang “ Hari depan Gerakan Tani Indonesia” yang lebih menandaskan lagi pentingnya pekerjaan Partai di kalangan kaum tani,sebab-sebab keterbelakangan kaum tani di Indonesia dan cara-cara mengatasinya. Tulisan ini juga telah memegang peranan penting dalam menyiapkan pikiran anggota-anggota Partai menghadapi Kongres Nasional ke- V Partai, suatu kongres yang bersejarah bagi kaum tani, karena kongres ini adalah kongres yang pertama kali menunjukkan jalan pembebasan bagi kaum tani Indonesia dengan tuntutan-tuntutan mengakhiri untuk selama –lamanya, tidak hanya kekuasaan imperialis, tetapi juga kekuasaan feodal di desa-desa. Dengan keteguhan hati kongres Nasional ke- V Partai menerima tugas yang diajukan dalam Laporan Umum Kawan D.N. Aidit, yaitu: “tugas menarik kaum tani ke dalam front persatuan nasional, sebagai kewajiban yang pertama-tama bagi kaum Komunis Indonesia”. Untuk itu, maka tugas “melenyapkan sisa2 feodalisme, mengembangkan revolusi agraria anti-feodal dengan menyita tanah tuan tanah dan memberikan dengan cuma-cuma tanah tuan tanah kepada kaum tani, terutama kepada kaum tani tak-bertanah dan tani miskin sebagai milik perseorangan mereka”, diterima oleh Kongres sebagai kewajiban yang terdekat daripada kaum Komunis Indonesia.

Tugas melenyapkan sisa-sisa feodalisme sebagai salah satu tugas yang pokok untuk menyelesaikan tuntutan-tuntutan Revolusi Agustus 1945 sampai ke akar-akarnya yang diletakkan oleh Kongres Nasional ke-V yang juga diterima dan diperkuat oleh Kongres Nasional ke-VI Partai, adalah sesuai dengan politik Presiden Sukarno dalam “Jalannya Revolusi Kita” (“Jarek”) , dimana dinyatakan bahwa “Melaksanakan Land reform berarti melaksanakan satu bagian yang mutlak dari Revolusi Indonesia”, “Land reform di satu pihak berarti menghapuskan segala hak-hak asing dan konsesi-konsesi kolonial atas tanah, dan mengakhiri penghisapan feodal secara berangsur-angsur, di lain pihak Land reform berarti memperkuat dan memperluas pemilikan tanah untuk seluruh Rakyat Indonesia terutama kaum tani”. Juga semboyan “Tanah untuk Tani” adalah sesuai dengan politik Presiden Sukarno dalam “Jarek”, dimana ditandaskan bahwa “Tanah untuk mereka yang betul-betul menggarap tanah. Tanah tidak untuk mereka yang dengan duduk ongkang-ongkang menjadi gemuk- gendut karena menghisap keringatnya orang-orang yang disuruh menggarap tanah itu!”

Dewasa ini pelaksanaan politik perubahan tanah bukan hanya menjadi tuntutan PKI, tetapi menjadi politik resmi Pemerintah serta semua Partai dan golongan pendukung Manipol. Hal ini kecuali dinyatakan oleh Presiden Sukarno dalam “Jarek”, juga sudah dirumuskan dalam ketetapan MPRS No. II/MPRS/ 1960 dimana dinyatakan bahwa: “Land reform sebagai bagian mutlak daripada Revolusi Indonesia adalah basis pembangunan semesta yang berdasarkan prinsip, bahwa tanah sebagai alat produksi tidak boleh dijadikan alat penghisapan “. Ini berarti bahwa tanpa melaksanakan perubahan tanah yang menguntungkan kaum tani tidak mungkin dilaksanakan pola pembangunan Nasional Semesta Berencana dan karenanya politik perubahan tanah harus dilaksanakan dengan sungguh-sungguh oleh Pemerintah dengan sokongan partai-partai dan golongan-golongan pendukung Manipol.

PERUBAHAN TANAH YANG DIPERJUANGKAN PKI

Program Umum PKI antara lain menyatakan bahwa: “Jika Indonesia mau maju dari suatu negeri setengah jajahan dan setengah-feodal menjadi negeri merdeka, demokratis, makmur, dan maju, maka adalah soal yang pokok, di atas segala-galanya, menyelesaikan tuntutan-tuntutan Revolusi Agustus 1945 sampai ke akar-akarnya “. Artinya, kekuasaan kaum imperialis asing dan kaum tuan tanah harus dimusnahkan. Ini berarti bahwa: “Hubungan agraria dan pertanian tidak seharusnya bersifat imperialis dan feodal, melainkan harus bersifat merdeka dan demokratis. Oleh sebab itu semua tanah yang dimiliki oleh para tuan tanah asing maupun para tuan tanah Indonesia harus disita tanpa penggantian kerugian. Kepada kaum tani, pertama-tama kepada kaum tani tak bertanah dan kaum tani miskin, diberikan dan dibagikan tanah dengan cuma-cuma. Tanah-tanah harus dibagikan kepada anggota keluarga kaum tani seorang-seorang. Sistem milik tanah haruslah sistem milik tanah kaum tani, artinya milik perseorangan kaum tani atas tanah. Perkebunan-perkebunan yang berteknik modern, juga tanah-tanah hutan, tidak dibagikan kepada kaum tani melainkan harus dikuasai oleh negara. Tanah dan milik lain dari kaum tani sedang dilindungi oleh Pemerintah. Sistem rodi, pologoro, dan perbudakan feodal lainnya dihapuskan”.

Inilah politik perubahan tanah yang terus- menerus telah dan akan dipropagandakan dan diperjuangkan oleh PKI.

SIKAP PKI TERHADAP LANDREFORM PEMERINTAH

Setelah UU No. 2 tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil dan UU No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria disetujui oleh DPRGR dan kemudian diundangkan berlakunya oleh Pemerintah, terdapatlah dasar-dasar hukum bagi Pemerintah dan Rakyat Indonesia untuk melaksanakan perubahan tanah. Pelaksanaan kedua UU itu belum menghapuskan sama sekali kekuasaan imperialis dan tuan tanah, melainkan baru membatasinya saja. Dengan pelaksanaan kedua UU itu, kapitalis monopoli masih mendapat jaminan tanah. Meskipun macam hak dan lamanya kontrak secara formal dikurangi. Hak tuan tanah untuk monopoli tanah masih tetap berlaku, meskipun sudah dikurangi berhubung dengan hapusnya hak-hak luar biasa atas tanah swapraja dan bekas swapraja serta dengan pembatasan maksimum luas tanah yang boleh dimiliki oleh tiap-tiap keluarga tuan tanah. Juga penghisapan tuan tanah atas kaum tani dikurangi berhubung dengan ketentuan pembebasan gadai tanah setelah berlaku 7 tahun serta ketentuan untuk melarang sistem “sromo” (penegul atau uang pelais di Bali, Ulu-taon didaerah Toba ) baik berupa uang, benda, maupun tenaga kerja, untuk mengembalikan biaya pupuk, bibit, ternak, biaya tanam dan panen kepada kaum tani penyewa tanah tuan tanah.

Meskipun perubahan tanah berdasarkan UU No. 5 tahun 1960 masih bersifat terbatas dan belum menghapuskan sama sekali kekuasaan imperialisme dan feodalisme atas ekonomi negeri kita, PKI menyokong pelaksanaan kedua UU itu. Karena pelaksanaan kedua UU itu dalam batas-batas tertentu meringankan beban kaum tani penyewa tanah tuan tanah dan memberi kemungkinan kepada sebagian kaum tani tak bertanah dan tani miskin untuk memperjuangkan pembelian tanah garapan dengan harga layak dan angsuran ringan. Mengenai alasan mengapa PKI menyokong pelaksanaan politik perubahan tanah yang masih bersifat terbatas ini, telah pula disimpulkan dalam Laporan Umum CC kepada Kongres Nasional ke-VI PKI yang disampaikan oleh kawan D.N. Aidit yang berjudul “Untuk Demokrasi dan Kabinet Gotong-Royong”, yang antara lain menyatakan sbb:

“Konferensi Nasional Tani PKI yang dilangsungkan pada pertengahan April 1959 adalah sangat penting artinya dalam usaha memperbaiki pekerjaan Partai di kalangan kaum tani. Dalam Konfrensi itu antara lain disimpulkan bahwa: Tugas terpenting revolusi Indonesia pada tingkat sekarang ialah menggulingkan kekuasaan musuh dari luar yaitu imperialisme, dan menggulingkan kekuasaan tuan tanah feodal dalamnegeri. Tetapi dikatakan juga dalam dokumen-dokumen Partai kita, bahwa yang primer ialah menggulingkan imperialisme dan feodalisme tetapi musuh yang terpokok ialah imperialisme.

Dalam pelaksanaan garis umum ini, yaitu pelaksanaan dari dua tugas pokok ini, ada dua kecenderungan terdapat di kalangan kader-kaderPartai. Yang pertama ialah kecenderungan mau memisahkan dua tugas ini, seolah-olah satusamalain tidak ada hubungannya, sedangkan yang kedua ialah kecenderungan yang mau membikin identik (sama) dua tugas ini sejak permulaan. Kedua kecenderungan ini harus kita lawan.

Dilihat dari sudut strategi atau dilihat dari tugas menyelesaikan Revolusi Agustus 1945 sampai keakar-akarnya, dua tugas tersebut di atas sangat erat hubungannya dan tak terpisahkan satu dengan yang lainnya. Strategi kita atau penyelesaian Revolusi Agustus sampai ke akar-akarnya berarti menggulingkan kekuasaan imperialisme dan feodalisme.

Selanjutnya, disimpulkan bahwa:

Dilihat dari sudut taktik, dua tugas tersebut di atas, yaitu tugas menggulingkan kekuasaan imperialisme dan kekuasaan feodalisme tidak bisa dilakukan sekaligus, dilihat dari sudut taktik pada waktu dan keadaan tertentu seperti sekarang ini, ujung tombak daripada revolusi pertama-tama harus ditujukan kepada musuh-musuh asing (imperialisme) dan para tuan tanah serta borjuasi yang menjadi agen-agen musuh-musuh asing itu.

Tetapi dengan kesimpulan-kesimpulan di atas tidaklah berarti bahwa PKI sekarang tidak menggabungkan diri pada kaum tani dalam melawan kaum tuan tanah. PKI tetap berdiri di barisan paling depan sekarang dan di kemudian hari, dalam membela kepentingan kaum tani, dan tentang ini disimpulkan sebagai berikut:

Berdasarkan garis umum tersebut di ataslah, maka dalam program tidak dicantumkan soal menyita milik tanah semua tuan tanah. PKI hanya menuntut supaya milik tanah para tuan tanah imperialisme asing dan milik tanah para tuan tanah bumiputra yang memihak DI-TII dan “PRRI-Permesta” disita dan dibagikan secara cuma-cuma kepada kaum tani. Ini adalah adil dan ini adalah keharusan jika kita mau mengalahkan sampai ke akar-akarnya gerombolan-gerombolan bandit DI-TII dan “PRRI- Permesta“, karena di samping dapat bantuan kaum imperialis, gerombolan-gerombolan bandit ini mempunyai penyokong-penyokong dari kalangan tuan tanah bumiputra.

Berdasarkan garis umum tersebut di atas, dalam program tuntutannya PKI hanya menuntut pengurangan sewa tanah bagi penggarap. Jika sekarang pada umumnya pembagian hasil panen antara penggarap dan tuan tanah diatur 5: 5, maka sekarang PKI menuntut supaya pembagian diatur 6: 4, artinya untuk penggarap minimum 6 bagian sedangkan untuk tuan tanah maximum 4 bagian. Bahwa PKI tidak bermaksud untuk menyita tanah-tanah tuan tanah yang tidak memihak imperialis, jelas sekali dari kesimpulan, bahwa tuan tanah tidak akan mendapat kurang dari 25%, kecuali yang selama ini memang sudah mendapat kurang dari 25%”.

Inilah alasannya mengapa PKI menyokong pelaksanaan politik Land reform berdasarkan pelaksanaan UU No. 5 tahun 1960 beserta UU No. 56 Prp tahun 1960. Karena PKI berpendapat, jika kedua UU itu dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dalam batas-batastertentu dapat meringankan beban penghidupan kaum tani.

PERUBAHAN TANAH TERLAKSANA JIKA KAUM TANI SENDIRI BERTEKAD MEMBEBASKAN DIRI DARI TUAN TANAH

Seperti yang dinyatakan dalam Laporan Umum Kawan D.N Aidit kepada sidang Pleno ke- II CC PKI yang berjudul “Maju Terus Menggempur Imperialisme dan Feodalisme!”.“perubahan tanah hanya bisa terlaksana jika dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip ‘kaum tani sendiri membebaskan diri dari tuan tanah‘, artinya tidak ada dapat membebaskan kaum tani kecuali kaum tani sendiri”. Pengalaman selama ini dalam menghadapi pelaksanaan UU-PBH, UUPA, beserta UU No. 56 Prp tahun 1960, membenarkan kesimpulan tersebut. UU yang sedikit maju ini bisa berjalan jika ada desakan-desakan yang kuat dari kaum tani sendiri.

Kaum tani pasti dapat membebaskan diri dari tuan tanah apabila ia sandar-menyandar dengan proletariat, satu-satunya kelas yang konsekuen membela kaum tani dan dengan teguh membela revolusi, yang berjuang “sepi ing pamrih, rame ing gawe”, untuk memenangkan revolusi dan karenanya memikul tugas sejarah untuk memimpin revolusi. Untuk menunaikan tugas sejarah itu, proletariat memerlukan sandaran yang terpercaya, yaitu massa kaum tani yang luas, terutama buruh tani dan tani miskin. Oleh karena itu, terdapat syarat-syarat obyektif untuk sandar-menyandar antara proletariat dengan kaum tani, Karena proletariat perlu bersandar pada kaum tani untuk memenangkan revolusi, sedang kaum tani perlu bersandar pada pimpinan proletariat untuk membebaskan dirinya dari tuan tanah.

Kecuali sandar-menyandar dengan proletariat, kaum tani sendiri harus memperluas dan memperkuat persatuannya serta mempertinggi taraf perjuangannya ke tingkat perjuangan yang konsekuen anti-feodal. Front persatuan tani anti-feodal dapat benar-benar luas dan kuat,apabila front itu dengan teguh melaksanakan garis bersandar pada buruh tani dan tani miskin, bersatu dengan tani sedang, menetralisasi tani kaya, memencilkan serta melawan setingkat demi setingkat tuan tanah dan dengan secara membeda-bedakan, seperti yang telah berulang kali ditunjukkan PKI.

Kaum tani pasti akan mencapai kebebasannya dengan memperluas dan memperkuat front persatuan tani anti-feodal dan dengan bersandar pada pimpinan proletariat.

AKSI TURUN SEWA SEBAGAI POROS GERAKAN KAUM TANI

Konfernas Tani Pertama Partai dalam bulan April1959 telah menyimpulkan untuk menjadikan 6: 4 atau aksi “turun sewa” sebagai poros gerakan kaum tani. Kesimpulan ini kemudian dibenarkan dan diperkuat oleh Kongres Nasional ke-VI Partai. Berdasarkan kesimpulan itu Partai mulai mengembangkan aksi-aksi kaum tani untuk menuntut diturunkannya sewa tanah (setoran)kepada para tuan tanah, baik sewa tanah dalam bentuk hasil bumi, uang, maupun tenaga kerja.

Kegiatan membangkitkan, mengorganisasi, memobilisasi dan memimpin aksi-aksi kaum tani untuk menuntut diturunkannya sewa tanah (setoran)pada tuan tanah ini segera dikombinasikan dengan kegiatan Fraksi Partai di dalam Parlemen. Atas usul inisiatif anggota Fraksi Partai dalam Parlemen, kawan Djadi Wirosubroto dkk, telah diajukan RUU-PBH kepada Parlemen. Berkat desakan-desakan kaum tani dengan sokongan golongan-golongan demokratis lainnya, akhirnya Parlemen menyetujui UU No. 2 tahun1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil yang diundangkan oleh Pemerintah pada tanggal 7 Januari 1960. UU PBH ini beserta Pedoman pelaksanaannya dalam batas-batas tertentu meringankan beban kaum tani penyewa tanah, karena:

a. Biaya untuk bibit, pupuk, ternak, serta biaya-biaya untuk menanam dan panen, yang pada umumnya dikeluarkan oleh kaum tani penggarap, dikembalikan dengan diambilkan dari sebagian hasil panen kotor sebelum dibagi. Menurut perhitungan, pada umumnya biaya-biaya itu tidak kurang dari 20% hasil panen. Dengan demikian di daerah-daerah dimana dulu kaum tani menerima 50% dari hasil panen, dengan pelaksanaan UU PBH dapat menerima sekurang-kurangnya 20% ditambah 1/2x 80%, yaitu sekurang-kurangnya 60% dari hasil panen.

b. Melarang penarikan uang atau benda apapun juga oleh pemilik tanah pada penyewa tanah sebagai syarat untuk memperoleh hak mengerjakan tanah serta melarang pembayaran-pembayaran antara pemilik dengan penyewa tanah yang mempunyai unsur-unsur ijon.

c. Dalam Panitia-panitia Pertimbangan Kecamatan duduk wakil-wakil organisasi tani.

d. Dalam menetapkan imbangan bagi-hasil, kepala daerah diwajibkan meminta pertimbangan juga kepada golongan karya tani, di samping kepada BPH dan pejabat-pejabat yang mempunyai keahlian di lapangan pertanian.

Segi yang kurang menguntungkan bagi kaum tani penggarap antara lain ialah tidak dicantumkannya dalam UU PBH larangan mencabut tanah garapan bagi para tuan tanah.

Kecuali itu, ketentuan-ketentuan UU PBH dikenakan kepada semua pemilik tanah yang menyewakan tanah kecil. Dengan diundangkannya UU PBH aksi-aksi turun sewa yang adil dan masuk akal adalah sah menurut hukum. Tetapi, jika kita begitu saja dan kurang kritis dalam menggunakan UU PBH, maka semua penyewaan tanah kecil, akan menjadi sasaran aksi turun sewa. Karena tuan tanah mempunyai kedudukan ekonomi dan politik yang masih kuat, maka lebih sukar dituntut untuk melaksanakan UU PBH. Sedangkan penyewaan tanah kecil, karena kedudukannya lemah dalam ekonomi dan politik, akan lebih mudah dituntut untuk melaksanakan UU PBH. Hal ini telah dibuktikan oleh pengalaman di beberapa daerah.

Berdasarkan laporan-laporan dapat kita ketahui bahwa di sementara daerah Kabupaten telah ditandatangani surat-surat perjanjian, antara lain sbb:

dari 1.062 penggarap berhadapan dengan 303 pemilik tanah, luas tanah seluruhnya 231. 125 ha;

dari 481 penggarap berhadapan dengan 268 pemilik tanah, luas tanah seluruhnya 177,229 ha;

dari 2 penggarap berhadapan dengan 1 pemilik tanah, luas tanahnya 1,225 ha;

dari 309 penggarap berhadapan dengan 103 pemilik tanah, luas tanah seluruhnya 93,50 ha;

Dari angka-angka itu dapatlah disimpulkan bahwa di daerah-daerah Kabupaten tersebut telah berlangsung aksi-aksi kaum tani menuntut diturunkannya sewa tanah juga kepada penyewaan tanah kecil. Bahkan mungkin tidak kepada tuan tanah, atau kepada sedikit tuan tanah dan kepada banyak penyewaan tanah kecil. Ini berarti, meskipun aksi turun sewa meluas, tetapi front persatuan tani anti-feodal tidak meluas dan bahkan bisa rusak. Kita harus secara kritis menggunakan UU-PBH untuk meratakan jalan mengembangkan aksi-aksi 6: 4 (turun sewa) dan mengembangkan front persatuan tani anti-feodal. Sasaran aksi ini adalah tuan tanah, termasuk tuan tanah kedua dan tani kaya setengah tuan tanah. Dengan penyewaan tanah kecil diadakan perundingan-perundingan atas dasar saling-menguntungkan.

Tindakan-tindakan yang keliru, yaitu secara mekanis menggunakan UU-PBH untuk menuntut turun sewa samarata kepada semua penyewaan tanah, lebih-lebih kepada penyewaan tanah kecil tidak kepada tuan tanah,perlu segera dibetulkan. Karena kekeliruan semacam itu mengaburkan kaum tani terhadap sasaran pokokperjuangan tani dan revolusi, yaitu para tuan tanah feodal. Kekeliruan itu bisa merusak usaha-usaha menggalang front persatuan tani anti-feodal .

Tenaga pokok gerakan turun sewa adalah kaum tani penyewa tanah tuan tanah. Mereka terdiri dari golongan-golongan buruh tani, tani miskin dan tani sedang-sewa. Semua kaum tani penyewa tanah tuan tanah dengan tidak memandang aliran politik dan kepercayaan, baik anggota maupun bukan anggota organisasi revolusioner, diorganisasi dalam kelompok-kelompok. Kelompok kaum tani penyewa tanah tuan tanah ini bersifat tetap (permanen) atau sekurang-kurangnya setengah tetap. Jumlah anggota kelompok tidak boleh terlalu besar. Pengalaman menunjukkan bahwa kelompok-kelompok yang terlalu besar tidak dapat bekerja secara efektif, misalnya sukar berkumpul, sukar memberikan penerangan dan pendidikan yang mendalam, dsb. Masing-masing kelompok memilih secara demokratis ketua kelompoknya, dipilih dari kalangan anggota kelompok yang semangat anti-feodalnya paling tinggi dan paling teguh dalam membela kepentingan kaum tani penyewa tanah tuan tanah. Melalui kelompok-kelompok ini kaum penyewa tanah dididik untuk mengetahui, bahwa kemelaratan dan keterbelakangan mereka adalah akibat penghisapan tuan tanah; bahwa bukan tuan tanah yang memberi hidup kepada kaum tani melainkan sebaliknya kaum tanilah yang menghidupi tuan tanah: bahwa tuan tanah benar-benar menghisap mereka,karena meskipun memiliki tanah tetapi tidak mengerjakan sendiri tanahnya dan menarik sebagian hasil panen kaum tani yang mengerjakan tanah itu; bahwa dalam pekerjaan produksi pertanian peranan kerja lebih penting daripada tanah,oleh karena itu tuntutan kaum tani akan penurunan sewa tanah adalah adil, lebih-lebih jika dihitung perbandingan biaya mengerjakan tanah dengan hasil panen yang menjadi bagian kaum tani. Melalui kelompok-kelompok ini kaum tani diberi keyakinan bahwa dengan memperluas dan memperkuat persatuan mereka mampu menundukkan tuan tanah untuk memenuhi tuntutan-tuntutan mereka yang adil. Garis aksi adalah tetap garis aksi “kecil hasil” yang dengan teguh memegang prinsip: adil, menguntungkan, dan tahu batas.

Melalui kelompok-kelompok ini kaum tani penyewa tanah tuan tanah dibangkitkan, diorganisasi, dimobilisasi, dan dipimpin untuk menuntut diturunkannya sewa tanah dari tuan tanah berdasarkan pelaksanaan UU-PBH. Di samping itu kaum tani penyewa tanah tuan tanah juga diorganisasi dalam pekerjaan-pekerjaan gotong-royong saling-bantu.

Melalui kelompok-kelompok ini aktivis-aktivis yang berasal dari buruh tani dan tani miskin bisa berkembang menjadi kader-kader gerakan tani yang bersemangat dan berwatak kelas buruh yang teguh.

Kelompok-kelompok kaum tani penyewa tanah tuan tanah adalah organisasi pendidikan, baik mengenai organisasi maupun produksi, organisasi basis aksi dan benteng persatuan bagi kaum tani dalam melawan penghisapan feodal dari tuan tanah serta sumber kader buruh tani dan tani miskin yang teruji dan berwatak yang teguh. Oleh karena itu perlu diberikan perhatian istimewa kepada kelompok-kelompok ini, misalnya dalam membantu usaha-usaha mereka meningkatkan pengetahuan dan kesadaran ketua-ketua dan anggota-anggota kelompok, dalam membantu usaha-usaha mereka mempererat hubungan dan memperkokoh persatuan di antara sesama anggota serta dalam mengkoordinasi kelompok-kelompok dalam menghadapi tuan tanah

Sudah sejak lama disimpulkan bahwa aksi-aksi turun sewa harus dipadu dengan aksi-aksi menuntut dinaikkannya upah buruh tani dan aksi-aksi menuntut diturunkannya bunga-pinjaman kaum tani oleh tuan tanah dan lintah-darat.

Dengan memadukan gerakan-gerakan tersebut front persatuan tani anti-feodal dapat diperluas dan diperkuat. Tentang masalah ini dalam tulisan “ Untuk Mengatasi Kelemahan Pekerjaan Partai Di lapangan Perjuangan Tani “ (Maret 1955) telah dikemukakan antara lain sebagai berikut: Hakekat daripada front persatuan tani adalah front persatuan dari golongan-golongan buruh tani, tani miskin, dan tani sedang. ~ dengan buruh tani dan tani miskin sebagai tulang punggung ~ “ yang mampu menetralisasi tani kaya untuk mengakhiri kekuasaan tuan tanah. Yang dapat menjamin secara mutlak kebulatan front persatuan tani ini, ialah pelaksanaan politik penyitaan tanah tuan tanah dan pembagian tanah dengan cuma-cuma, terutama kepada tani miskin dan tani tak bertanah sebagai milik perseorangan mereka. Politik ini sekarang belum terlaksana. Perlawanan terhadap tuan tanah pada umumnya baru terbatas pada menuntut penurunan sewa tanah dan bunga pinjaman. Berhasilnya tuntutan ini baru menguntungkan kaum tani yang mampu mengerjakan tanah, yang sedikit banyak mempunyai modal pertanian dan kaum tani yang percaya mendapatkan pinjaman yang umumnya terdiri dari tani sedang-sewa dan sebagian kecil tani miskin. Sedangkan sebagian besar dari golongan buruh tani dan tani miskin tidak mendapat keuntungan langsung dari kemenangan aksi ini. Apabila dalam aksi-aksi menuntut penurunan sewa tanah kepada tuan tanah tidak sekaligus diorganisasi aksi-aksi menuntut kenaikan upah buruh tani di lapangan pertanian, dengan sendirinya sebagian besar dari golongan buruh tani dan tani miskin akan merasa tidak mempunyai kepentingan langsung dan tidak mungkin menyokong aksi itu dengan teguh. Dengan demikian front persatuan tani akan kehilangan tulangpunggungnya. Jadi, untuk menjaga kebulatan front persatuan tani, malahan dalam aksi-aksi menuntut penurunan sewa tanah dari tuan tanah sekali-kali tidak boleh dikesampingkan aksi-aksimenuntut kenaikan upah buruh tani di lapangan pertanian (upah mencangkul, menanam, menyiangi rumput, mengetam, dsb). Pelaksanaan semboyan ‘saling menguntungkan’ antara tani sedang dan buruh tani dan tani miskin adalah jaminan untuk menjaga persatuan di antara ketiga golongan tani itu dalam front persatuan tani. Sebaliknya, tuntutan kenaikan upah buruh tani di lapangan pertanian kepada tani kaya dan tuan tanah dilaksanakan berdasarkan keuntungan buruh tani dan tani miskin semata-mata”.

Pengalaman menghadapi pelaksanaan UU-PBH sebagai jalan untuk lebih mengembangkan gerakan 6: 4 (turun sewa), lebih meyakinkan kita tentang peranan perpaduan poros gerakan turun sewa dengan aksi-aksi naik upah dan turun bunga untuk memperluas dan memperkuat front persatuan tani anti-feodal di desa-desa, terutama untuk melawan pencabutan-pencabutan tanah garapan kaum tani oleh tuan tanah yang anti-UU PBH. Di tempat-tempat dimana front persatuan tani cukup luas dan kuat berkat perpaduan gerakan turun sewa dengan aksi-aksi naik upah dan turun bunga, tuan tanah sukar mencabut tanah garapan kaum tani, karena sulit menarik kaum tani miskin mengkhianati front persatuan tani dan dijadikan penggarap tani baru oleh tuan tanah dengan syarat-syarat bagi hasil lama yang berat. Dan jika tuan tanah akan mengusahakan tanahnya secara kapitalis dengan menggunakan tenaga buruh tani,maka dia akan menghadapi aksi-aksi buruh tani yang menuntut kenaikan upah.

Adalah tepat sekali pengalaman beberapa daerah yang menjadikan tuan tanah juga sasaran pertama aksi-aksi naik upah di samping tani kaya, dengan membedakan tuntutan upah untuk pekerjaan yang sama untuk kepada tuan tanah lebih tinggi daripada tuntutan kepada tani kaya .

Cara ini memberi pendidikan kepada kaum tani untuk membedakan sikap terhadap tuan tanah dengan sikap terhadap tani kaya, untuk lebih memencilkan tuan tanah, di samping tetap mengajukan tuntutan-tuntutan yang wajar kepada tani kaya, yang meskipun bukan musuh pokok revolusi tetapi berkedudukan sebagai kelas penghisap. Membedakan sikap terhadap tani kaya dengan sikap terhadap tuan tanah, juga mendorong tani kaya untuk tidak mengambil sikap yang sama reaksionernya terhadap gerakan kaum tani seperti tuan tanah.

Di samping membedakan tuntutan kenaikan upah terhadap tuan tanah dengan terhadap tani kaya, adalah penting untuk mendidik kaum tani miskin supaya menyelesaikan masalah upah buruh tani terhadap tani sedang dengan jalan berunding atas dasar saling menguntungkan. Sedang di antara sesama tani miskin supaya dikembangkan pekerjaan saling bantu atau gotong-royong secara adil.

Aksi-Aksi naik upah mempunyai banyak ragam. Di suatu daerah misalnya, buruh tani wanita penanam padi mengajukan tuntutan “upah tetap, nuk tambah” (upah tetap, nasi tambah, misalnya dari 2 bungkus menjadi 4 bungkus nasi ). Di daerah lain lagi kaum buruh tani pengetam padi mengajukan semboyan “njonggah dekat, bawon tambah” (mengangkut padi dekat, upah mengetam tambah), karena tuan tanah di daerah itu lazimnya mewajibkan buruh tani pengetam padi mengangkut hasil padinya dari sawah sampai ke lumbung tuan tanah dan baru di depan lumbung itulah diberikan upah rendah.

Untuk memperkuat aksi-aksi naik upah, seperti halnya dalam aksi-aksi turun sewa, perlu diorganisasi kelompok-kelompok buruh tani menurut lapangan kerjanya, seperti kelompok-kelompok buruh tani pencangkul, penanam padi, penyiang rumput, pengetam padi, dan sebagainya. Kelompok-kelompok ini lebih banyak bersifat sementara (tidak tetap). Semua kaum tani, baik wanita maupun laki-laki, yang akan memburuh, berdasarkan sesuatu lapangan kerja diorganisasi dalam kelompok-kelompok dengan tidak memandang aliran politik, keanggotaan organisasi, kepercayaan, dan kedudukan kelas, artinya apakah dia seorang buruh tani, tani miskin atau tani sedang yang kebetulan mencari kesempatan memburuh sebagai tambah penghasilan. Sudah barang tentu, tenaga pokok gerakan ini adalah buruh tani dan tani miskin.

Peranan kelompok-kelompok buruh tani berdasarkan lapangan kerja bagi aksi-aksi kenaikan upah buruh tani adalah sama seperti peranan kelompok-kelompok kaum tani penyewa tanah tuan tanah bagi aksi-aksi turun sewa.

Karena banyaknya jumlah penganggur dan setengah penganggur di desa yang terdiri dari kaum buruh tani dan tani miskin, maka aksi-aksi naik upah tidak jarang mendapat saingan dari buruh tani pendatang dari daerah lain. Oleh karena itu, pekerjaan agitasi dan propaganda dalam mempersiapkan aksi-aksi naik upah perlu dijalankan seluas-luasnya. Kelompok-kelompok buruh tani berdasarkan lapangan kerja perlu dibentuk dimana-mana. Untuk ini diperlukan banyak tenaga propagandis dan organisator. Berdasarkan aksi-aksi yang berhasil di suatu tempat, kebutuhan akan tenaga propagandis dan organisator ini pasti dapat dipenuhi. Pengalaman mengajar kita, bahwa kaum buruh tani dan tani miskin yang berabad-abad ditempatkan dalam kedudukan “serba salah dan serba kalah” oleh tuan tanah, sekali mendapat kemenangan, mereka akan bangkit, dan dengan semangat menyala-nyala mengambil bagian aktif dalam pekerjaan propaganda dan organisasi secara sukarela.

Inilah sebabnya, mengapa dalam gerakan turun sewa yang dipadu dengan aksi-aksi naik upah dan turun bunga, Partai menganjurkan diadakannya daerah teladan, yaitu daerah dimana terdapat syarat-syarat kemenangan aksi yang paling baik. Di daerah-daerah teladan bisa didapat pengalaman yang berharga sekali bagi kader dan massa kaum tani dalam menyiapkan dan melaksanakan aksi-aksi. Itulah juga sebabnya mengapa pada permulaan membangkitkan, mengorganisasi, memobilisasi, dan memimpin aksi-aksi kaum tani, kita harus berpegang teguh pada prinsip “bersandar pada massa”, pada prinsip aksi “kecil hasil” dan pada prinsip “adil, menguntungkan, dan tahu batas”, artinya, di dalam aksi-aksi kita harus lebih menekankan kepada berhasilnya tuntutan atau kemenangan aksi daripada tingginya tuntutan. Karena dengan kemenangan itu, biarpun kecil hasilnya, kita dapat meningkatkan kesadaran kaum tani dan menjadikan mereka kekuatan yang aktif dalam gerakan kaum tani, sehingga akhirnya sanggup membebaskan diri sendiri dari penghisapan tuan tanah .

Berkat aksi-aksi buruh tani, upah buruh tani di desa-desa di beberapa daerah sudah naik rata-rata 20-50%, dan bahkan adalah yang lebih dari 50%. Ini sangat membantu memperkuat aksi-aksi buruh tani yang bekerja di perusahaan-perusahaan pertanian tebu, tembakau, rosella, di perkebunan-perkebunan dan di kehutanan-kehutanan untuk mendapatkan kenaikan upah. Kenyataannya sekarang upah buruh tani di desa D Sragen misalnya, upah mencangkul pada kebun-kebun tebu adalah Rp. 7.50 sehari tanpa makan dan minum, sedangkan upah mencangkul di desa pada waktu yang sama ialah Rp. 10.- sehari dengan makan dan minum teh sekedarnya. Upah menyiangi rumput dan tanam padi bagi buruh tani wanita di desa Rp. 6.- sehari dengan makan dua kali sebungkus nasi. Sedangkan di kebun tebu hanya Rp. 6.- sehari tanpa mendapat jaminan makan dan minum.

Persoalan lain yang harus mendapat perhatian, ialah mengembangkan gerakan “turun bunga”. Kaum tani masih memikul beban bunga-pinjaman yang berat dari lintah darat dan tuan tanah dalam bentuk bunga-pinjaman, gadai gelap dan ijon seperti dibuktikan hasil penelitian yang dilaporkan dalam Konfernas Tani ke-I Partai. Di samping itu, kaum tani masih juga memikul bunga-pinjaman yang cukup berat dari sementara badan-badan perkreditan pemerintah, seperti dari penggadaian negara 36%, dari Padi Sentra 25% dan dari Bank Desa atau Lumbung Desa 40% setahun. Kecuali aksi-aksi langsung menuntut dikuranginya bunga-pinjaman, aksi turun-bunga dapat juga berbentuk tuntutan penundaan angsuran atau perpanjangan jangka waktu angsuran.

Berhubung dengan pelaksanaan UUPA dan UU No. 56 Prp tahun 1960, gerakan “ turun bunga” dapat dikembangkan dalam bentuk “pembebasan gadai tanah setelah berumur 7 tahun tanpa tebusan”,ataupun “gerakan menebus gadai tanah sebelum 7 tahun dengan syarat-syarat yang agak ringan,” sesuai dengan ketentuan-ketentuan UU No. 56 Prp tahun 1960 pasal 7.

Perlu diingat, bahwa gerakan “turun bunga” dan “bebas gadai tanah” ini sangat erat berhubungan dengan kegiatan aktivis-aktivis Partai dalam memimpin kaum tani mengorganisasi diri dalam koperasi-koperasi dan dengan kegiatan kaum tani miskin menuntut dilaksanakannya jaminan kredit yang mudah, langsung, panjang, dan berbunga rendah kepada petani-petani miskin seperti dinyatakan dalam Program Tuntutan Partai.

Di beberapa daerah, terutama di Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Timur, gerakan “turun sewa” yang dipadukan dengan gerakan “naik upah” sudah mulai meluas, sedangkan gerakan “ bebas gadai tanah 7 tahun” mulai berkembang di beberapa tempat.

Berkembangnya gerakan ini telah membikin organisasi tani revolusioner makin berpengaruh. Keanggotaan organisasi bertambah, meskipun terpaksa mengalami kekangan-kekangan kebebasan-kebebasan demokratis. Juga komposisi keanggotaan organisasi tani revolusioner makin bertambah baik dengan semakin banyaknya masuk buruh tani dan tani miskin menjadi anggota. Kejadian ini mempunyai arti yang sangat penting,karena dengan demikian organisasi tani revolusioner menjadi bertambah luas dan wataknya yang anti-imperialis dan anti-feodal makin menjadi teguh.

Peranan kaum wanita dan pemuda tani dalam aksi-aksi “turun sewa” dan “naik upah”, terutama peranan kaum wanita dalam aksi-aksi“naik upah”, adalah sangat penting, dan dalam beberapa hal, misalnya dalam aksi menuntut kenaikan upah menanam padi, menyiangi rumput, dan memotong padi, bahkan menentukan kemenangan aksi. Berkembangnya aksi turun sewa, yang dipadukan dengan aksi-aksi naik upah dan turun bunga tidak hanya mendorong maju organisasi tani revolusioner, tetapi juga mendorong maju organisasi-organisasi wanita dan pemuda revolusioner serta organisasi-organisasi lainnya di desa, seperti organisasi-organisasi koperasi termasuk koperasi produksi,pendidikan terutama PBH, kesenian, dan olahraga. Kemajuan organisasi-organisasi ini sangat membantu pelaksanaan tugas-tugas membangkitkan, mengorganisasi, memobilisasi, dan memimpin aksi-aksi kaum tani untuk turun sewa, naik upah, dan turun bunga, artinya sangat membantu pelaksanaan tugas-tugas memperluas dan memperkuat front persatuan tani anti-feodal di desa. Dengan demikian terdapat pengaruh timbal-balik antara meluasnya aksi-aksi kaum tani dengan berkembangnya organisasi-organisasi massa revolusioner, di desa dan dengan diperluas dan diperkuatnya front persatuan tani anti-feodal. Berkembangnya aksi-aksi turun sewa, naik upah, dan turun bunga telah mendorong kaum tani mencapai kemajuan-kemajuan di lapangan produksi,kebudayaan, dan tingkat kesadaran politik.

Dapatlah disimpulkan bahwa untuk memperluas dan memperkuat front persatuan tani anti-feodal harus diamalkan gerakan “6 baik” di kalangan kaum tani miskin, untuk melaksanakan “2 turun” dan “4 naik”, yaitu: turun sewa , turun bunga, naik upah, naik produksi, naik kebudayaan, dan naik politik.

Meskipun gerakan “turun sewa” sudah mempunyai dasar-dasar hukum sesuai dengan ketentuan-ketentuan UU No. 2 tahun 1960 dan Pedoman pelaksanaannya, tetapi gerakan “turun sewa“ menghadapi rintangan-rintangan yang cukup besar, terutama dari tuan tanah dan dari sementara pejabat. Kita perlu mengadakan penelitian dan mengambil sikap yang tepat untuk mendorong pelaksanaan UU-PBH. Terhadap pejabat-pejabat yang ragu-ragu dalam melaksanakan UU-PBH, kita harus bersikap membantu dan dengan ulet meyakinkan pejabat-pejabat tersebut di samping memobilisasi kaum tani yang bersangkutan untuk mendesak pelaksanaan UU-PBH. Pejabat-pejabat yang terang-terangan tidak mau melaksanakan UU-PBH, karena membela kepentingan tuan tanah atau berkedudukan sebagai tuan tanah, harus didesak supaya melaksanakan UU-PBH atau dituntut sebagai pejabat yang tidak setia melaksanakan tugas Pemerintah.

Apapun rintangan yang dihadapi, UU-PBH sebagai jalan untuk mengembangkan aksi-aksi “turun sewa “ pasti bisa dilaksanakan dengan bersandar pada kekuatan aksi-aksi kaum tani sendiri, artinya UU-PBH pasti dapat dilaksanakan apabila kaum tani sendiri memperluas dan memperkuat persatuannya. Seperti dinyatakan oleh kawan D.N. Aidit dalam Laporan Umum Kepada Sidang Pleno ke-II CC PKI: “Undang-undang Perjanjian Bagi Hasil hanya dapat dilaksanakan jika kaum tani sendiri bangkit untuk pelaksanaannya”.

Untuk memperluas dan memperkuat front persatuan tani anti-feodal di desa, di atas segala-galanya tugas kita adalah mengembangkan gerakan “6 baik”, dengan membentuk kelompok-kelompok kaum tani penyewa tanah tuan tanah dan kelompok-kelompok buruh tani berdasarkan lapangan kerja untuk menjadikan buruh tani dan tani miskin kekuatan yang aktif dalam gerakan “6 baik”.

Kebangkitan buruh tani dan tani miskin dalam gerakan “6 baik” akan mempunyai arti sangat penting untuk pelaksanaan perubahan tanah dan untuk mensukseskan garis umum Tripanji Partai, yaitu: Panji Front Nasional, Panji Pembangunan Partai, dan Panji Revolusi Agustus 1945.

(Prasaran yang diucapkan pada tanggal 15 juli 1961)

 

 

 

KEMBANGKAN PEMBENTUKAN REGU SALING BANTU KAUM TANI UNTUK MEMPERKUAT FRONT PERSATUAN TANI ANTI-FEODAL

SESUAIKAN ORGANISASI DENGAN GARIS POLITIK BERSANDAR PADA BURUH TANI DAN TANI MISKIN, BERSATU TEGUH DENGAN TANI SEDANG, MENETRALISASI TANI KAYA DAN MELAWAN TUAN TANAH SELANGKAH DEMI SELANGKAH DAN SECARA MEMBEDA-BEDAKAN

Oleh Djadi Wirosubroto

 

Dalam laporan tentang: “PERLUAS FRONT PERSATUAN TANI ANTI-FEODAL UNTUK PELAKSANAAN PERUBAHAN TANAH “, dinyatakan tentang pentingnya mengembangkan pembentukan regu-regu saling bantu di kalangan kaum tani di samping pembentukan kelompok-kelompok buruh tani dan tani miskin serta penggarap lainnya berdasarkan tempat kerja, sebagai garis organisasi dalam melaksanakan prinsip: bersandar pada buruh tani dan tani miskin serta bersatu teguh dengan tani sedang,menetralisasi tani kaya, dan melawan tuan tanah selangkah demi selangkah dan secara membeda-bedakan. Dengan demikian tani sedang bisa mengambil bagian dalam front persatuan tani anti-feodal melawan tuan tanah dan lintah darat.

Dalam hubungan ini, lebih dari 2 tahun yang lalu, Konferensi Nasional Tani ke-I PKI telah mengambil kesimpulan-kesimpulan mengenai pedoman pimpinan dan metode pelaksanaan koperasi Rakyat-pekerja, yang pada pokoknya adalah sebagai berikut:

1. Perlunya ada gerakan pendidikan di kalangan anggota partai untuk menjernihkan dan membulatkan pengertian tentang garis dan politik Partai mengenai koperasi Rakyat-pekerja ;

2. Pentingnya turun kebawah dan pelaksanaan prinsip “tiga sama” untuk mengadakan model-model koperasi Rakyat-pekerja.

3. Menyusun plan pembentukan koperasi Rakyat-pekerja dengan mempersiapkan terlebih dahulu aktivis-aktivis koperasi serta memperbaiki cara kerja dan garis organisasi daripada koperasi-koperasi yang sudah ada;

4. Pembentukan koperasi harus berpegang teguh pada pedoman: saling bantu, sukarela, demokratis, dan saling menguntungkan;

5. Gerakan koperasi bukanlah gerakan daripada kader atau para aktivis partai, melainkan gerakan dari Rakyat Pekerja yang berkoperasi itu sendiri

6. Meneruskan tradisi gotong-royong dalam pekerjaan produksi dan kegiatan-kegiatan saling bantu lainnya, misalnya arisan, lumbung paceklik, dan sebagainya;

7. Comite-comite partai dari semua tingkat bertanggung jawab terhadap hidup langsungnya koperasi-koperasi Rakyat-pekerja, dengan jalan mengikuti perkembangan gerakan koperasi dan dan menarik pelajaran-pelajaran dan mengembangkannya serta senantiasa menghubungkan gerakan koperasi dengan gerakan untuk mempertinggi hasil-hasil produksi, dengan alat-alat yang lebih baik dan cara-cara mengerjakan yang lebih tinggi;

8. Menarik pemuda, yaitu golongan yang mempunyai bakat militan dan tidak mementingkan diri sendiri serta kaum wanita yang mempunyai kepentingan langsung dalam koperasi dan mempunyai bakat teliti.

Di samping kesimpulan-kesimpulan tersebut, MPRS telah pula mencantumkan masalah koperasi dalam ketetapan MPRS No. II/1960 tentang Garis-garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan Pertama 1961-1969 di Bidang Produksi, pasal 6 ayat(1) dan (2) sebagai berikut:

1. Pemerintah menyelenggarakan tata-distribusi barang keperluan hidup sehari-hari dapat sampai di tangan Rakyat dengan cepat, cukup, merata, murah, dan baik.

2. Perintah mengatur dan menyalurkan distribusi bahan penting bagi penghidupan Rakyat banyak dengan mengutamakan ikut sertanya koperasi-koperasi, Rukun-rukun Kampung, Rukun-rukun Tetangga, serta sejenisnya dan swasta Nasional sebagai pembantu.

Selanjutnya dalam lampiran-lampiran ketetapan MPRS No. II/1960 mengenai Koperasi (paragrap 400) dijelaskan pula tentang pengertian (azas dan dasar-dasar bekerja) Koperasi Indonesia sebagai berikut:

a. Berazas kekeluargaan (gotong-royong);

b. Bertujuan mengembangkan kesejahteraan masyarakat dan daerah bekerja pada umumnya;

c. Berusaha menyelenggarakan salah satu atau beberapa usaha dalam lapangan perekonomian;

d. Keanggotaannya bersifat sukarela atau atas dasar kekeluargaan;

e. Kekuasaan tertinggi dalam kehidupan koperasi berada di tangan rapat anggota (demokrasi);

f. Pembagian sisa hasil usaha didasarkan atas keseimbangan jasa;

g. Modal koperasi mempunyai fungsi sosial.

Dengan dijiwai oleh Laporan Umum CC PKI kepada Kongres Nasional ke-VI yang disampaikan oleh Kawan D.N. Aidit mengenai pentingnya koperasi dijadikan senjata di tangan rakyat pekerja yang di antaranya menyatakan: “Undang-undang koperasi yang sudah ada sekarang dapat dipakai untuk memajukan gerakan koperasi asal dipimpin oleh orang-orang yang jujur. Untuk suksesnya, gerakan koperasi harus merupakan gerakan yang berdiri sendiri, mempunyai Peraturan Dasar yang demokratis, dan dapat mempersatukam sebanyak mungkin koperator-koperator secara sukarela. Kesukarelaan adalah syarat mutlak daripada koperasi. Selain dari pada itu, sifat berdiri sendiri dan sifat non-politik daripada koperasi harus dijaga dengan keras”. beberapa Komite telah berusaha untuk melaksanakan kesimpulan-kesimpulan Konfernas Tani ke-I PKI di antaranya dengan jalan: menjadikan pembentukan koperasi 3 bendera dalam kegiatan plan, menjadikan koperasi mata pelajaran dalam sekolah-sekolah Partai,mengadakan seminar-seminar koperasi, memperkuat dan menyempurnakan koperasi-koperasi yang sudah ada,dan di beberapa tempat telah diorganisasi pembentukan regu-regu saling bantu. Badan-badan simpan-pinjam, dan sebagainya. Satu kemajuan yang penting adalah bahwa kader-kader Partai sudah mulai meyakini betapa pentingnya organisasi koperasi rakyat pekerja sebagai senjata di tangan rakyat pekerja untuk meringankan beban penghidupan dan membatasi penghisapan serta untuk meningkatkan produksi.

Dalam mengembangkan pelaksanaan gerakan turun sewa, naik upah, dan turun bunga dan menghubungkannya dengan pekerjaan penggalangan front persatuan tani anti-feodal serta Pembangunan Partai di desa adalah tepat sekali kesimpulan yang menyatakan tentang pentingnya menjadikan organisasi revolusioner di desa terutama sebagai organisasi buruh tani dan tani miskin serta pentingnya mengorganisasi koperasi sehingga kepentingan tani sedang dapat terpenuhi. Dalam mengorganisasi dan memimpin kaum tani,kader-kader partai harus bersandar pada dasar umum partai untuk bekerja di kalangan kaum tani yaitu bersandar pada buruh tani dan tani miskin, bersatu teguh dengan tani sedang dan menetralisasi tani kaya untuk selangkah demi selangkah dan secara membeda-bedakan melikuidasi sisa-sisa feodalisme di desa. Bersandar pada buruh tani dan tani miskin serta bersatu teguh dengan tani sedang, berarti bahwa yang pertama-tama harus mendapatkan perhatian untuk diorganisasi dalam organisasi massa revolusioner di desa adalah golongan-golongan kaum tani tersebut.

Perjuangan kaum tani untuk mendapatkan tanah garapan, untuk turun sewa, naik upah, dan turun bunga pinjaman adalah perjuangan yang dapat memobilisasi dan mempersatukan seluruh kaum tani berkerumun di sekeliling Partai. Buruh tani dan tani miskin menyambut hangat tuntutan-tuntutan itu dan kaum tani sedang dapat menyokongnya. Tetapi dengan tuntutan-tuntutan itu saja, tani sedang yang juga banyak berkerumun di sekeliling Partai belum merasa persoalan dan kesulitannya terpecahkan. Kaum tani sedang pada umumnya memiliki tanah, menginginkan agar mereka dapat meningkatkan produksi pertaniannya. Agar mereka lepas dari cengkeraman tukang ijon dan lintah darat sekarang juga, agar mereka mendapatkan pasar yang baik bagi hasil pertaniannya, agar mereka dapat membeli barang-barang kebutuhan mereka dengan harga barang yang pantas dan sebagainya. Untuk mencapai keinginannya itu,jalan yang paling baik bagi kaum tani sedang, adalah mempersatukan dirinya ke dalam koperasi-koperasi Rakyat-pekerja yang dapat memberikan kredit,dapat mengusahakan pasar yang baik bagi hasil produksi mereka, dapat membeli barang-barang konsumsi mereka dengan harga pantas, dan dapat membantu meningkatkan produksi pertanian, peternakan dan perikanannya.

PERANAN TANI SEDANG DALAM KOPERASI

Dengan adanya koperasi Rakyat-pekerja yang menampung kepentingan tani sedang akan memperkuat front persatuan di antara buruh tani dan tani miskin dengan tani sedang yang berarti lebih memperteguh front persatuan tani anti-feodal di desa. Tentang arti pentingnya tani sedang dapat dinyatakan sebagai berikut:

1. Tani sedang pada pokoknya termasuk kelas pekerja, mengalami penindasan dari imperialisme dan sisa-sisa feodalisme. Oleh karena itu tani sedang menyetujui adanya perubahan tanah, memihak pada revolusi nasional demokratis, yaitu revolusi anti-imperialisme dan anti-feodalisme dan menyetujui Sosialisme. Dengan demikian tani sedang termasuk penggerak revolusi.

2. Tani sedang merupakan jumlah yang cukup besar di samping buruh tani dan tani miskin. Berdasarkan hasil-hasil penelitian (research), di beberapa desa di Jawa, kaum tani sedang berjumlah antara 10-15% dari seluruh penduduk desa. Oleh karena itu tani sedang , buruh tani, dan tani miskin yang berjumlah kira-kira 60-70% jumlah penduduk desa merupakan tenaga pokok revolusi.

3. Tani sedang umumnya memiliki tanah dan alat-alat pertanian yang agak cukup serta mempunyai pengalaman produksi. Mereka setiap saat diancam kebangkrutan karena tindakan dari kaum spekulan, tuan tanah, dan kaum penghisap lainnya serta tekanan-tekanan politik dan birokrasi. Tanpa pimpinan Partai mereka tak akan dapat membebaskan diri dari kebangkrutan tersebut.

4. Kaum tani sedang lapisan bawah, terutama yang berasal dari tani miskin atau mungkin buruh tani yang berkat perjuangannya sendiri maupun karena pembagian tanah dapat meningkat menjadi tani sedang akan mudah menjadi mangsa lintah darat, kaum spekulan, dan tuan tanah,apabila mereka tidak segera diorganisasi dalam koperasi-koperasi. Umumnya mereka masih mengalami berbagai kesulitan, misalnya kesulitan mengenai alat-alat biaya pertanian, hewan penarik, bibit, dan sebagainya. Akhirnya tidak sedikit di antara mereka yang menjual dan menggadaikan tanahnya kepada tani kaya atau tuan tanah atau terlibat hutang pada lintah darat.

Pentingnya kedudukan tani sedang juga terbukti bahwa buruh tani dan tani miskin dalam revolusi borjuis demokratis mempunyai harapan untuk bisa menjadi tani sedang. Dengan demikian maka penting sekali Partai menarik tani sedang yang ada sekarang.

Berdasarkan kenyataan-kenyataan tersebut di atas, dapatlah disimpulkan bahwa kaum tani sedang mempunyai peranan penting dalam kehidupan koperasi kaum tani, terutama karena tani sedang memiliki lebih cukup modal, lebih banyak pengalaman produksi dan lebih tinggi tingkat kebudayaannya dibandingkan dengan buruh tani dan tani miskin, di samping memiliki watak anti-feodal yang teguh.

Jaminan adanya keteguhan watak anti-feodal dari front persatuan tani di desa terletak pada besarnya peranan buruh tani dan tani miskin dalam aksi-aksi melawan tuan tanah serta pada adanya pimpinan proletariat. Oleh karena itu komposisi pimpinan koperasi hendaknya diusahakan agar elemen-elemen tani miskin atau lapisan bawah dari tani sedang paling sedikit menduduki 2/3 dari jumlah seluruhnya

Mendorong tani sedang berkoperasi tidak boleh diartikan memaksa mereka untuk keluar dari keanggotaan organisasi tani revolusioner dan mendirikan koperasi begitu saja. Kaum tani sedang dalam keadaan sekarang adalah kaum tani yang mempunyai keanggotaan rangkap sesuai dengan kedudukan ekonomi dan politiknya, yaitu di satu pihak mereka menjadi anggota organisasi tani revolusioner untuk menghadapi sektor-sektor lain daripada penghisapan imperialis dan penghisapan sisa-sisa feodal, seperti: pembebasan Irian Barat, ambil alih perusahaan-perusahaan Belanda dan modal asing lainnya yang membantu Belanda, melawan sisa-sisa gerombolan teror DI-TII, “PRRI” dan Permesta, menghadapi rayonering tebu Rakyat, masalah pendemokrasian pemerintah desa, dan sebagainya, sedang di pihak lain dengan koperasi-koperasi Rakyat pekerja yang berdiri sendiri terlepas dari organisasi tani revolusioner, kaum tani sedang berjuang untuk keringanan-keringanan beban hidupnya, untuk mendapatkan pasar bagi hasil pertaniannya, memperoleh bantuan kredit yang mudah dan murah, menaikkan produksi dan sebagainya.

CARA MENGEMBANGKAN KOPERASI TANI

Untuk mengorganisasi kaum tani ke dalam koperasi harus ditempuh selangkah demi selangkah. Kepada mereka yang untuk sementara waktu belum mau masuk ke dalam koperasi, supaya diberikan waktu untuk sampai kepada tingkat kesadaran berkoperasi. Tingkat kesadaran yang diperlukan bisa cepat atau lambat, tergantung pada berhasil atau tidaknya kita memberikan bukti-bukti, bahwa koperasi-koperasi Rakyat pekerja bisa memberikan hasil-hasil yang lebih besar daripada hasil-hasil yang dicapai oleh kaum tani secara perseorangan atau yang dicapai oleh regu-regu saling bantu bagi koperasi-produksi, dapat memberikan bantuan modal dengan mudah dan murah bagi koperasi kredit, dapat memperoleh pasar yang baik untuk hasil pertaniannya dengan harga yang pantas dan dapat memperoleh barang-barang yang dibutuhkan dengan harga murah dan mudah bagi koperasi jual beli. Selama koperasi belum dapat memberikan bukti-bukti seperti tersebut di atas, kaum tani sedang tidak akan tertarik kepada koperasi.

Sesuai dengan prinsip, bahwa perkembangan koperasi itu dimulai dari bentuknya yang sederhana, maka dalam langkah pertama, kita harus mengorganisasi kaum tani penggarap tanah dalam regu-regu atau kelompok-kelompok salingbantu, badan-badan simpan-pinjam, badan-badan penjualan dan pembelian bersama, dan sebagainya, untuk akhirnya menuju pembentukan koperasi produksi, koperasi kredit, dan koperasi jualbeli. Mengenai regu-regu salingbantu yang merupakan bentuk organisasi sederhana daripada koperasi produksi terdapat dua macam tingkatan sebelumnya, yaitu regu salingbantu yang sederhana (musiman) dan regu salingbantu sepanjang tahun.

Regu salingbantu sederhana pada pokoknya, adalah sebagai berikut:

a. luas kegiatannya terbatas, terdiri dari 3 sampai 5 rumahtangga kaum tani atau lebih;

b. dibentuk untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan musiman atau khusus lainnya dan hanya berjalan apabila ada banyak pekerjaan.

Regu semacam ini sebenarnya adalah pengembangan daripada kebiasaan-kebiasaan gotong-royong daripada kaum tani . Oleh karena itu sering regu ini disebut regu-regu gotong-royong. Regu-regu salingbantu mempunyai dua segi yang baik bagi kaum tani, yaitu meringankan kesulitan-kesulitan kaum tani dalam hal-hal kekurangan tenaga kerja, hewan penarik, dan sebagainya, dan mendidik kerja kolektif di antara kaum tani sendiri.

Regu salingbantu sepanjang tahun adalah setingkat lebih maju daripada yang pertama. Regu ini pada pokoknya sebagai berikut:

a. Regu ini terdiri dari 6 sampai 20 rumah tangga kaum tani ;

b. Regu ini mengerjakan usaha salingbantu dalam segala hal dalam pertanian sepanjang tahun. Dalam regu ini sudah bisa dikembangkan perbaikan-perbaikan teknik pertanian dan pembagian pekerjaan yang rasional;

c. Dalam regu ini sudah mulai diadakan perhitungan yang teliti atas hari kerja bagi anggota-anggotanya dan jasa-jasa lain yang telah diberikan anggota kepada regu;

d. Regu ini sudah bisa menyusun rencana produksinya dalam waktu setahun.

Regu-regu salingbantu, baik tingkatan yang sederhana maupun tingkatan yang lebih tinggi, harus bisa membuktikan keunggulannya terhadap usaha pertanian secara seorang-seorang; dan bukan itu saja, tetapi juga benar-benar bisa membuktikan, bahwa regu-regu salingbantu memang bisa memberi bantuan kepada kaum tani perseorangan. Sebelum regu-regu saling bantu berkembang menjadi koperasi-koperasi yang sesungguhnya, ia perlu digabungkan menjadi regu-regu saling bantu yang lebih besar. Penggabungan regu saling bantu ini merupakan dasar yang kuat untuk terbentuknya koperasi-koperasi Rakyat pekerja. Regu-regu saling bantu ini dimulai pembentukannya dari kalangan kaum tani yang aktif untuk dijadikan teladan bagi kaum tani lainnya.

Jadi untuk mempercepat perkembangan koperasi kaum tani langkah pertama yang harus dilakukan dan dilalui sebelum sampai pada pembentukan koperasi produksi, adalah pembentukan regu-regu saling bantu atau regu-regu gotong-royong di kalangan kaum tani terutama kaum tani miskin dan tani sedang,sesuai dengan tingkat-tingkat kesadaran dan kebutuhan-kebutuhan mendesak dari kaum tani. Jadi di samping kelompok-kelompok buruh tani dan tani miskin organisasi tani revolusioner juga harus mengorganisasi regu-regu saling bantu dalam produksi yang beranggotakan kaum tani miskin dan tani sedang. Jika regu-regu saling bantu ini sudah bisa ditingkatkan menjadi koperasi, maka sebagai organisasi, koperasi-koperasi kaum tani harus berdiri sendiri. Sebagai organisasi yang berdiri sendiri, ia mempunyai peraturan dasarnya sendiri dan pengurusnya sendiri yang terpisah dari organisasi tani revolusioner .

Di samping mengembangkan regu-regu saling bantu untuk ditingkatkan menjadi koperasi produksi sebagai organisasi koperasi yang utama, juga perlu memberikan perhatian kepada pembentukan koperasi-koperasi lainnya, seperti koperasi jual-beli dan koperasi kredit. Koperasi-koperasi tersebut hendaknya diusahakan untuk mendapatkan pengesahan dari pemerintah sesuai dengan UU No. 79/1958 tentang Perkumpulan Koperasi, dan PP No. 60/1959 tentang Perkembangan Gerakan Koperasi, dengan tidak usah meninggalkan prinsip-prinsip koperasi Rakyat Pekerja. Pengesahan adalah penting untuk memudahkan usaha koperasi dan memperoleh fasilitas-fasilitas yang ada.

Dalam mengibarkan tinggi-tinggi 3 bendera koperasi tersebut, sekali lagi ditekankan, tentang pentingnya memulai dengan bentuk-bentuk yang sederhana di samping memperkuat dan menyempurnakan koperasi yang sudah ada. Tidak bisa dipungkiri bahwa untuk membentuk koperasi Rakyat Pekerja, memperkuat serta menyempurnakan koperasi-koperasi yang sudah ada, bukanlah pekerjaan yang mudah. Ini disebabkan karena di satu pihak koperasi yang sudah-sudah, banyak disalahgunakan sehingga merugikan anggota-anggotanya.

KESIMPULAN

Akhirnya untuk dapat lebih mensukseskan gerakan pembentukan koperasi Rakyat pekerja dan memperbaiki serta menyempurnakan koperasi-koperasi yang sudah ada, pelaksanaan kesimpulan-kesimpulan Konferensi Tani ke- I PKI harus lebih diintensifkan, yaitu:

1. Menanamkan pengertian yang tepat tentang koperasi Rakyat pekerja kepada aktivis-aktivis dengan berpegang pada keputusan-keputusan Konferensi Tani ke-I PKI dan II PKI;

2. menjadikan koperasi mata pelajaran dalam sekolah Partai maupun sekolah organisasi massa revolusioner dan membikin kursus-kursus kilat bagi yang bertugas atau akan ditugaskan dalam gerakan koperasi ;

3. Mengadakan seminar-seminar atau konferensi-konferensi kerja tentang koperasi Rakyat pekerja, untuk menyimpulkan pengalaman-pengalaman dan memperbaiki kekurangan-kekurangannya;

4. Membikin model 3 bentuk koperasi, yang dimulai dengan bentuk-bentuk yang paling sederhana;

5. Memperkuat dan menyempurnakan koperasi yang sudah ada.

(Prasaran diucapkan pada tanggal 15 Juli 1961

 

------------------------------------------------------

 

KESIMPULAN-KESIMPULAN KONFERNAS TANI KE-II PKI

PERLUAS DAN PERKUAT FRONT PERSATUAN TANI ANTI-FEODAL

 

(1) Konferensi Nasional Tani ke-II PKI yang dilangsungkan pada tanggal 15-16 Juli 1961 di Jakarta secara mendalam telah mendiskusikan dan menyetujui pokok-pokok masalah dan kesimpulan-kesimpulan yang telah disampaikan dalam Prasaran tentang “Perluas Front Persatuan Tani Anti-Feodal Untuk Pelaksanaan Perubahan Tanah”, dan tentang “Kembangkan Pembentukan Regu Salingbantu Kaum Tani Untuk Memperkuat Front Persatuan Tani Anti-Feodal” yang diperkuat oleh laporan-laporan dari daerah-daerah , Konfernas mengkonstatasi bahwa sejak Kongres Nasional ke-VI PKI dan terutama sesudah Sidang Pleno ke-II CC PKI telah dicapai kemajuan-kemajuan yang menggembirakan dalam pekerjaan Partai di kalangan kaum tani. Dengan berpegang teguh kepada Tripanji PKI, yaitu panji-panji Front Nasional, Pembangunan Partai, dan Revolusi Agustus ’45, kader-kader dan aktivis-aktivis PKI dengan sungguh-sungguh telah memberikan bantuan dalam membangkitkan, mengorganisasi, dan memobilisasi kaum tani melawan penghisapan tuan tanah dan lintah darat, melahirkan dan mendidik kader-kader tani yang makin banyak berasal dari buruh tani dan tani miskin, mengadakan penelitian secara terus menerus mengenai hubungan agraria di desa dan tentang penghidupan kaum tani.

(2) Penerapan Tripanji PKI mendorong meluas dan meningkatnya gerakan tani melawan sisa-sisa feodalisme di desa. Semenjak Kongres Nasional ke-VI PKI dan Sidang Pleno ke-II CC PKI, aksi-aksi kaum tani untuk turun sewa, turun bunga, naik upah, naik produksi pertanian, serta aksi-aksi lainnya bukan hanya berlangsung di Jawa, melainkan juga telah mulai meluas ke pulau-pulau lainnya. Dalam pekerjaan penelitian (research) serta dalam memimpin aksi-aksi kaum tani sehari-hari telah dapat ditemukan bentuk-bentuk konkret penghisapan tuan tanah di daerah-daerah. Laporan-laporan daerah-daerah telah membuktikan bahwa di waktu sekarang gerakan kaum tani melawan berbagai bentuk penghisapan tuan tanah dan lintah darat telah berkembang dan mulai meluas di seluruh negeri. Kebangkitan kaum tani tersebut sebagai tenaga pokok revolusi sangat memperkuat front persatuan nasional dalam tugas menyelesaikan Tuntutan-tuntutan Revolusi Agustus ’45 sampai ke akar-akarnya.

(3) Berkembangnya gerakan tani secara luas di seluruh negeri menarik perhatian semua kelas-kelas dan golongan-golongan terhadap masalah tani, masing-masing dengan mengajukan programnya sendiri-sendiri untuk kaum tani. Hal ini adalah baik. Akan tetapi banyaknya program-program yang beraneka ragam ini bisa membikin kabur pandangan kaum tani dalam menetapkan kawan yang sejati, siapa sekutu, dan siapa lawan yang seharusnya dijadikan sasaran aksi-aksi. Oleh karena itu bagi setiap kader PKI di samping tugas untuk bekerja secara lebih keras dan lebih teratur lagi di kalangan kaum tani dalam melaksanakan Program Tuntutan, haruslah juga terus-menerus menjelaskan Program Umum PKI di lapangan agraria kepada massa kaum tani, yaitu: “Hubungan agraria dan pertanian tidak seharusnya bersifat imperialis dan feodal, melainkan harus bersifat merdeka dan demokratis. Oleh karena itu semua tanah yang dimiliki oleh para tuan tanah asing maupun para tuan tanah Indonesia harus disita tanpa penggantian kerugian. Kepada kaum tani, pertama-tama kepada kaum tani tak bertanah dan kaum tani miskin, diberikan dan dibagikan tanah dengan cuma-cuma. Tanah-tanah harus dibagikan kepada anggota keluarga kaum tani seorang-seorang. Sistem milik tanah haruslah sistem milik tanah kaum tani, artinya milik perseorangan kaum tani atas tanah. Perkebunan-perkebunan yang berteknik modern, juga tanah-tanah hutan tidak dibagikan kepada kaum tani melainkan harus dikuasai oleh negara. Tanah dan milik lain dari kaum tani kaya tidak disita. Tanah dan milik lain dari kaum tani sedang dilindungi oleh Pemerintah. Sistem rodi, pologoro, dan perbudakan feodal lainnya dihapuskan. Hutang kaum tani, nelayan, dan tukang-tukang kerajinan tangan kepada lintah darat juga dihapuskan....”.

Di samping itu adalah kewajiban setiap kader dan aktivis-aktivis PKI untuk memberikan penjelasan bahwa program yang baik bagi kaum tani ini belum bisa dilaksanakan sekarang karena baik dalam parlemen dan apalagi dalam Kabinet belum mendapat dukungan yang cukup. Perhatian yang lebih banyak lagi harus diberikan oleh aktivis-aktivis Partai kepada masalah tani supaya bisa menghubungkan pekerjaannya sehari-hari dengan tugas PKI untuk membangkitkan, mengorganisasi, dan memobilisasi kaum tani.

(4) Konferensi membenarkan, bahwa soal pokok yang harus dilakukan adalah penggalangan front persatuan tani anti-feodal di desa yang luas dan kuat serta mampu untuk memencilkan tuan tanah dan lintah darat. Untuk itu haruslah dipegang teguh garis kelas PKI di kalangan kaum tani: bersandar pada buruh tani dan tani miskin, bersatu dengan tani sedang, menetralisasi tani kaya, dan melawan tuan tanah selangkah demi selangkah dan secara membeda-bedakan. Pengalaman menunjukkan bahwa untuk menggalang dan mengkonsolidasi front persatuan tani anti-feodal yang kuat dan luas harus dikembangkan aksi-aksi dalam gerakan “6 baik”, gerakan untuk “2 turun” dan “4 naik” yaitu turun sewa, turun bunga, dan naik upah, naik produksi, naik kebudayaan, serta naik politik. Dalam melaksanakan gerakan ini harus diutamakan kepentingan tani pekerja sebagai tenaga penggerak revolusi, yaitu buruh tani, tani miskin, dan tani sedang. Untuk menjamin hal ini, maka organisasi massa tani revolusioner yang sekarang harus pertama-tama mengorganisasi buruh tani dan tani miskin, di samping menarik tani sedang untuk selanjutnya diorganisasi dalam Koperasi-koperasi Rakyat Pekerja yang mempunyai hubungan yang erat dengan organisasi massa tani revolusioner dalam perjuangan melawan tuan tanah dan lintah darat.

Gerakan “6 baik” hanya bisa berjalan dengan baik, apabila buruh tani dan tani miskin serta penggarap lainnya diorganisasi dalam kelompok-kelompok berdasarkan tempat kerja, tempat tinggal maupun jenis pekerjaan; kelompok-kelompok membangkitkan dan mengorganisasi kaum tani untuk melakukan aksi-aksi bersandarkan pada kekuatan sendiri, melahirkan pimpinan aksi yang berasal dari buruh tani dan tani miskin, sehingga selanjutnya dapat diciptakan kader-kader yang berinisiatif dan berwatak kelas buruh yang teguh dari kalangan kaum tani sendiri.

Di samping itu dalam melaksanakan prinsip bersatu dengan tani sedang, maka tradisi kerja saling-bantu yang terdapat di kalangan mereka harus dikembangkan untuk mengorganisasi regu-regu saling-bantu berdasarkan prinsip sukarela, demokratis, adil dan saling menguntungkan menuju kepada pembentukan Koperasi-koperasi Rakyat pekerja sebagai senjata bagi kaum tani.

(5) Dengan berkembang dan meratanya gerakan tani yang melahirkan sejumlah banyak kader-kader yang berasal dari buruh tani dan tani miskin, PKI mempunyai kewajiban untuk lebih giat lagi mengintensifkan pendidikan di kalangan kader tani untuk meningkatkan kepandaian, kemampuan berdiri sendiri, dan watak kelas buruh yang lebih teguh, serta pendidikan terhadap kaum tani di desa. Di samping itu terhadap kader-kader juga harus dilaksanakan cara mempekerjakan dan cara memelihara kader seperti yang telah disimpulkan dalam Sidang Pleno ke-II CC PKI, dan Comite-comite Partai dari semua tingkat harus memberikan perhatian yang lebih baik kepada pendidikan politik dan teori serta kesehatan dan penghidupan para kader yang dengan sepenuh hati bekerja di kalangan kaum tani.

Hal lain yang juga penting untuk dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dalam bekerja di kalangan kaum tani ialah langgam kerja PKI yaitu: memadukan teori dengan praktek, berhubungan erat dengan massa Rakyat, dan melakukan selfkritik. Untuk pelaksanaan langgam kerja ini perlu terus dilakukan penelitian ke desa dengan melaksanakan “3 sama”, gerakan turun ke bawah dengan prinsip atasan membantu dan memberi contoh bawahan dan bawahan berusaha berdiri sendiri serta membantu atasan: mengkombinasikan pekerjaan tekun dan berkobar-kobar, serta memadukan perjuangan dari atas dengan perjuangan massa kaum tani, daerah yang maju membantu daerah yang kurang maju dan daerah yang belum maju mengejar daerah yang maju. Selanjutnya tidak boleh dilupakan untuk menghubungkan setiap kegiatan di kalangan kaum tani dengan pelaksanaan Plan 3 tahun ke-II PKI. Hanya dengan demikianlah front persatuan tani anti-feodal di desa bisa diperkuat sebagai basis front persatuan nasional untuk lebih hebat lagi menggempur imperialisme dan feodalisme.

 

Jakarta, 16 Juli 1961

KONFERENSI NASIONAL TANI KE-II PKI

 

-------------------------------------

 

PELAKSANAAN DENGAN SUNGGUH-SUNGGUH PERUBAHAN TANAH SYARAT UNTUK MELAKSANAKAN POLA PEMBANGUNAN NASIONAL SEMESTA

 

Sudah sejak Kongres Nasionalnya yang ke-V, PKI telah menyimpulkan bahwa kaum tani yang merupakan 60-70% dari jumlah penduduk Indonesia hidup melarat dan terbelakang. Keadaan ini membuat teknik pertanian sukar maju, hasil pertanian rendah, dan pasar dalam negeri tidak berkembang atau sangat sukar berkembang, sehingga tidak memungkinkan pelaksanaan pembangunan ekonomi yang sungguh-sungguh di negeri kita. Sebab pokok dari keadaan tersebut adalah karena masih berlakunya kekuasaan imperialisme atas ekonomi negeri kita dan masih merajalelanya penghisapan feodal atas kaum tani di desa-desa.

Jika Indonesia mau maju menjadi negeri yang merdeka penuh, demokratis, adil dan makmur, maka di atas segala-galanya ialah harus menyelesaikan tuntutan-tuntutan Revolusi Agustus 1945, yaitu mengakhiri sampai ke akar-akarnya kekuasaan kaum imperialis asing dan tuan tanah.

Untuk mengusahakan self-supporting beras, memperbaiki keadaan ekonomi negeri dan meringankan beban penghidupan kaum tani pada tingkat sekarang, Kongres Nasional ke-VI PKI telah mengusulkan kepada Pemerintah untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan mengurangi sewa tanah yang dipungut oleh tuan tanah kepada kaum tani dan membatasi milik tanah para tuan tanah, sehingga dalam batas-batas tertentu penghidupan kaum tani penyewa tanah tuan tanah dapat diringankan, di samping memberi kemungkinan kepada sebagian tani tak bertanah dan tani miskin mendapatkan tanah garapan.

Jalan yang ditunjukkan oleh PKI untuk menyelesaikan tuntutan-tuntutan Revolusi Agustus 1945 sampai ke akar-akarnya, untuk melaksanakan pembangunan perekonomian negeri dan memperbaiki penghidupan kaum tani dengan mengakhiri kekuasaan tuan tanah serta mengadakan perubahan tanah yang menjamin tanah untuk kaum tani, adalah sesuai dengan anjuran Presiden Sukarno dalam “Jalannya Revolusi Kita” (Jarek) yang sudah menjadi pedoman pelaksanaan garis-garis besar haluan negara, yang antara lain menyatakan “Tanah Untuk Tani” dan “Melaksanakan Land reform berarti satu bagian yang mutlak dari Revolusi Indonesia”. Juga Ketetapan MPRS Ni. II/MPRS/1960 menyatakan bahwa: “land reform sebagai bagian mutlak dari Revolusi Indonesia adalah basis pembangunan semesta yang berdasarkan prinsip, bahwa tanah sebagai alat produksi tidak boleh dijadikan alat penghisapan”.

Dewasa ini telah terdapat syarat-syarat untuk melaksanakan perubahan tanah (land reform) terbatas, berhubung dengan telah diundangkannya UU No. 2 tahun 1960 tentang Perjanjian bagi hasil beserta pedoman-pedoman pelaksanaannya dan UU No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria beserta UU. 56 Prp tahun 1960 tentang Penetapan Luas Lahan Pertanian.

PKI bersama-sama dengan golongan-golongan demokratis pendukung Manipol lainnya menyokong pelaksanaan UU No. 2 tahun 1960 dan UU No. 5 tahun 1960 beserta UU No. 56 Prp tahun 1960 sebagai dasar untuk melaksanakan perubahan tanah terbatas, karena jika kedua UU itu dilaksanakan dengan sungguh-sungguh akan berarti antara lain dikuranginya hak-hak dan konsesi-konsesi atas tanah dari modal imperialis secara formal; dibatasinya hak-hak tuan tanah Indonesia untuk memonopoli tanah; dihapuskannya hak-hak luar biasa atas tanah dari swapraja-swapraja dan bekas-bekas swapraja yang memberi kemungkinan pada tuan-budak-budak dan sementara raja-raja, untuk mempertahankan sistem perbudakan, terutama di Nusa Tenggara Timur; diringankannya beban bunga pinjaman bagi kaum tani yang menggadaikan tanah serta beban kaum tani penyewa tanah tuan tanah. Di samping itu terdapat kesempatan bagi sebagian kaum tani tak bertanah dan tani miskin untuk memperjuangkan tanah garapan dengan harga yang tidak terlalu tinggi dan pembayaran secara angsuran.

Berdasarkan pendapat-pendapat dan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas Konferensi Nasional Tani ke-II PKI yang dilangsungkan pada tanggal 15-16 Juli 1961 di Jakarta, mendesak kepada Pemerintah supaya mengerahkan segenap aparatnya untuk melaksanakan dengan sungguh-sungguh perubahan tanah berdasar pelaksanaan UU No. 2 tahun 1960, UU No. 5 tahun 1960, dan UU No 56 Prp tahun 1960 beserta pedoman-pedoman pelaksanaannya. Ini berarti bahwa Pemerintah harus segera menguasai tanah-tanah kelebihan dari batas maksimum milik para tuan tanah, termasuk tanah-tanah kelebihan milik raja-raja dan kepala-kepala desa perdikan, tanah-tanah bekas milik swapraja-swapraja dan bekas-bekas swapraja, bila perlu dengan ganti kerugian berdasar jumlah yang ditetapkan oleh Pemerintah, serta membagikan tanah-tanah tersebut kepada kaum tani tak bertanah dan tani miskin, terutama yang sudah menyewa atau mengerjakan tanah itu, dengan harga rendah, angsuran ringan, dan jangka panjang.

Pemerintah wajib mengambil tindakan-tindakan terhadap tuan tanah dan lintah darat yang membangkang tidak mau melaksanakan pembebasan gadai tanah dan mengembalikan tanah yang bersangkutan pada pemiliknya sesuai dengan syarat-syarat yang ditetapkan dalam UU No. 56 Prp tahun 1960 pasal 7, termasuk tanah-tanah yang dijual-angsur, jual-beli akad (di Aceh), gadai-sende (dondon di Toba, rutang di Karo), dijual musiman dan cara-cara lain yang dijalankan oleh kaum tani terhadap tuan tanah dan lintah darat, yang karena keadaan penghidupannya terjepit terpaksa menerima harga rendah. Sebaliknya tidak termasuk “gadai” tanah para tuan tanah kepala suku, kepala kaum, marga, udu (di Sabu), kabisu (di Sumba), dati (di Maluku), dan sebagainya, yang meskipun dinamakan “gadai” tetapi pada hakikatnya adalah beban yang dipikulkan oleh para tuan tanah tersebut kepada kaum tani untuk mendapatkan hak mengerjakan atau menyewa tanah-tanah tuan tanah.

Konferensi Nasional Tani ke-II PKI berpendapat bahwa pelaksanaan perubahan tanah tidak dapat dipisahkan dengan kewajiban Pemerintah untuk memberikan bantuan berupa fasilitas-fasilitas yang diperlukan, terutama dalam bentuk kredit yang mudah, langsung, panjang, dan berbunga rendah, guna mendorong kaum tani mengorganisasi diri dalam koperasi-koperasi. Kecuali itu, pelaksanaan perubahan tanah juga tidak dapat dipisahkan dari pendemokrasian pemerintahan desa dengan membentuk Pemerintah Dst III yang demokratis sesuai dengan ketetapan-ketetapan MPRS dan ketentuan UU No. 5 tahun 1960.

Untuk memenuhi kebutuhan kaum tani akan tanah, untuk menggali kekayaan daerah-daerah kosong dan untuk meratakan penduduk, Konferensi Nasional Tani menyetujui dan menyokong pelaksanaan transmigrasi dengan syarat-syarat perlengkapan yang memadai bagi para transmigran untuk mencapai tingkat penghidupan lebih baik. Ini adalah arti sebenarnya dari pelaksanaan transmigrasi. Pemindahan penduduk dari daerah yang padat ke daerah lain yang kurang padat atau kosong bukanlah pertama-tama merupakan jalan untuk mengatasi sebab-sebab kemelaratan dan kekurangan tanah garapan bagi kaum tani, karena pada kenyataannya kemelaratan dan kekurangan tanah itu pertama-tama disebabkan oleh beratnya penghisapan feodal dan dikuasainya sebagian besar tanah-tanah oleh tuan tanah.

Perubahan tanah hanya dapat terlaksana jika mendapat bantuan yang aktif dari seluruh Rakyat, terutama kaum tani. Ini hanya mungkin jika kepada Rakyat diberikan kebebasan-kebebasan demokratis.

Untuk menanamkan kepercayaan lebih besar dan memperkuat sokongan kaum tani terhadap pelaksanaan perubahan tanah dan pelaksanaan pola pembangunan nasional semesta berencana yang sudah ditetapkan oleh MPRS, Konferensi Nasional Tani mengusulkan kepada Pemerintah untuk segera mengambil tindakan-tindakan sebagai berikut:

1. Melaksanakan penghapusan tanah-tanah partikelir sesuai dengan ketetapan UU No. 1 tahun 1958 dan membagikan tanah-tanah yang berupa tanah pertanian dan perladangan kepada kaum tani, terutama kepada kaum tani tak bertanah dan tani miskin.

2. Menghapuskan hak-hak tanah swapraja-swapraja dan bekas-bekas swapraja dan membagikan tanah-tanah tersebut kepada kaum tani, terutama kaum tani tak bertanah dan tani miskin dan melawan berlakunya sisa-sisa perbudakan seperti yang masih terdapat di Nusa Tenggara Timur terutama di Sumba Timur.

3. Mensahkan tanah-tanah bekas perkebunan asing dan tanah bekas milik para tuan tanah asing lainnya serta tanah-tanah bekas milik raja-raja yang sudah sejak lama dikerjakan atau diduduki oleh kaum tani, menjadi hak milik kaum tani yang bersangkutan.

4. Menyelesaikan sengketa-sengketa antara kaum tani dengan Pemerintah dan pengusaha-pengusaha partikelir nasional dengan jalan berunding atas dasar saling menguntungkan.

5. Dengan sungguh-sungguh melaksanakan UU Perjanjian Bagi Hasil dan Ketentuan-ketentuan UU No. 56 Prp tahun 1960 dan mengambil tindakan hukum terhadap para tuan tanah yang membangkang serta mengambil tindakan hukuman jabatan terhadap pejabat-pejabat yang terang-terangan menyabot pelaksanaan UU tersebut.

6. Menyita tanah-tanah tuan tanah yang memihak gerombolan pengacau kontra-revolusioner dan gerombolan teroris lainnya dan membagikan tanah-tanah itu kepada kaum tani tak bertanah dan tani miskin.

Konferensi Nasional Tani ke-II PKI yakin bahwa dengan dipenuhinya tuntutan-tuntutan tersebut di atas, selanjutnya dengan melaksanakan sungguh-sungguh perubahan tanah berdasar pelaksanaan UU No. 2 tahun 1960, UU No. 5 tahun 1960, dan UU No. 56 Prp tahun 1960 akan terbantulah pelaksanaan Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan Pertama 1961-1969.

Akhirnya Konferensi Nasional Tani ke-II PKI menyerukan kepada segenap kaum tani supaya lebih memperluas dan memperkuat persatuannya serta memperteguh tekad untuk “membebaskan diri sendiri dari tuan tanah” guna mendorong pelaksanaan UU No. 2 tahun 1960, UU No. 5 tahun 1960, dan UU No. 56 Prp tahun 1960 dengan sokongan golongan-golongan demokratis lainnya.

 

Jakarta, 16 Juli 1961

KONFERENSI NASIONAL TANI KE- II PKI

 

-------------------------------------------------------------

 

MEMENUHI KEBUTUHAN SENDIRI BAHAN MAKANAN TERUTAMA BERAS

 

Konferensi Nasional Tani ke-II PKI yang dilangsungkan di Jakarta pada tanggal 15-16 Juli 1961, menyimpulkan bahwa:

Akibat masih adanya kekuasaan imperialisme dan feodalisme atas ekonomi Indonesia, tenaga produktif di desa menjadi terbelenggu dan ini menyebabkan produksi pertanian masih tetap rendah. Penambahan produksi bahan makanan tiap tahunnya jauh ketinggalan di bawah kebutuhan penduduk dan di samping itu usaha untuk memenuhi kebutuhan bahan makanan masih tergantung pada negeri-negeri lain, terutama pada negeri-negeri imperialis melalui “SAC”, dan sebagainya. Impor beras dalam 4 tahun belakangan ini menunjukkan angka-angka sebagai berikut:

Tahun 1957 ............... 563.438 ton.

Tahun 1958 ............... 681.456 ton.

Tahun 1959 ............... 800.000 ton.

Tahun 1960 ............... 840.000 ton.

Ketergantungan Indonesia dalam memenuhi kebutuhan makanan pokok untuk Rakyat, merupakan penghambat yang penting bagi pelaksanaan Pola Pembangunan Semesta Nasional Berencana.

Untuk mengatasi kekurangan bahan makanan, harus dilakukan usaha-usaha mempertinggi produksi bahan makanan terutama beras. Masalah memenuhi kebutuhan sendiri akan bahan makanan terutama beras adalah masalah nasional bagi Pemerintah dan Rakyat Indonesia.

Bagi Indonesia syarat-syarat untuk mempertinggi produksi beras adalah cukup baik. Kekayaan alam melimpah-limpah, tanah-tanah pertanian yang subur cukup luas, iklimnya sangat baik untuk cocok tanam sepanjang tahun, kaum tani sebagai tenaga produktif yang utama sangat rajin, berpengalaman, dan mempunyai daya cipta yang luar biasa.

Usaha untuk memenuhi kebutuhan sendiri akan bahan makanan dari Pemerintah selama ini berupa pembentukan Perusahaan Negara yang meliputi cabang-cabang Perusahaan Padi Tanah kering, pembukaan tanah Pasang Surut, dan Perusahaan Padi Sentra, belum menunjukkan hasil-hasilnya yang dapat mengatasi kekurangan produksi beras. Sebab-sebabnya antara lain ialah adanya gejala-gejala yang merugikan perusahaan yang bersangkutan, memberatkan beban kaum tani dan usaha-usaha yang tidak bersandar kepada kepentingan Rakyat.

Untuk menjamin suksesnya usaha mempertinggi produksi guna memenuhi kebutuhan sendiri akan bahan makanan terutama beras dan menciptakan syarat untuk stabilisasi harga barang kebutuhan pokok Rakyat dan suksesnya pelaksanaan pembangunan semesta berencana maka perlu dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Melaksanakan UU PBH (UU No. 2 tahun 1960) di semua daerah, sehingga dalam batas-batas tertentu dapat dikurangi penghisapan feodal dan dapat dipertinggi pendapatan kaum tani.

2. Melaksanakan UUPA (UU No. 5 tahun 1960) dengan konsekuen dan mengambil tindakan terhadap penghalang-penghalang dan penyalahgunaan pelaksanaan Land reform yang dapat merugikan kaum tani, agar kaum tani memperoleh tanah garapan dan mendapatkan kerja.

3. Mengikutsertakan Rakyat dalam usaha mempertinggi produksi beras dan memberi bantuan untuk mengembangkan penemuan-penemuan Rakyat di bidang penambahan produksi: untuk itu diperlukan fasilitas-fasilitas dan dijamin kebebasan demokratis bagi Rakyat.

4. Meninjau kembali penetapan pemungutan Pajak Hasil Bumi, sehingga dapat menimbulkan kegairahan bekerja di kalangan kaum tani untuk mempertinggi produksi.

5. Penurunan bunga pinjaman Padi Sentra dari 25% menjadi 12,5% sesuai dengan bunga pada Bank Pemerintah lainnya.

6. Bantuan Pemerintah kepada kaum tani berupa pupuk, bibit, obat-obat penyakit tanaman, alat-alat pertanian, perbaikan pengairan, dan bimbingan teknik pertanian harus diberikan tepat pada waktunya.

7. Jaminan pasar bagi produksi pertanian dengan harga yang seimbang antara harga hasil kaum tani dengan harga barang-barang kebutuhan kaum tani, seperti cangkul, kain blacu, gula, minyak tanah, ikan asin, dan lain-lain, dan adanya perbaikan perhubungan antara desa dan kota dan antara daerah-daerah guna melancarkan peredaran barang-barang hasil kaum tani dan kebutuhan pokok kaum tani.

8. Pelaksanaan transmigrasi supaya dilakukan dengan persiapan dan syarat-syarat perlengkapan yang layak, seperti penyelesaian hak tanah di daerah-daerah transmigran, perumahan, bantuan alat-alat pertanian, irigasi, kesehatan, dan jaminan lain-lain selama belum menghasilkan.

Konferensi Nasional Tani ke-II PKI menyerukan kepada Rakyat terutama kaum tani, di samping melakukan tuntutan-tuntutannya yang urgen kepada Pemerintah, supaya ambil bagian dalam meningkatkan produksi beras dengan mengembangkan sistem delapan prinsip tanam padi, yaitu: cangkul dalam, perbanyak pupuk, perbaiki bibit, tanam rapat, air cukup, perbaiki alat-alat, siangi tanaman dan lawan hama.

 

Jakarta, 16 Juli 1961

KONFERENSI NASIONAL TANI KE-II PKI

 

-------------------------------

 

SUSUN UNDANG-UNDANG PERJANJIAN BAGI HASIL YANG MENGUNTUNGKAN KAUM NELAYAN

 

Konferensi Nasional Tani ke-II PKI yang diselenggarakan pada tanggal 15 s.d. 16 Juli 1961, setelah membahas keadaan penghidupan kaum nelayan yang sangat menderita akibat penghisapan kaum tengkulak dan feodal, menyimpulkan dan memutuskan sebagai berikut:

1. Konferensi membenarkan, bahwa buruh nelayan, nelayan miskin dan nelayan sedang mengalami penindasan dan penghisapan feodal dalam bentuk-bentuk bagi hasil ikan, kerja tanpa upah, perbudakan hutang, dan bersamaan dengan itu juga ditarik pungutan-pungutan yang tidak resmi, penekanan harga ikan si pelelangan, menanggung ongkos-ongkos memperbaiki alat-alat penangkap ikan kepunyaan juragan, dan sebagainya.

2. Konferensi membenarkan, bahwa upah yang diterima buruh nelayan dalam bentuk uang atau hasil ikan, adalah sangat rendah dibandingkan dengan jumlah bagian ikan yang diterima oleh juragan pada umumnya dan khususnya juragan besar sero yang sama sekali tidak ikut bekerja menangkap ikan.

3. Konferensi membenarkan, bahwa jaminan sosial dan kesehatan kaum nelayan adalah sangat jelek.

Penghisapan kaum tengkulak dan feodal menyebabkan bagian terbesar kaum nelayan yaitu: buruh nelayan, nelayan miskin, dan nelayan sedang merupakan golongan Rakyat Indonesia yang cukup besar dan mempunyai peranan penting dalam pekerjaan produksi, pengangkutan dan keamanan, tetapi hidup melarat dan terbelakang.

Berdasarkan hal-hal di atas, dan sesuai dengan Ketetapan MPRS No. II/1960 beserta lampiran-lampirannya, Konferensi Nasional Tani ke-II PKI memutuskan, mendesak kepada Pemerintah supaya:

Segera mengeluarkan Undang-undang yang mengatur imbangan bagi hasil ikan yang menguntungkan bagi kaum nelayan. Dalam Undang-undang tersebut ditetapkan ketentuan tentang peringanan beban hutang buruh nelayan kepada juragan atau tengkulak-tengkulak hasil ikan, ketentuan tentang perlunya juragan memberikan jaminan sosial dan jaminan kecelakaan bagi buruh nelayan dan ketentuan-ketentuan lain yang melindungi buruh nelayan dari tindakan sewenang-wenang.

Jakarta 16 Juli 1961

KONFERENSI NASIONAL TANI KE-II PKI

 

------------------------------------------------------

 

LAKSANAKAN PEMBENTUKAN SWATANTRA TINGKAT III DAN PENDEMOKRASIAN TATA-PERDESAAN UNTUK MELAKSANAKAN LANDREFORM

Salah satu syarat terpenting untuk berhasilnya pelaksanaan Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan Pertama tahun 1961-1969, khususnya pelaksanaan Land reform seperti dinyatakan dalam Ketetapan Ketiga UU No. 5/1960, adalah segera dilaksanakannya Pembentukan Daerah Swatantra Tingkat III yang demokratis, bersamaan dengan pendemokrasian tata-perdesaan, dengan menghapuskan semua perundang-undangan kolonial seperti: IGO, IGOB, dan lain-lain, serta menghapuskan semua swapraja.

Sebagaimana dikemukakan juga dalam “Jarek” bahwa “tidak bisa revolusi berjalan dengan alat-alat yang lama”, karena itu “alat-alat lama harus diganti”, sedangkan Amanat Pembangunan Presiden menegaskan lagi, bahwa “Pembangunan berencana dengan pengerahan tenaga Rakyat Indonesia ialah jalan utama mencapai tujuan membentuk masyarakat sosialis ala Indonesia, seraya menghabiskan dan membinasakan segala penghalang sebagai sisa-sisa imperialisme, kolonialisme, dan feodalisme yang masih bercokol dalam masyarakat kita”, karena itu “dalam sistem kemasyarakatan, hilangkan struktur feodalisme, hilangkan struktur kolonial” dan seterusnya “masuklah dalam lapangan masyarakat yang benar-benar demokrasi yang bersandarkan kepada musyawarah”.

Dalam Amanat Pembangunan Presiden, dinyatakan bahwa “Dalam taraf pertama perlu kita perhatikan masyarakat desa, karena Desa adalah landasan dari masyarakat negara kita. Dengan adanya Desa yang tetap melarat dengan daya beli yang rendah tidak mungkin pembangunan berjalan lancar. Itulah sebabnya maka kemakmuran harus ditujukan kepada masyarakat Desa”.

Struktur feodalisme yang dulunya dipertahankan dan dijadikan sandaran bagi berlangsungnya kolonialisme Belanda, menguasai desa-desa dengan IGO dan IGOB serta peraturan perundang-undangan kolonial lainnya tentang tata perdesaan, sampai sekarang pada hakikatnya masih menguasai masyarakat kaum tani di desa-desa, sebagaimana juga dikonstatasi dalam Amanat Pembangunan Presiden, bahwa “Sisa-sisa feodalisme yang berat yang terus membelenggu tenaga produktif dan kreatif +/- 65% Rakyat Indonesia yang hidup di lapangan pertanian merupakan gejala yang membuktikan Indonesia sebagai negeri terbelakang dan agraris”. Karena itu tidak bisa tidak haruslah dilaksanakan “penjebolan” tata perdesaan feodal-kolonial yang masih ada, diganti dengan tata perdesaan yang demokratis revolusioner.

Struktur kekuasaan di daerah-daerah, sebagai pengganti struktur kekuasaan kolonial, untuk melaksanakan secara merata tugas-tugas revolusi dan yang sesuai dengan ketentuan pasal 18 UUD ialah pemerintah-pemerintah daerah otonom, telah dibangun sejak permulaan revolusi Agustus 1945, tetapi sampai pada saat ini baru berwujud dalam Daerah-daerah Swatantra tingkat I dan II.

Melaksanakan pembentukan Daerah-daerah Swatantra tingkat III dan pendemokrasian tata perdesaan dengan mencabut dan mengganti perundang-undangan kolonial tentang desa, adalah juga tugas revolusi untuk dapat melaksanakan revolusi dengan alat-alatnya yang sesuai. Karena itu Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960 pasal 4 ayat (1) menentukan, bahwa “Untuk menjamin berhasilnya pelaksanaan Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan Pertama Tahun 1961-1969, diperlukan penyesuaian seluruh aparatur negara dengan tugasnya dalam rangka pelaksanaan Manifesto Politik dan Amanat Presiden tentang pembangunan Semesta Berencana serta Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Semesta”. Sifat-sifat dan syarat-syarat Pemerintahan sebagai aparatur termaksud baik di pusat maupun di daerah-daerah, haruslah: “1. Stabil dan berkewibawaan, 2. Mencerminkan kehendak Rakyat, 3. Revolusioner, dan 4. Gotong-royong”.

Berdasarkan pengalaman yang dilaporkan dari berbagai daerah ternyata, bahwa pelaksanaan UU No. 2/1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil dan UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria serta Perpu No. 56/1960 masih menemui berbagai rintangan. Padahal kedua UU ini adalah dasar-dasar untuk pelaksanaan politik dan program Land reform yang sudah dikomandokan oleh PJM Presiden agar dilaksanakan sejak hari upacara “ayunan cangkul pertama” pada 1 Januari 1961.

Berdasarkan keterangan-keterangan di atas, maka Konferensi Nasional Tani ke-II PKI yang berlangsung pada tanggal 15-16 Juli 1961 berpendapat bahwa untuk menjamin terlaksananya Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan Pertama pada umumnya, dan program Land reform pada khususnya, pemerintah supaya segera melaksanakan secepat mungkin pembentukan Daerah Swatantra Tingkat III sesuai dengan Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960 yang menyatakan:

1. Harus segera diadakan satu saja Undang-undang Pokok tentang Pemerintahan Daerah yang mencakup segala pokok-pokok (unsur-unsur) yang progresif dari UU No. 22/1948. UU No. I/1957. Pen. Pres. No. 6/1959 dan Pen. Pres. No. 5/1960, sesuai dengan ide demokrasi terpimpin.

2. Seluruh wilayah Indonesia dibagi habis dalam Daerah-daerah Swatantra.

Daerah Swatantra terdiri dari 3 tingkatan, tingkat I dan II sebagaimana yang telah ada dan yang masih akan diadakan berdasarkan perundang-undangan yang telah ada. Tingkat III diadakan pada daerah Kecamatan atau daerah kesatuan masyarakat hukum yang cukup besar, atau dari gabungan beberapa desa.

Daerah Swatantra Tingkat III pada akhirnya harus menggantikan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum terendah.

3. Untuk penyempurnaan aparatur pemerintahan Desa dalam rangka penyelenggaraan Pola Pembangunan Semesta, perlu memperlengkapi Undang-undang Pokok Pemerintahan Daerah No I/1957 dengan pelaksanaan pembentukan pemerintah Daerah Swatantra Tingkat III.

4. Harus segera diadakan retooling tentang Desa dengan mengganti segala peraturan perundangan Desa kolonial dengan Undang-undang Nasional yang mengatur:

a. Aparatur pemerintah Desa

b. Tugas dan wewenang Desa

c. Yang memungkinkan penggabungan-penggabungan Desa

Jangka waktu pelaksanaan untuk semua persoalan yang tersebut pada angka 1 s.d. 4 di atas harus sesingkat mungkin, sehingga dapat dilaksanakan ketentuan MPRS, bahwa “program Land reform harus selesai dilaksanakan dalam tahun-tahun pertama (antara 3-5 tahun) tahap pertama Pola Pembangunan”.

 

Jakarta, 16 Juli 1961

KONFERENSI NASIONAL TANI KE-II PKI

 

--------------------------------------------------------

 

JADIKAN PKI PEMIMPIN TANI YANG SEJATI

Oleh D.N. Aidit

Sebelum Konferensi Nasional Tani ke-II PKI ini ditutup izinkanlah saya menyampaikan beberapa patah kata yang bersifat memberi penekanan pada beberapa soal yang sudah kita diskusikan di dalam konferensi ini.

Sambutan penutup saya ini berjudul “jadikan PKI pemimpin tani yang sejati”. Mungkin kawan-kawan bertanya: apakah PKI mau dijadikan Partai kaum tani? Sudah tentu bukan itu maksudnya. PKI adalah Partai kelas buruh. Partai proletariat, sejak berdirinya hingga sekarang dan sampai di kemudian hari. Tetapi seperti yang pernah saya katakan pada kesempatan lain, proletariat Indonesia beserta partai politiknya, harus menjadi pembentuk dan pemimpin revolusi serta menjadi pemimpin kaum tani.

Proletariat adalah memang kelas yang memimpin revolusi Indonesia. Tetapi, basis revolusi Indonesia atau tenaga pokok revolusi Indonesia, adalah kaum tani. Mengkonsolidasi pimpinan proletariat dalam gerakan revolusioner Indonesia, pertama-tama berarti mengkonsolidasi pimpinan proletariat atas kaum tani. Untuk inilah PKI harus dijadikan pemimpin kaum tani yang sejati, pemimpin daripada berpuluh-puluh juta penduduk desa.

Jadi, banyak yang harus kita lakukan untuk mengkonsolidasi pimpinan proletariat, tetapi yang pertama-tama ialah mengkonsolidasi pimpinan proletariat atas kaum tani.

Pada pertengahan tahun 1953 dalam tulisan “Hari depan Gerakan Tani Indonesia” antara lain disimpulkan, bahwa ada dua sebab penting yang menjadi penghalang kemajuan gerakan tani di negeri kita. Dua sebab penting itu ialah: (1) karena PKI belum mempunyai program agraria yang tepat dan revolusioner; (2) karena belum baiknya pekerjaan PKI di kalangan kaum tani.

Mengenai program agraria yang tepat dan revolusioner, PKI sudah memilikinya sejak Kongres Nasional ke-V (Maret 1954), dan program ini juga telah diperkuat oleh Kongres Nasional ke-VI PKI (September 1959). Sampai sekarang program agraria dan garis kelas Partai dalam menghadapi bermacam-macam lapisan kaum tani adalah tepat, dan ternyata telah membawa banyak kemajuan dalam memobilisasi kaum tani dan mendekatkannya kepada Partai.

Program agraria dan garis kelas Partai mengenai kaum tani yang sudah tepat ini dalam Konferensi Nasional Tani ke-I PKI (April 1959) telah kita lengkapi dengan garis taktik yang luwes (fleksibel), yang membuka kemungkinan bagi Partai untuk menghimpun lebih dari 90% daripada penduduk desa sehingga sasaran gerakan tani menjadi kecil sekali, yaitu terbatas pada kaum tuan tanah dan lintah darat serta orang-orang yang paling reaksioner lainnya yang jumlahnya kurang daripada 10% penduduk desa.

Jadi, sebab pertama yang menjadi penghalang kemajuan gerakan tani sudah tidak ada lagi sejak tahun 1954.

Tentang sebab kedua, yaitu tentang pekerjaan PKI di kalangan kaum tani, Konferensi Nasional Tani PKI yang pertama antara lain menyimpulkan bahwa “Setelah kita mulai dengan mengadakan penyelidikan (penelitian, research) dengan mengirimkan kader-kader yang bertanggung jawab ke desa-desa, maka sekarang sudah tidak dapat lagi dikatakan bahwa kita tidak mengerti sama sekali hubungan-hubungan agraria di desa dan penghidupan kaum tani. Lewat praktek kita sendiri kita mulai mengetahui semuanya ini”. Sedangkan Kongres Nasional ke-VI Partai antara lain menyimpulkan: “Apa yang sekarang sudah mulai kita kerjakan, seperti misalnya mengirim anggota-anggota pimpinan Partai yang penting ke desa-desa untuk mengadakan penyelidikan tentang hubungan-hubungan agraria dan penghidupan kaum tani untuk waktu yang agak lama, mengadakan seminar-seminar dan konferensi-konferensi tentang hubungan agraria dan penghidupan kaum tani, semuanya ini harus kita teruskan dengan lebih teratur dan lebih sungguh-sungguh. Pekerjaan mengkonsolidasi dan meluaskan organisasi tani revolusioner harus menjadi pekerjaan utama dari PKI”.

Sidang Pleno ke-II daripada CC Kongres Nasional ke-VI Partai yang dilangsungkan pada akhir Desember 1960, menyimpulkan lebih positif lagi tentang hasil pekerjaan Partai di kalangan kaum tani, yaitu antara lain sebagai berikut: “sejak Kongres Nasional ke-VI berbagai kemajuan telah dicapai oleh Partai kita dalam bekerja di kalangan kaum tani. Dengan tidak mengenal lelah kader-kader Partai masuk desa keluar desa, berada di tengah -tengah kaum tani untuk membantu mengorganisasi kaum tani dan melahirkan kader-kader dari kalangan kaum tani sendiri, dan untuk mengadakan penelitian (research) mengenai hubungan agraria dan penghidupan kaum tani. Sudah agak banyak kader-kader kota yang mulai senang dan gembira bekerja di desa. Hasil yang menggembirakan ini adalah juga berkat dilaksanakannya gerakan mempelajari brosur-brosur penting tentang bekerja di kalangan kaum tani”.

Semuanya ini menunjukkan kepada kita, bahwa pekerjaan Partai di kalangan kaum tani mendapat kemajuan-kemajuan penting setelah agak banyak kader atasan Partai mengadakan penelitian di desa-desa, membantu mengorganisasi kaum tani dan melahirkan kader-kader dari kalangan mereka sendiri. Kita harus meneruskan kebiasaan baik ini, terutama pekerjaan mengadakan penelitian dengan lebih konsekuen, tidak hanya sekarang, tetapi juga di kemudian hari pada waktu kita membangun masyarakat sosialis.

Partai kita sudah sewajarnya memberi penghargaan yang tinggi kepada para kadernya yang dengan antusias dan tekun bekerja di kalangan kaum tani. Comite-comite Partai dari semua tingkat harus memberikan perhatian yang lebih baik kepada pendidikan politik dan pendidikan teori maupun kepada kesehatan dan penghidupan para kader yang dengan sepenuh hati bekerja di kalangan kaum tani.

Perkeras Disiplin Dan Perhebat Pekerjaan Politik

Selama Konferensi Nasional Tani PKI yang ke-II ini kita sudah mendiskusikan secara mendalam laporan kawan-kawan tentang pengalaman-pengalaman gerakan tani kita di seluruh negeri. Satu kenyataan ialah, bahwa di seluruh negeri sekarang sedang berkembang gerakan tani melawan tuan tanah. Yang mendorong perkembangan ini terutama ialah gerakan bagi hasil, yang pada hakikatnya adalah gerakan turun sewa atau secara populer sering disebut gerakan 6:4, dan persiapan-persiapan “land reform” terbatas, yaitu perubahan tanah menurut Program Umum PKI.

Gerakan tani kita sekarang berkembang di sekitar tuntutan-tuntutan yang sangat masuk akal, yaitu supaya apa yang sudah menjadi keputusan Pemerintah dan Parlemen dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, konkretnya supaya dilaksanakan perjanjian bagi hasil (berdasarkan Undang-undang Perjanjian Bagi Hasil) dan pendaftaran tuan tanah serta pembatasan milik tuan tanah (berdasarkan Undang-undang Pokok Agraria). Kader-kader Partai kita berusaha sungguh-sungguh untuk menjadi teladan dalam melaksanakan politik resmi ini dan pada umumnya kader-kader Partai sudah mengerti apa yang bisa dan harus dikerjakannya dalam hubungan dengan tuntutan-tuntutan ini.

Di beberapa tempat kaum reaksioner berusaha untuk memprovokasi gerakan tani dengan menghasut supaya kaum tani menuntut yang lebih jauh daripada apa yang sudah ditetapkan oleh Partai. Mereka berusaha menimbulkan perpecahan dalam barisan tani, berusaha menciptakan “alasan-alasan” untuk memukul gerakan tani yang sedang berkembang dan dengan demikian ingin menggagalkan tuntutan perjanjian bagi hasil dan tuntutan perubahan tanah terbatas. Tetapi usaha-usaha kaum reaksioner yang jahat ini tidak hanya telah mengalami kegagalan, tetapi juga telah mendidik kaum tani tentang cara-cara melawan agen provokator yang mau mengacaukan barisannya.

Menggagalkan usaha-usaha provokatif kaum reaksioner adalah salah satu tugas yang terpenting daripada kader-kader Partai yang bekerja di kalangan kaum tani. Untuk ini disiplin dalam gerakan tani harus lebih diperkeras dan pekerjaan politik di kalangan massa kaum tani harus diperhebat.

Garis Kelas Harus Dipegang Teguh

Di atas segala-galanya, garis kelas Partai mengenai kaum tani harus dipegang teguh yaitu: bersandar pada buruh tani dan tani miskin, bersatu dengan tani sedang, menetralisasi tani kaya dan melawan tuan tanah selangkah demi selangkah dan dengan membeda-bedakannya.

Buruh tani dan tani miskin adalah golongan tani yang paling revolusioner, oleh karena itu harus memegang pimpinan dalam organisasi tani revolusioner. Tani sedang perlu juga duduk dalam pimpinan, karena mereka adalah sekutu daripada buruh tani dan tani miskin.

Petani yang di samping bekerja sendiri mempunyai penghasilan dari eksploitasi harus digolongkan tani sedang, jika penghasilan yang didapatnya dari eksploitasi itu jumlahnya kurang dari 25% daripada seluruh penghasilannya. Ia baru digolongkan tani kaya, jadi golongan yang harus dinetralisasi (bukan sasaran), jika penghasilan yang didapatnya dari eksploitasi sudah berjumlah lebih dari 25% daripada seluruh penghasilannya.

Terhadap tuan tanah, yaitu sasaran aksi-aksi kaum tani, harus diadakan sikap yang membeda-bedakan, artinya tidak menyamaratakan, sesuai dengan sikap tuan tanah itu terhadap pelaksanaan Undang-undang Perjanjian Bagi Hasil dan Undang-undang Pokok Agraria. Tuan tanah -tuan tanah yang dengan sukarela atau tanpa perlawanan melaksanakan undang-undang pantas diberi nama “tuan tanah patriot” atau “tuan tanah Manipol”. Sikap kaum tani terhadap mereka dengan sendirinya harus berbeda dari sikap terhadap para tuan tanah yang berkepala batu, yang menentang pelaksanaan undang-undang tersebut dan mencoba-coba dengan akal-akal busuknya menipu Pemerintah dan kaum tani. Mereka ini sudah pada tempatnya diberi julukan “tuan tanah penipu” atau “tuan tanah bandit” karena mereka melakukan praktek bandit-isme terhadap Pemerintah dan kaum tani. Mereka adalah musuh kaum tani, musuh Rakyat, musuh bangsa, dan musuh negara.

Penyewaan tanah kecil tidak boleh dianggap sebagai tuan tanah, sehingga pelaksanaan UU Perjanjian Bagi Hasil dengan mereka haruslah melalui perundingan “antar-sahabat”, perundingan “antar kita sama kita”.

Maju Terus Untuk “6 Baik”

Adalah sangat penting, bahwa Konferensi telah memutuskan untuk selanjutnya memimpin kaum tani Indonesia dalam suatu gerakan “6 baik” atau gerakan untuk ”2 turun” dan “4 naik”, yaitu untuk:

1. Turun sewa (setoran)

2. Turun bunga

3. Naik upah

4. Naik produksi

5. Naik kebudayaan

6. Naik politik.

Semuanya ini adalah baik, adalah sangat tepat dan akan menjiwai gerakan tani kita. Oleh karena itu tepat sekali gerakan ini dinamakan gerakan “6 baik”. Dengan gerakan “6 baik” ini semua lapisan kaum tani bisa dibawa bergerak serentak untuk meluaskan dan mengkonsolidasi front persatuan tani anti-feodal dengan bersandarkan buruh tani dan tani miskin.

Dengan gerakan turun sewa (setoran) kaum tani penggarap tanah tuan tanah akan lebih dibangkitkan aksi-aksinya. Dengan gerakan turun bunga semua lapisan kaum tani akan lebih dibangkitkan melawan lintah darat. Dengan gerakan naik upah kaum buruh tani dan tani miskin akan lebih tampil peranan pimpinannya dalam gerakan tani. Dengan gerakan naik produksi, 5 atau 8 prinsip pengolahan tanah akan lebih berkembang dan semua lapisan kaum tani akan lebih dapat dipersatukan serta taraf hidupnya dipertinggi. Dengan gerakan naik kebudayaan semua lapisan kaum tani akan didorong secara berangsur-angsur meninggalkan keterbelakangan dan memasuki hidup berkebudayaan (PBH, sekolah, kesenian, anti judi, anti mabuk, dan sebagainya ). Sedangkan dengan gerakan naik politik kesadaran dan pengertian kaum tani akan meningkat sehingga akan lebih terjamin pelaksanaan garis politik Partai pada umumnya dan garis kelas serta taktik Partai yang tepat dalam gerakan tani pada khususnya.

Gerakan “6 baik” ini, setelah diadakan penyesuaian-penyesuaian juga berlaku dalam memimpin gerakan kaum nelayan.

Dengan melaksanakan gerakan “6 baik” maka syarat-syarat untuk berkembangnya gerakan koperasi di desa-desa akan bertambah baik, sehingga akan lebih tinggi berkibar tiga bendera koperasi Rakyat pekerja, yaitu bendera Koperasi Kredit (simpan pinjam), Koperasi Produksi, dan Koperasi Jual-Beli.

Kepada para kader Partai perlu terus menerus diingatkan supaya dengan teguh melaksanakan prinsip-prinsip koperasi Rakyat pekerja, yaitu: prinsip sukarela, kepentingan bersama, cara kerja dan pimpinan yang sepenuhnya terbuka dan demokratis. Perlu terus-menerus diingatkan, bahwa koperasi kita adalah alat di tangan Rakyat pekerja untuk melawan penghisapan tuan tanah, lintah darat, dan kapitalis. Jadi koperasi kita bukanlah alat kaum penghisap. Oleh karena itu keliru sekali, jika ada kawan yang duduk dalam pengurus koperasi mencoba-coba untuk meniru-niru perbuatan kaum penghisap dengan mengadakan korupsi atau kecurangan-kecurangan lain.

Kawan-kawan yang bekerja dalam koperasi yang sudah maju memang sudah sepantasnya mendapat upah dari koperasi. Tetapi mereka akan merusak pertumbuhan koperasi dan merusak nama baik Partai jika mereka mencoba-coba untuk menempatkan kepentingan diri sendiri di atas kepentingan massa anggota koperasi. Terhadap kawan-kawan yang bekerja di dalam koperasi dan merugikan kepentingan anggota-anggota koperasi, Komite-komite yang bersangkutan harus bertindak tegas dan tepat pada waktunya menarik kawan-kawan tersebut dari pekerjaan koperasi dan mengadakan tindakan disiplin terhadapnya.

Melaksanakan gerakan “6 baik” dan mengibarkan tinggi-tinggi bendera koperasi adalah tugas-tugas praktis kita dalam memimpin gerakan tani yang sekarang sedang berkembang dan mulai merata dimana-mana. Dengan melaksanakan semuanya ini berarti kita menjunjung tinggi Garis Umum Tripanji Partai, berarti kita mengkonsolidasi pimpinan proletariat. Dengan demikian kita menjadikan PKI pemimpin kaum tani yang sejati.

Dalam keadaan dimana gerakan tani sedang berkembang dalam melaksanakan tuntutan-tuntutan yang sangat masuk akal dan sangat jelas seperti sekarang ini, maka partai-partai politik, golongan-golongan dan tokoh-tokoh perorangan akan segera ketahuan pendiriannya terhadap kaum tani, dan ini berarti terhadap jalannya revolusi Indonesia. Belang masing-masing akan segera kelihatan. Kaum tani akan menuding dan mencibirkan mereka yang tidak disenanginya.

Ada tiga sikap yang bisa diambil oleh partai-partai politik, golongan-golongan dan tokoh-tokoh perorangan: pertama, berdiri di depan kaum tani dan memimpinnya; kedua, berdiri di belakang kaum tani sambil mencela dan mengejeknya; dan ketiga, berdiri di depan dengan sangkur terhunus melawan kaum tani.

Setiap orang Indonesia bebas untuk mengambil sikap yang mana. Tidak bersikap terhadap gerakan tani, artinya tidak bersikap terhadap revolusi Indonesia, adalah tidak mungkin. Masing-masing segera harus menentukan sikapnya.

Partai Komunis Indonesia sudah lama menentukan sikapnya, yaitu berdiri di depan kaum tani dan memimpin gerakannya. Inilah tanda setia yang utama pada revolusi Indonesia. Tanpa sikap ini kesetiaan pada revolusi Indonesia adalah terbatas atau omong kosong belaka.

Hidup gerakan “6 baik”!

Kibarkan tinggi-tinggi bendera koperasi Rakyat pekerja!

Kibarkan tinggi-tinggi Tripanji Partai!

 

(Pidato penutup Konferensi Nasional Tani PKI, diucapkan tanggal 16 Juli 1961)