Untuk Bekerja Lebih Baik di Kalangan Kaum Tani


Sumber: Untuk Bekerdja Lebih Baik Dikalangan Kaum Tani, D.N. Aidit, Asmu, Mau Tje-Tung. Djakarta: Jajasan "PEMBARUAN", 1958. Scan PDF Brosur "Untuk Bekerdja Lebih Baik Dikalangan Kaum Tani"


I S I

Kata pengantar

Hari depan Gerakan Tani Indonesia, oleh D.N. Aidit

Belajar dari Sidang Pleno DPP-BTI III, oleh Asmu

Kata Pendahuluan dan Kata Susulan pada “Penyelidikan Di Desa”, oleh Mao Tse-tung

 

---------------

 

KATA PENGANTAR

SALAH SATU tugas pokok bagi kaum Komunis Indonesia dewasa ini ialah membangkitkan, mengorganisasi dan memimpin aksi-aksi kaum tani melawan penghisapan tuan tanah, baik asing maupun bumi putra. Bangkitnya aksi-aksi kaum tani melawan tuan tanah secara luas akan sangat membantu kaum Komunis dalam meluaskan front persatuan nasional, yaitu tugas mengembangkan kekuatan progresif, bersatu dengan kekuatan tengah dan memencilkan kekuatan kepala batu.

Pekerjaan membangkitkan, mengorganisasi, dan memimpin aksi-aksi kaum tani melawan tuan tanah adalah pekerjaan yang berat dan sulit, tetapi mulia, karena berhasilnya pekerjaan itu menentukan kemenangan revolusi Indonesia.

Salah satu kelemahan Partai dalam pekerjaan di kalangan kaum tani ialah masih kurangnya pengetahuan kader-kader Partai mengenai hubungan-hubungan agraria di desa, yaitu mengenai keadaan di desa, klasifikasi di desa, dan penghidupan kaum tani.

Dalam laporannya kepada Sidang Pleno V CC PKI, Kawan D.N. Aidit antara lain menerangkan bahwa: “Untuk menjalankan tugas-tugas yang main berat ini menjadilah lebih penting lagi soal penyelidikan yang teliti mengenai hubungan-hubungan agraria di desa, soal pendidikan politik dan organisasi untuk kader-kader tani, soal mendidik banyak kader yang benar-benar mengerti persoalan desa dan kaum tani”.

Berhubung dengan kesimpulan laporan tersebut, maka Sidang Pleno V CC PKI telah memutuskan untuk memulai mengadakan penyelidikan yang teliti mengenai hubungan-hubungan agraria di desa dan penghidupan kaum tani. Untuk membantu kader-kader Partai melaksanakan tugas mempelajari keadaan di desa dan penghidupan kaum tani sebagai modal untuk memperbaiki pekerjaan Partai di kalangan kaum tani, maka Departemen Agitprop CC PKI menerbitkan brosur ini yang memuat tulisan-tulisan D.N. Aidit, Sekretaris Jenderal CC PKI, Asmu, Sekretaris Umum DPP-BTI, Mao Tse-Tung, Ketua CC PKI, yang dapat dijadikan pedoman bagi kader-kader Partai dalam menjalankan tugas tersebut.

Hendaknya brosur ini merupakan sumbangan yang berharga untuk memperbaiki pekerjaan Partai di kalangan kaum tani.

Jakarta, Agustus 1958

Depagitprop CC PKI

 

------------------------------

 

HARI DEPAN GERAKAN TANI INDONESIA

OLEH D.N. Aidit

Dibanding dengan gerakan kaum buruh, gerakan kaum tani Indonesia masih sangat jauh ketinggalan. Dari kaum tani yang jumlahnya kira-kira 70% dari seluruh penduduk, jadi kira-kira 64 juta jiwa, baru kira-kira satu juta yang terorganisasi. Dengan keluarganya baru kira-kira 4 atau 5 juta atau kira-kira 7% dari seluruh kaum tani.

Apakah sebabnya gerakan kaum tani kita begitu ketinggalan? Apakah karena kaum tani Indonesia tidak mempunyai tuntutan-tuntutan ekonomi, sosial, kultural, dan politik, sehingga dengan demikian tidak membutuhkan organisasi sebagai senjata untuk memperjuangkan tuntutan-tuntutannya? Jauh dari pada itu! Kaum tani Indonesia, sebagaimana halnya kaum tani negeri-negeri jajahan dan setengah jajahan lainnya, masih menderita kekurangan tanah garapan atau sama sekali tidak mempunyai tanah, sedangkan berbagai bentuk penghisapan feodal, seperti pologoro, rodi, dsb. masih berlaku hingga sekarang.

Jadi, apakah sebabnya hingga sekarang bagian yang sangat besar dari kaum tani belum terorganisasi dan aksi-aksi kaum tani belum luas, belum merata, dan belum terpimpin dengan baik?

Ada dua sebab penting yang selama ini menjadi penghalang kemajuan gerakan tani, yaitu: belum adanya program agraria yang tepat dan revolusioner dan belum baiknya pekerjaan Partai di kalangan kaum tani.

Tentang program agraria

Sampai sekarang, kita belum mempunyai program agraria yang tepat dan revolusioner, yang mendapat kepercayaan penuh dari kaum tani dan dengan demikian mendapat dukungan kaum tani. Sudah kira-kira 6 tahun, yaitu sejak Kongres BI di Jember tahun 1947, kita telah menggunakan program dan semboyan yang sebenarnya mencurigakan kaum tani karena belum bisa dipahamkan oleh kaum tani. Dalam program BTI dituntut “hak negara atas semua tanah”. Program ini oleh RTI dioper dan dinyatakan dengan semboyan “nasionalisasi semua tanah”. Kader-kader dan anggota-anggota Partai sudah berusaha meyakinkan kaum tani akan program-program agraria yang lalu. Pengalaman menunjukkan, bahwa program-program yang lalu tidak mampu membangunkan inisiatif massa, tidak mampu memobilisasi massa untuk melaksanakannya. Massa kaum tani acuh tak acuh dan bahkan tidak jarang curiga terhadap program agraria kita.

Oleh karena itu, adalah tugas kita yang terpenting untuk membikin program yang tepat dan revolusioner bagi kaum tani Indonesia, program yang dapat kepercayaan kaum tani, yang dapat menimbulkan inisiatif kaum tani, yang dapat memobilisasi kaum tani. Tugas ini terutama terletak pada rapat pleno Central Comite yang akan datang, rapat yang akan meninjau program Partai yang lampau dan yang akan membikin rencana Program PKI yang baru, yang lebih tepat, yang akan diajukan kepada Kongres Partai.

Untuk dapat menciptakan program agraria yang tepat, pertama-tama kita harus mengetahui benar sampai ke mana luasnya feodalisme di Indonesia. Sebagai suatu negeri yang sudah dikuasai oleh sistem kapitalisme, feodalisme di Indonesia sudah tentu tidak penuh lagi, sudah tidak 100% lagi. Yang masih ada di Indonesia sekarang ialah sisa-sisa feodalisme yang penting dan berat. Ini dapat kita lihat dari kenyataan-kenyataan: pertama masih adanya hak monopoli dari pada tuan tanah-tuan tanah besar atas milik tanah yang dikerjakan oleh kaum tani yang bagian terbesar tidak mungkin memiliki tanah dan karena itu terpaksa menyewa tanah dari tuan tanah-tuan tanah menurut syarat-syarat apa saja; kedua ialah pembayaran sewa tanah dalam wujud barang kepada tuan tanah-tuan tanah yang merupakan bagian sangat besar dari hasil panenan kaum tani dan yang mengakibatkan kemelaratan dari pada bagian terbesar kaum tani; ketiga ialah sistem sewa tanah dalam bentuk kerja di tanah tuan tanah-tuan tanah, yang menempatkan bagian terbesar dari kaum tani dalam kedudukan hamba; yang terakhir ialah tumpukan hutang-hutang yang menimpa bagian terbesar dari kaum tani dan yang menetapkan mereka dalam kedudukan budak terhadap pemilik-pemilik tanah.

Adalah keliru sekali pendapat yang mengatakan bahwa di Indonesia, dengan adanya Domeinverklaring tahun 1870, sudah tidak ada lagi milik feodal atas tanah. Masih adanya sistem milik tanah dan persewaan tanah yang ruwet di Indonesia sekarang adalah bukti yang menyatakan masih adanya penghisapan feodal atas kaum tani. Kenyataan menunjukkan, bahwa tuan tanah-tuan tanah asing dan Indonesia serta kaum ningrat menguasai tanah-tanah yang luas, sedangkan kekuasaan desa atas tanah menjadi hancur sedikit demi sedikit dan tanah-tanah itu kenyataan jatuh ke tangan kepala-kepala daerah, pegawai-pegawai tinggi, kyai-kyai kaya, dan orang-orang beruang lainnya.

Domeinverklaring tahun 1870, yaitu pengakuan dan pernyataan pemerintah Hindia Belanda atas haknya terhadap tanah, sama sekali tidak mengubah hakikat sistem milik tanah. Peraturan ini tidak lain dari pada satu usaha kaum kolonialis Belanda untuk memudahkan kaum modal monopoli mendapatkan tanah guna perkebunan-perkebunan. Ia sama sekali tidak menasionalisasi tanah dalam arti kata yang sesungguhnya. Tuan tanah-tuan tanah Indonesia maupun asing tetap mempunyai kekuasaan yang nyata atas tanah yang dimilikinya. Kekuasaan negara atas tanah hanya formal, hanya menurut undang-undang. Dalam teorinya, ada batas waktu yang diberikan kepada kaum modal monopoli dalam menggunakan tanah, tetapi dalam prakteknya penggunaan tanah itu dapat diperpanjang dengan mudah sehingga boleh dikatakan tidak ada batasnya.

Akibat masih adanya sisa-sisa feodalisme ini ialah: teknik pertanian sangat terbelakang dan karena itu kaum tani harus bekerja sangat keras sedangkan hasilnya tidak memadai; bagian terbesar dari kaum tani hidup melarat, tidak mempunyai atau tidak cukup mempunyai tanah dan menderita berbagai penghisapan secara feodal; pasar dalam negeri menjadi makin lama makin susut karena produksi pertanian makin merosot, karena penghasilan kaum tani terlalu rendah jika dibandingkan dengan kenaikan harga barang keperluan hidup yang pokok sehingga dengan demikian kekuatan membeli kaum tani menjadi sangat lemah; mengindustrialisasi negeri menjadi hal yang tidak mungkin karena lebih 70% dari penduduk tidak mempunyai kekuatan yang cukup untuk membeli hasil-hasil industri.

Adalah satu kenyataan, bahwa prinsip milik perseorangan atas tanah di negeri kita begitu berakarnya dalam kehidupan kaum tani sehingga kaum tani hanya dapat memahamkan revolusi agraria jika revolusi menyita tanah tuan tanah-tuan tanah, membagikannya dengan cuma-cuma kepada kaum tani sebagai milik perseorangan mereka. Inilah sebabnya mengapa kaum tani acuh tak acuh atau curiga terhadap semboyan “hak negara atas semua tanah” dari BTI dan semboyan “nasionalisasi semua tanah” dari RTI. Kader-kader Partai yang bekerja langsung di tengah-tengah kaum tani segera mengetahui bahwa semboyan ini tidak tepat, dan inilah pula yang menyebabkan RTI sejak permulaan tahun 1952 tidak lagi mempropagandakan semboyan “nasionalisasi semua tanah”. Jadi, pengalaman kita sendiri menunjukkan, bahwa program yang bermaksud menjadikan semua tanah milik negara atau yang bermaksud menasionalisasi semua tanah, tidak mendapat sambutan dan dicurigai oleh kaum tani, karena ini dianggap oleh kaum tani sebagai daya upaya untuk mengambil tanah kepunyaan mereka.

Berdasarkan kenyataan-kenyataan di atas, maka kewajiban PKI yang terdekat ialah melenyapkan sisa-sisa feodalisme, untuk mengembangkan revolusi agraria anti-feodalisme, untuk menyita tanah tuan tanah dan memberikannya dengan cuma-cuma kepada kaum tani sebagai milik perseorangan mereka. Penyitaan atas tanah tuan tanah, pembagian tanah ini dengan cuma-cuma kepada kaum tani sebagai milik perseorangan mereka, sama sekali tidak berarti bahwa tidak ada pengecualian terhadap tanah-tanah perkebunan yang berteknik modern. Tanah-tanah ini dan juga tanah-tanah hutan harus dikuasai oleh negara. Selanjutnya, tanah dan milik lainnya dari tani-kaya tidak boleh disita, sedangkan tanah dan milik lainnya dari tani-sedang harus dilindungi oleh pemerintah.

Apakah dengan memberikan tanah sebagai milik perseorangan kaum tani berarti bahwa sistem milik perseorangan atas tanah adalah sistem yang terbaik dan tidak akan berubah? Sama sekali tidak demikian! Kita mengetahui, bahwa kelak kaum pekerja tani yang merupakan golongan terbesar, berdasarkan pengalamannya sendiri sesudah revolusi agraria menang, akan sampai pada kesimpulan bahwa adalah perlu sekali untuk mempersatukan milik-milik tanah yang kecil-kecil dan alat-alat kerja mereka ke dalam satu pertanian kolektif yang besar di atas tanah yang luas dan untuk mendapatkan bantuan negara dalam bentuk traktor-traktor, kombain-kombain, dan mesin-mesin pertanian lainnya. Dengan perkataan lain, demikianlah kaum pekerja tani kita menempuh jalan pertanian-pertanian kolektif, jalan ke perkembangan sosialis. Pengalaman kaum tani sendiri serta pimpinan dan didikan Partai akan menanamkan kesadaran pada kaum tani sehingga kaum tani dengan suka rela meninggalkan prinsip milik perseorangan atas tanah.

Jadi teranglah, bahwa semboyan kita yang tepat bukanlah “hak negara atas semua tanah” atau “nasionalisasi semua tanah”, tetapi ialah: “tanah untuk kaum tani”, “pembagian tanah kepada kaum tani” dan “milik perseorangan tani atas tanah”. Semboyan-semboyan ini adalah paling tepat dan paling masuk akal, karena tidak ada orang yang lebih berhak atas tanah kecuali kaum tani sendiri berhubung kaum tanilah yang mengerjakan tanah dan yang sudah turun-temurun membasahi tanah dengan keringatnya. Dengan semboyan-semboyan ini kaum tani pasti tidak akan ragu-ragu terhadap program kita, malahan kaum tani akan mendukungnya dengan sekuat tenaga, dan ini adalah jaminan bagi persekutuan yang erat antara kaum buruh dan tani, jaminan bagi front persatuan nasional yang kuat, jaminan bagi kemenangan kita.

Tentang pekerjaan Partai di kalangan kaum Tani

Anggota dan calon anggota Partai sudah biasa dan lancar mengucapkan kalimat seperti: “Dengan tiada front nasional kemenangan tidak akan datang” dan “Front nasional tanpa basis persekutuan erat antara kaum buruh dan kaum tani, dan tanpa dipimpin oleh kelas buruh, tidak mungkin menjadi senjata yang kuat”.

Di dalam Partai sudah sering dibicarakan bahwa bekerja di kalangan kaum buruh dan kaum tani adalah bentuk kegiatan yang terpenting dan pokok dari pada PKI. Tetapi ternyata bahwa hal ini belum menjadi kesadaran yang mendalam. Ini dapat kita lihat dari kenyataan, bahwa menurut perbandingan masih terlalu sedikit anggota Partai yang berasal dari kaum tani dan belum ada anggota Partai yang mengerti benar serta sedikit sekali yang mengetahui tentang hubungan-hubungan agraria dan tentang tuntutan-tuntutan dan kehidupan kaum tani.

Kekurangan yang serius dari PKI sekarang ialah pekerjaan di kalangan kaum tani. Keadaan ini tidak boleh berlangsung lebih lama lagi. Kita harus lebih banyak menarik anggota-anggota baru dari kalangan kaum tani dan mendidik mereka menjadi anggota-anggota yang baik. Anggota-anggota dan organisasi-organisasi Partai dari daerah luar kota harus bekerja keras untuk mengetahui dan mengerti benar hubungan-hubungan agraria dan tentang tuntutan-tuntutan serta kehidupan kaum tani. Fungsionaris-fungsionaris kader-kader dan anggota-anggota Partai yang bekerja di kalangan kaum tani harus diperbanyak.

Semua kekurangan dalam pekerjaan Partai di kalangan kaum tani harus diatasi dengan segala kekuatan. Hanya dengan adanya kesungguh-sungguhan untuk mengatasi ini, barulah boleh dikatakan ada usaha yang nyata untuk menggalang persekutuan anti-feodalisme dari kaum buruh dan tani, dan ini berarti menggalang basis dari pada front persatuan nasional.

Langkah pertama dalam pekerjaan di kalangan kaum tani ialah membantu mereka dalam perjuangan untuk kebutuhan mereka sehari-hari. Hanya dalam perjuangan melawan tuan tanah- tuan tanah, kaum reaksioner dan imperialis untuk mendapatkan tuntutan bagian-bagian atau tuntutan sehari-hari dari kaum tani, hanya dengan melalui pekerjaan mengorganisasi dan mendidik kaum tani, perjuangan kaum tani bisa dinaikkan ke tingkat yang lebih tinggi. Membawa perjuangan kaum tani ke tingkat yang tinggi dengan tiada didahului oleh pekerjaan mengorganisasi dan mendidik kaum tani, dengan tidak didahului oleh pekerjaan yang kecil-kecil, yang remeh dan kelihatannya tidak penting di kalangan kaum tani, maka ini berarti menempuh jalan avontur yang sangat berbahaya bagi gerakan tani dan gerakan nasional pada umumnya.

Salah satu penghalang kemajuan gerakan tani revolusioner ialah, bahwa di antara anggota-anggota dan kader-kader Partai yang bekerja dalam organisasi tani masih terdapat mereka yang mempunyai hubungan ideologi dengan tuan tanah, atau mereka sendiri adalah tuan tanah. Anggota-anggota dan kader-kader demikian ini, walaupun dalam beberapa hal mungkin membantu pekerjaan Partai, tetapi pengalaman kita sendiri selama kira-kira 6 tahun belakangan ini menunjukkan bahwa mereka adalah penghalang kemajuan gerakan tani revolusioner. Mereka tidak konsekuen membela kaum tani melawan tuan tanah, karena mereka juga mempunyai kepentingan menghisap kaum tani. Kepada anggota-anggota dan kader-kader semacam ini Partai harus dengan tegas menyatakan pendiriannya, meyakinkan mereka dengan sungguh-sungguh, bahwa kepentingan kaum tani akan tanah tidak mungkin dikompromikan dengan kepentingan tuan tanah, bahwa kita tidak mungkin duduk di antara dua kursi, kursi kaum tani dan kursi tuan tanah, supaya anggota-anggota dan kader-kader semacam itu melepaskan sama sekali hubungan ideologinya dengan tuan tanah atau meninggalkan kedudukannya sendiri sebagai tuan tanah. Berangsur-angsur dan sistematis, pimpinan organisasi tani harus dipegang oleh kader-kader yang baik dan tahan uji dalam membela kepentingan kaum tani, dan dalam badan-badan pimpinan organisasi tani harus makin lama makin banyak duduk kader-kader yang berasal dari buruh tani dan tani miskin. Adalah kewajiban Partai kita yang sangat penting dan berat untuk meluaskan keanggotaan Partai di kalangan kaum tani, terutama buruh tani dan tani miskin, dan untuk meningkatkan anggota-anggota Partai yang berasal dari buruh tani dan tani miskin menjadi pemimpin kaum tani yang cakap.

Sekarang masih banyak fungsionaris-fungsionaris, kader-kader, dan anggota-anggota Partai yang menghindari pekerjaan di desa. Keadaan ini juga sangat menghalangi pertumbuhan gerakan tani. Ini terjadi karena pekerjaan di desa adalah lebih berat jika dibanding dengan pekerjaan di kota dan karena kesadaran belum mendalam di kalangan anggota Partai tentang besarnya arti pekerjaan di desa bagi Partai dan bagi revolusi. Tinggal di desa berarti jauh dari keramaian kota, jauh dari berbagai macam tontonan, jauh dari restoran-restoran, jauh dari pusat-pusat ilmu dan kebudayaan modern, dsb. Tinggal di desa berarti mesti hidup sangat sederhana, mesti menyesuaikan diri dengan keadaan kaum tani yang melarat dan yang pandangan-pandangannya masih sangat terbatas.

Hanya kader dan anggota yang ideologinya sudah kuat berani datang kepada Partai dan berkata: “Kirimlah saya ke desa, karena Partai membutuhkan saya ada di desa”. Hanya kader yang sudah kuat ideologinya menjalankan instruksi Partai untuk pergi ke desa dengan sepenuh hati dan jiwanya. Hanya kader-kader yang demikian akan dapat mempunyai hubungan yang mesra dengan kaum tani, akan dicintai oleh kaum tani, dan akan mengalami sendiri bahwa pekerjaannya adalah sangat penting bagi Partai dan bagi revolusi. Bahwa kesenangan-kesenangan dan kemajuan tidak hanya bisa didapat di kota-kota, tetapi juga di desa-desa. Pengalaman-pengalaman yang berharga serta kerajinan belajar selama bekerja di desa sama sekali tidak berarti bahwa mereka sebagai anggota Partai akan ketinggalan dari kader-kader dan anggota-anggota yang bekerja di kota-kota. Di samping itu Partai akan memberikan penghargaan yang sangat besar pada anggota-anggota dan kader-kadernya yang bekerja dengan sungguh-sungguh dan militan untuk massa kaum tani di desa.

Ada fungsionaris dan kader luar kota yang suka berkata bahwa di desa-desa di daerahnya tidak ada “obyek” atau sasaran bagi pergerakan kaum tani. Mereka katakana, bahwa di sana tidak ada tanah yang harus diduduki oleh kaum tani, di sana tidak ada tuan tanah yang harus dituntut untuk menurunkan sewa tanah, di sana tidak ada lintah darat yang harus dituntut supaya menurunkan bunga uang pinjaman, di sana tidak ada soal-soal irigasi, tidak ada soal kerja paksa, dsb. Pendeknya, kaum tani di daerahnya tidak mempunyai tuntutan apa-apa dan oleh karena itu kaum tani di daerahnya tidak bisa digerakkan, dan oleh karena itu pula BTI dan RTI-nya tidak bisa tumbuh.

Keterangan seperti di atas tentu menimbulkan pertanyaan: apakah dengan demikian berarti, bahwa kaum tani di daerah Kawan tersebut sudah bebas, sudah memiliki tanah dan sudah cukup tanah yang dimilikinya? Apakah dengan demikian berarti bahwa kaum tani di daerah Kawan tersebut sudah makmur hidupnya, sehingga tidak mempunyai tuntutan-tuntutan lagi? Pertanyaan-pertanyaan ini setelah diajukan pada Kawan tersebut biasanya menimbulkan pikiran-pikiran padanya, karena ia mengetahui bahwa kaum tani di daerahnya, sebagaimana juga kaum tani di daerah lain, masih jauh dari hidup makmur. Ia sendiri lalu menyadari bahwa sesungguhnya ia tidak mengetahui apa-apa tentang hubungan-hubungan agraria, tidak mengerti tuntutan dan kehidupan kaum tani di daerahnya. Jika tidak diajukan pertanyaan seperti di atas kepadanya, soal-soal ini biasanya tidak terpikir olehnya.

Biasanya, sesudah bekerja dan memperhatikan sungguh-sungguh persoalan dan penghidupan kaum tani, kader-kader luar kota kita akan mengetahui, bahwa kaum tani di daerahnya masih mempunyai tuntutan yang sangat banyak, seperti: tuntutan turun sewa tanah, turun bunga uang pinjaman dari lintah darat, turun pajak-pajak negara, tuntutan hapusnya tunggakan pajak bumi, hapusnya setoran paksa kaum tani, hapusnya pologoro dan rodi, tuntutan tanah kosong yang sudah lama dikerjakan oleh kaum tani supaya sah menjadi milik kaum tani, tuntutan supaya tanah-tanah kosong yang tidak dikerjakan bisa dibagikan kepada kaum tani, tuntutan supaya kaum tani menentukan secara bebas sewa tanahnya kepada perkebunan-perkebunan asing, tuntutan membasi gerombolan teror, tuntutan supaya pemerintah member bantuan bibit dan obat-obat pertanian, tuntutan supaya didirikan sekolah pertanian, tuntutan hapusnya pembayaran surat ijin memotong dan menjual kerbau atau sapi, tuntutan penghapusan pembayaran surat keterangan, tuntutan memperbaiki irigasi yang lama dan membikin yang baru, tuntutan pendemokrasian pemerintah desa, dsb. dsb.

Adalah kewajiban kader-kader dan anggota-anggota Partai untuk menentukan, melalui perunding dengan kaum tani, tuntutan mana yang paling mendesa (urgen) di sesuatu tempat dan pada waktu yang tertentu. Bagi tiap-tiap tuntutan bisa diadakan gerakan yang berdasarkan semboyan-semboyan, misalnya semboyan-semboyan sbb: “turunkan sewa tanah”, “turunkan bunga uang pinjaman”, “turunkan pajak negara”, “hapuskan tunggakan pajak bumi”, “hapuskan setoran paksa”, “hapuskan pologoro”, “hapuskan rodi”, “jangan diganggu tanah yang tak dikerjakan kepada kaum tani”, “hak kaum tani menentukan sewa tanahnya kepada perkebunan asing”, “persenjatai kaum tani untuk membasmi DI, TII dan gerombolan-gerombolan teror lainnya”, “bantuan bibit dan alat bagi kaum tani”, “satu sekolah pertanian untuk kecamatan…”, “hapuskan pembayaran surat ijin memotong dan menjual hewan”, “hapuskan pembayaran surat keterangan”, “perbaiki irigasi lama dan bikin yang baru”, “bentuk pemerintah desa yang membela Rakyat”, dsb. dsb. Apa yang tercantum di sini belum semua semboyan-semboyan dari pada tuntutan sehari-hari kaum tani. Terlalu banyak untuk dicantumkan semua di sini.

Dengan menyebutkan banyak semboyan di atas, sama sekali bukan maksudnya supaya diadakan gerakan serentak untuk melaksanakan semua semboyan itu sekaligus. Sebelum dimulai suatu gerakan harus didiskusikan matang-matang dulu di dalam organisasi Partai tentang gerakan apa yang harus diadakan dan bagaimana semboyannya. Kemudian, sesudah matang dibicarakan dalam organisasi Partai harus diajukan ke rapat-rapat organisasi tani. Jika dapat persetujuan kaum tani, maka gerakan harus dipersiapkan, diorganisasi dan dipimpin. Gerakan yang diadakan haruslah benar-benar dimengerti oleh kaum tani, harus benar-benar menjadi gerakan oleh kaum tani, dan semboyannya harus yang paling mudah ditangkap dan dipahami kaum tani.

Tiap-tiap tuntutan harus sesuai dengan kekuatan yang sesungguhnya dari organsiasi kaum tani. Jika organisasi masih lemah, maka tuntutan tidak boleh tinggi-tinggi, supaya dibatasi sampai kira-kira bisa berhasil dengan dukungan kekuatan organisasi yang belum kuat itu. Makin kuat organisasi, makin tinggi dan makin banyak gerakan menuntut yang bisa diadakan. Dalam menentukan tuntutan, peganglah senantiasa pedoman: “Biar kecil, tapi berhasil.

Hanya dengan bekerja praktis di kalangan kaum tani, hanya dengan memimpin kaum tani dalam memperjuangkan tuntutan sehari-harinya, tuntutan yang kelihatannya kecil, remeh, tidak penting, hanya dengan demikian kader-kader dan anggota-anggota Partai dapat mempunyai hubungan yang mesra dengan kaum tani dan mendapat kepercayaannya. Hanya dengan melalui aksi-aksi menuntut hal-hal yang kelihatannya kecil, yang remeh, tidak penting, organisasi kaum tani bisa makin lama makin kuat, makin luas dan makin teguh.

Hanya dengan melalui pekerjaan mengorganisasi dan mendidik kaum tani, perjuangan kaum tani bisa dinaikkan ke tingkat yang lebih tinggi. Hanya dengan melalui pekerjaan ini kaum tani dapat dididik dan dimobilisasi sehingga matang untuk melaksanakan semboyan: “tanah untuk kaum tani, “pembagian tanah kepada kaum tani” dan “milik perseorangan tani atas tanah”.

Hanya dengan demikian Partai dapat membantu kaum tani dalam perjuangannya melawan kaum feodal untuk mendapatkan tanah. Inilah syarat untuk terciptanya front anti-feodalisme dari kaum buruh dan kaum tani, sebagai basis dari pada front persatuan nasional yang dipimpin oleh kelas buruh. Tanpa ikut sertanya kaum tani, yaitu 70% dari pada seluruh penduduk, front persatuan nasional tidak akan mempunyai daya. Harus senantiasa menjadi pelajaran bagi kita, bahwa sebab pokok dari pada gagalnya revolusi Rakyat tahun 1945 – 1948 adalah karena massa kaum tani yang berpuluh-puluh juga belum dibangkitkan dan ditarik ke dalam revolusi. Harus menjadi pelajaran bagi kita, bahwa Partai mendapat luka parah karena pukulan reaksi dalam tahun 1926 dan dalam Provokasi Madiun tahun 1948 adalah karena kaum tani belum dengna teguh berdiri di belakang Partai.

Kawan Stalin dan Mao Tse-tung senantiasa mengajar kita, bahwa masalah tani adalah pokok persoalan pimpinan kelas buruh dalam revolusi, dan bahwa setelah mendapat persekutuan dengan kaum tani dalam revolusi barulah revolusi itu dapat mencapai kemenangan. Kawan Stalin dan Mao Tse-tung senantiasa mengajar kita, bahwa proletariat beserta partai politiknya, yaitu Partai Komunis, harus menjadi pembentuk dan pemimpin revolusi serta menjadi pemimpin kaum tani.

Demikian langkah-langkah yang harus kita ambil dalam melaksanakan kewajiban terdekat dari pada Partai kita, yaitu kewajiban melenyapkan sisa-sisa feodalisme, untuk mengembangkan revolusi agraria anti-feodalisme, untuk menyita tanah tuan tanah dan untuk memberikan dengan cuma-cuma tanah tuan tanah- tuan tanah kepada kaum tani sebagai milik perseorangan mereka. Revolusi agraria adalah hakekat dari pada revolusi Demokrasi Rakyat di Indonesia.

Dengan program agraria PKI yang revolusioner dan dengan kegiatan-kegiatan anggota PKI bekerja di kalangan kaum tani, kita yakin bahwa gerakan tani kita menghadapi masa gemilang, masa yang belum pernah dialami oleh gerakan tani Indonesia.

(“Bintang Merah”, Juli 1953)                                         

 

-------------------------------------

 

Belajar dari Sidang Pleno DPP-BTI III untuk Mengatasi Kelemahan Pekerjaan Partai di Lapangan Perjuangan Tani

Oleh Asmu

 

Sidang pleno DPP-BTI III yang dilangsungkan dari tanggal 26 sampai 28 Februari 1955, mempunyai arti yang penting bagi perkembangan perjuangan tani di Indonesia. Sidang ini antara lain telah mendiskusikan pengalaman kaum tani melawan tuan tanah, menentang anasir-anasir sabot dari pejabat-pejabat pemerintah dan pengalaman melawan gerombolan teror DI-TII, telah meninjau perkembangan organisasi, menyimpulkan sebab-sebab pokok dari pada kelemahan organisasi dan merumuskan cara-cara untuk mengatasinya.

Perkembangan politik dalam negeri akhir-akhir ini memberikan pengalaman baru bagi perjuangan tani di Indonesia. Sebagai hasil perjuangan Rakyat, sekarang ini kebebasan-kebebasan demokratis pada umumnya lebih terjamin dari pada waktu-waktu yang lampau. Tetapi kebebasan-kebebasan demokratis yang masih terbatas itu, di berbagai daerah lebih dipersempit lagi oleh tindakan-tindakan sabot dari sementara pejabat-pejabat pemerintah yang bertindak sejalan dengan kepentingan modal-monopoli-asing dan tuan tanah, dan dengan sadar menyokong politik reaksioner dari Masyumi-PSI. Sekali pun sudah ada undang-undang dan peraturan-peraturan yang agak maju, misalnya yang menetapkan supaya sengketa tanah antara kaum tani dengan onderneming atau Jawatan Kehutanan diselesaikan dengan jalan berunding, pejabat-pejabat yang reaksioner itu masih juga memilih jalan perkosaan, dan kadang-kadang dengan kekerasan senjata, dari pada jalan berunding. Dengan jalan ini, mereka mengabdikan diri pada kepentingan imperialis dan tuan tanah.

Tentang perkembangan perjuangan tani, dalam laporan tentang “memperluas dan mengkonsolidasi organisasi BTI” antara lain diterangkan, bahwa: “di satu pihak kaum tani sudah bangkit melawan tindakan-tindakan tuan tanah asing dan pejabat-pejabat Jawatan Kehutanan yang memusuhi kaum tani dan mencapai beberapa kemenangan, tetapi belum terkonsolidasi. Sedangkan di pihak lain sebagian besar kaum tani yang hidup di dalam penghisapan dan penindasan serta belum terpimpin secara tepat dalam perlawanannya”. Ini berarti sebagian besar kaum tani, yaitu yang diam di desa-desa di luar daerah-daerah onderneming dan kehutanan, belum terorganisasi dan belum bangkit secara luas melawan tuan tanah sebagai musuh pokok kaum tani. Keadaan ini menunjukkan kelemahan yang serius (yang sungguh-sungguh) dari pekerjaan Partai di lapangan perjuangan tani.

Dalam perjalanannya ke daerah-daerah, di beberapa daerah Kawan Aidit sering berjumpa dengan aktivis-aktivis Partai yang menerangkan bahwa di daerahnya tidak ada tuan tanah Indonesia. Tetapi, setelah Kawan Aidit mengadakan tukar pikiran langsung dengan kaum tani di daerah itu mengenai penghidupan mereka, ternyata, seperti juga di daerah-daerah lain di Indonesia, banyak terdapat tuan tanah Indonesia. Soalnya ialah, karena kawan-kawan aktivis Partai di daerah itu tidak melihat siapa sebenarnya tuan tanah itu. Kawan-kawan tersebut ternyata belum mengetahui penghidupan kaum tani yang sesungguhnya dan belum mengetahui pembagian kelas di desa. Laporan-laporan dalam sidang pleno DPP-BTI III membenarkan adanya kenyataan ini. Ini merupakan sebab yang terpenting mengapa Partai belum dapat membangkitkan bagian terbesar dari kaum tani, yaitu yang diam di desa-desa di luar daerah onderneming dan kehutanan, untuk melawan tuan tanah Indonesia.

Tiap-tiap anggota dan calon anggota Partai wajib mempelajari dengan sungguh-sungguh pembagian kelas di desa, mengerti ciri dari tiap-tiap kelas, sehingga bisa membeda-bedakan, misalnya membedakan tuan tanah dengan tani kaya, membedakan tani kaya dari tani sedang.

Dalam “Jalan ke Demokrasi Rakyat bagi Indonesia Kawan Aidit menerangkan bahwa: “langkah pertama dalam pekerjaan di kalangan kaum tani ialah membantu mereka untuk kebutuhan sehari-hari, untuk mendapatkan tuntutan bagian kaum tani”. Langkah pertama” tidak mungkin dilakukan dengan baik oleh aktivis-aktivis Partai yang tidak mengetahui komposisi kelas-kelas di desa tempat mereka bekerja.

Dalam sidang pleno DPP-BTI III oleh beberapa anggota Pleno dilaporkan, bahwa di beberapa daerah gerakan-gerakan gotong-royong mengalami kemunduran dan tidak disukai oleh sebagian besar kaum tani, sekali pun gerakan itu mengenai kepentingan sehari-hari dari kaum tani. Sebabnya ialah, karena dalam mengorganisasi gerakan-gerakan gotong-royong itu tidak memperhatikan komposisi kelas-kelas di desa, dan dengan sendirinya kewajiban-kewajiban tidak dibagi menurut kepentingan kelas masing-masing. Dengan semboyan, “bersatu dan rukun”, dalam gerakan gotong-royong memperbaiki pengairan misalnya, dikerahkan semua tenaga di desa dan diberikan beban yang sama dan “adil” bagi semua orang dari berbagai-bagai kelas dengan tidak memandang berapa besar kepentingan mereka masing-masing. Begitu pula dalam gerakan gotong-royong memperbaiki jalan dan jembatan desa. Tentu saja “gotong-royong” semacam itu tidak disukai dan ditolak oleh sebagian besar kaum tani. Selain dari pada itu, gerakan gotong-royong yang demikian tidak digunakan untuk membikin kaum tani menjadi kritis terhadap tuan tanah. Seharusnya selama gotong-royong memperbaiki pengairan, kaum tani supaya menghitung berapa jumlah pintu-air yang masuk ke tanah tuan tanah, berapa air yang “diminum” olehnya sepanjang musim dan berapa beban yang seharusnya dipikulkan kepadanya. Selama gotong-royong memperbaiki jalan dan jembatan desa, kaum tani supaya menghitung berapa kali sehari atau seminggu tuan tanah dan keluarganya hilir mudik berjalan kaki dan berkendaraan, berapa bagian jalan dan jembatan yang “dimakan” serta berapa pula beban yang harus dipikul olehnya. Dalam mengorganisasi gerakan saling membantu pada saat anggota-anggota menderita sakit atau kematian, jangan lupa menghubungkan aktivitas ini dengan propaganda bahwa penghisapan dan penindasan tuan tanahlah yang telah menyebabkan kesehatan golongan buruh tani dan tani miskin menjadi sangat jelek, umurnya pada umumnya menjadi lebih pendek, banyak anak mereka gugur dalam kandungan atau meninggal sebelum berumur 6 tahun, banyak istri mereka meninggal sehabis melahirkan anak, banyak di antara mereka yang mempunyai watak pemalu dan terganggu urat syarafnya (lekas menjadi gugup), dsb-nya. Dengan jalan demikian, kaum tani mengerti bahwa semua keadaan jelek yang menimpa dirinya adalah akibat penghisapan dan penindasan tuan tanah. Dengan demikian, kaum tani lama-kelamaan akan sampai pada kesimpulan, bahwa kelas tuan tanah adalah musuh mereka yang pertama, dan dengan mengetahui cara-cara penghisapan yang dijalankan oleh tuan tanah, kaum tani akan mengerti bahwa milik tanah tuan tanah adalah tidak adil dan tuan tanah harus dilawan. Kesimpulan ini akan membangkitkan kaum tani untuk lebih kokoh berdiri di sekeliling Partai melawan tuan tanah. Inilah arti sewajarnya dari usaha-usaha gotong-royong untuk kebutuhan sehari-hari bagi pergerakan tani revolusioner. Di sinilah letak perbedaan antara usaha-usaha gotong-royong yang diorganisasi oleh orang-orang Komunis yang ditujukan untuk meninggikan kesadaran dan perjuangan kaum tani terhadap tuan tanah, dengan yang diorganisasi oleh orang-orang reaksioner yang ditujukan untuk menjadikan kaum tani alat yang tidak melawan dari pada tuan tanah.

Berdasarkan kesadarannya, aksi-aksi kaum tani melawan tuan tanah harus diorganisasi setingkat demi setingkat, mulai dari tuntutan yang “ringan, misalnya: mengadakan perjanjian sewa tanah bersama-sama, menurunkan bunga uang pinjaman, menunda setoran, menurunkan bunga sewa tanah dsb-nya. Mengajukan tuntutan-tuntutan “ringan” tetapi dengan perhitungan pasti mendapat kemenangan, adalah satu-satunya jalan untuk menumbuhkan kepercayaan kaum tani terhadap kekuatannya dan untuk membangkitkan keyakinan kaum tani bahwa kekuasaan tuan tanah yang sudah berabad-abad itu bukanlah kekuasaan yang kekal (langgeng), tetapi dapat digoyangkan dan akhirnya tentu dapat dirobohkan oleh kekuatan kaum tani. Dengan jalan ini, kaum tani akhirnya akan melihat kebenaran semboyan Partai “tanah untuk kaum tani, mengakui kebenaran politik Partai “menyita tanah-tanah tuan tanah dan memberikan cuma-cuma tanah tuan tanah- tuan tanah kepada kaum tani, terutama kepada tani tak bertanah dan tani miskin, sebagai milik perseorangan mereka”, dan meyakini bahwa pelaksanaan politik ini adalah satu-satunya jalan pembebasan bagi kaum tani.

Kewajiban-kewajiban tersebut di atas adalah tugas tiap-tiap aktivis Partai yang bekerja di kalangan kaum tani, terutama aktivis-aktivis Partai yang bekerja di desa-desa di luar daerah-daerah onderneming dan kehutanan. Dengan melaksanakan tugas itu sebaik-baiknya, maka kewajiban sebagai kaum Komunis yang pertama-tama, yaitu “menarik kaum tani ke dalam front persatuan nasional”, dapat dipenuhi.

***

Dalam mendiskusikan pengalaman mengorganisasi kaum tani melawan tuan tanah, sidang pleno DPP-BTI III telah mendapatkan pengalaman-pengalaman yang berharga dari daerah-daerah, di antaranya seperti di bawah ini:

a. Masalah pembersihan anasir-anasir tuan tanah, terutama dari badan-badan pimpinan BTI

Program umum BTI dengan tegas bertujuan menghapuskan sisa-sisa feodalisme, menghapuskan kekuasaan tuan tanah atas tanah dan digantikan oleh kekuasaan kaum tani atas tanah dengan jalan “menyita tanah tuan tanah asing dan Indonesia dengan tidak membayar kerugian dan membagikan tanah tersebut kepada kaum tani dengan cuma-cuma terutama kepada kaum tani miskin dan tani tak bertanah, sebagai milik perseorangan kaum tani dan pembagiannya didasarkan kepada seorang-seorang”. Program BTI itu mendapat sambutan hangat dari massa kaum tani yang luas. Tetapi adanya anasir tuan tanah, terutama dalam badan-badan pimpinan, setidak-tidaknya telah menimbulkan keragu-raguan kaum tani, sehingga organisasi BTI menjadi kurang berpengaruh dan tidak cepat meluas.

Karena tertarik oleh kemajuan gerakan Rakyat dan berdasar pengalaman selama revolusi Rakyat tahun 1945-1948, di beberapa daerah terdapat orang-orang berasal dari keluarga tuan tanah yang masuk ke dalam BTI dan dengan jujur mau melaksanakan program BTI serta menyadarkan kaum tani. Kemungkinan semacam ini terutama terdapat di kalangan angkatan muda terpelajar dari keluarga tuan tanah. Setelah melampaui diskusi yang mendalam, setelah diadakan kritik dan otokritik, dengan sadar mereka meyakini pentingnya meninggalkan kedudukan kelasnya yang lama dan menjadi pengabdi kelas pekerja. Di bawah pimpinan Partai, dengan melampaui masa pendidikan yang lama, mereka dapat menjadi aktivis-aktivis Partai yang baik di lapangan perjuangan tani.

Di beberapa daerah lain, terdapat anasir-anasir tuan tanah yang dengan sengaja menyelundup dan menjalankan sabot terhadap perkembangan organisasi dan pelaksanaan program BTI. Orang-orang ini berusaha mencegah kebangkitan kaum tani melawan tuan tanah, menutup-nutupi kejahatan tuan tanah, membesar-besarkan kekuasaan dan kekuatan tuan tanah, mengecilkan kekuatan kaum tani dan kadang-kadang mengintimidasi kaum tani, misalnya dengan mengatakan bahwa “aksi kaum tani tidak dapat dipertanggungjawabkan” “aksi kaum tani terlalu radikal”, “aksi kaum tani menimbulkan anarki”, dsb. Apabila usaha itu tidak berhasil, artinya kaum tani terus juga beraksi, anasir tuan tanah yang duduk dalam pimpinan aksi dengan sengaja melarikan diri dengan maksud menggagalkan aksi itu. Orang-orang semacam ini harus segera diajukan ke depan rapat kaum tani untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya dan selanjutnya, sesuai dengan kebangkitan massa kaum tani, dipecat dari organisasi, diganti dengan anggota yang paling maju dan terpercaya, yang mewakili elemen yang paling baik dari kalangan kaum tani.

Program penghapusan sisa-sisa feodalisme tidak mungkin dipersatukan dengan kepentingan tuan tanah. Pembersihan anasir-anasir tuan tanah, terutama dari badan-badan pimpinan BTI, merupakan salah satu jaminan bagi perkembangan organisasi dan pelaksanaan program BTI. Dua pengalaman tersebut di atas memberikan pelajaran tentang perlunya pembersihan itu dijalankan dengan teliti dan bijaksana serta benar-benar bersandar pada kebangkitan dan kesadaran massa kaum tani sendiri.

Dibersihkannya anasir-anasir tuan tanah dari BTI sama sekali tidak menutup kemungkinan untuk mengadakan kerja sama dengan sementara tuan tanah dalam menghadapi keadaan tertentu, misalnya dalam aksi-aksi membasmi gerombolan teror DI-TII. Tetapi kerja sama semacam itu bertujuan untuk memperkuat perlawanan kaum tani, dan karenanya selama kerja sama itu kepentingan kaum tani tetap diutamakan dan tuntutan-tuntutan bagian mereka terhadap tuan tanah tidak boleh dihentikan.

b. Masalah satunya garis melawan tuan tanah dengan garis mengutamakan kepentingan buruh tani dan tani miskin

Dalam sidang pleno BTI III yang baru lalu kurang cukup mendapat perhatian perjuangan buruh tani dan tani miskin untuk mewujudkan tuntutan bagiannya. Di kalangan pemimpin-pemimpin BTI ada pendapat yang tidak membenarkan aksi-aksi menuntut kenaikan upah pertanian, terutama di daerah-daerah dimana kaum tani sedang berjuang melawan tuan tanah. Aksi-aksi semacam itu, katanya, akan merusak front persatuan tani melawan tuan tanah, akan menyempitkan front anti-feodal.

Pendapat ini tidak tepat dan menunjukkan kurang jelasnya pengertian tentang komposisi dan watak front persatuan tani.

Front persatuan tani adalah front anti-feodal dari semua golongan tani. Jelasnya, front persatuan dari golongan-golongan buruh tani, tani miskin, dan tani sedang melawan tuan tanah.

Golongan buruh tani dan tani miskin adalah golongan terbesar di desa yang paling menderita penghisapan dan penindasan tuan tanah. Mereka kekurangan tanah atau sama sekali tidak memiliki tanah, dan oleh karena itu sangat membutuhkan tanah dan menyokong dengan teguh politik penyitaan dan pembagian tanah tuan tanah. Kedua golongan ini dengan konsekuen berjuang melawan tuan tanah dan memandang berakhirnya kekuasaan tuan tanah sebagai satu-satunya jalan pembebasan. Watak ini menempatkan golongan buruh tani dan tani miskin menjadi tulang punggung front persatuan tani anti-feodal di desa. Front persatuan tani bersandar pertama-tama pada kedua golongan ini dan wajib mengutamakan kepentingan golongan-golongan ini. Tanpa ikut sertanya buruh tani dan tani miskin, front persatuan tani tidak mempunyai kekuatan sama sekali dan akan kehilangan watak anti-feodalnya.

Berakhirnya kekuasaan tuan tanah, bagi tani sedang berarti pembebasan dari penindasan politik dan dari penghisapan tuan tanah dalam bentuk sewa tanah. Penyitaan dan pembagian tanah serta alat-alat pertanian dan ternak yang berkelebihan milik tuan tanah juga menguntungkan tani sedang, sebab dengan itu mereka mendapat bagian alat-alat dan ternak, dan tani sedang penyewa tanah (tani sedang sewa) mendapat bagian tanah. Golongan tani sedang mempunyai kepentingan untuk menyokong buruh tani dan tani miskin dalam perjuangan mengakhiri kekuasaan tuan tanah, dan oleh karena itu dengan setia menyatukan diri ke dalam front persatuan tani. Dengan memihaknya golongan tani sedang kepada buruh tani dan tani miskin, front persatuan tani menjadi tambah luas dan bertambah kuat, karena golongan tani sedang mempunyai lebih banyak pengalaman dalam pekerjaan produksi pertanian dan tingkat kebudayaan mereka pada umumnya lebih tinggi. Tanpa tani sedang, front persatuan tani bisa terisolasi. Untuk menjamin persatuan di antara tani sedang dengan buruh tani dan tani miskin, dalam semua lapangan pekerjaan harus dilaksanakan semboyan “saling menguntungkan”.

Luas dan kuatnya front persatuan tani anti-feodal memaksa golongan tani kaya untuk memilih jalan hidup bersama-sama dengan kaum tani dari pada bersikap memihak untuk mati bersama-sama dengan tuan tanah.

Hakikat dari pada front persatuan tani adalah front persatuan dari golongan-golongan buruh tani, tani miskin, dan tani sedang, - dengan buruh tani dan tani miskin sebagai tulang punggung -, yang mampu menetralisasi tani kaya untuk mengakhiri kekuasaan tuan tanah. Yang dapat menjamin secara mutlak kebulatan front persatuan tani ini, ialah pelaksanaan politik penyitaan tanah tuan tanah dan pembagian tanah itu dengan cuma-cuma terutama kepada tani miskin dan tani tak bertanah sebagai milik perseorangan mereka. Politik ini sekarang belum terlaksana. Perlawanan terhadap tuan tanah pada umumnya baru terbatas pada menuntut penurunan sewa tanah dan bunga uang pinjaman. Berhasilnya tuntutan ini baru menguntungkan kaum tani yang mampu mengerjakan tanah, yang sedikit-banyak mempunyai modal pertanian, dan kaum tani yang dipercaya mendapatkan pinjaman, yang umumnya terdiri dari tani sedang sewa dan sebagian kecil tani miskin. Sedangkan sebagian besar dari golongan buruh tani dan tani miskin tidak mendapat keuntungan dari kemenangan aksi ini. Apabila dalam aksi-aksi menuntut penurunan sewa tanah kepada tuan tanah tidak sekaligus diorganisasi aksi-aksi menuntut kenaikan upah pertanian, dengan sendirinya sebagian besar dari golongan buruh tani dan tani miskin akan merasa tidak mempunyai kepentingan langsung dan tidak mungkin menyokong aksi itu dengan teguh. Dengan demikian front persatuan tani akan kehilangan tulang punggungnya. Jadi, untuk menjaga kebulatan front persatuan tani, malahan dalam aksi-aksi menuntut penurunan sewa tanah dari tuan tanah, sekali-kali tidak boleh dikesampingkan aksi-aksi menuntut kenaikan upah pertanian (upah mencangkul, menanam, menyiangi rumput, mengetam, dsb). Pelaksanaan semboyan “saling menguntungkan” antara tani sedang dengan buruh tani dan tani miskin adalah jaminan untuk menjaga persatuan di antara ketiga golongan tani itu dalam front persatuan tani. Sebaliknya, tuntutan kenaikan upah pertanian kepada tani kaya dan tuan tanah dilaksanakan berdasar keuntungan buruh tani dan tani miskin semata-mata.

Garis perjuangan mengutamakan kepentingan buruh tani dan tani miskin sebagai tulang punggung front persatuan tani, berusaha dengan sungguh-sungguh bersatu dengan tani sedang untuk memperluas dan memperkuat front persatuan tani, kemudian menetralisasi tani kaya untuk mengisolasi dan memukul tuan tanah setingkat demi setingkat, adalah satu, tidak dapat dipisah-pisahkan dan dilaksanakan sepotong-sepotong. Garis mengutamakan kepentingan buruh tani dan tani miskin serta bersandar pertama-tama pada mereka adalah garis hidup bagi perjuangan tani revolusioner. Garis ini berlaku untuk segala tindakan dan dalam semua tingkatan, mulai dari cara bergaul, mencari anggota, menyusun badan-badan pimpinan organisasi tani, mengorganisasi pekerjaan-pekerjaan praktis yang ada hubungannya dengan kepentingan sehari-hari dari kaum tani, sampai kepada tingkat tertinggi dari perjuangan tani, ialah melaksanakan politik penyitaan dan pembagian tanah tuan tanah dan menyusun pemerintahan Rakyat di desa.

Dengan mempraktekkan pelajaran dari pengalaman sidang pleno DPP-BTI III, maka kelemahan pekerjaan di lapangan perjuangan tani akan segera dapat dilikuidasi. Ini akan berarti bahwa sebelum pemungutan suara dalam pemilihan umum yang akan datang dilaksanakan, berjuta-juta kaum tani sudah bangkit berdiri di sekeliling Partai melawan tuan tanah, baik asing maupun Indonesia.

Bangkitlah aksi kaum tani melawan tuan tanah!

 

-----------------------------------------------

KATA PENDAHULUAN DAN KATA SUSULAN PADA “PENYELIDIKAN DI DESA”

Oleh Mao Tse-tung

 

Kata  pendahuluan

Politik partai di desa sekarang bukan lagi politik revolusi agraria yang berlaku dalam masa perang dalam negeri selama sepuluh tahun itu, melainkan politik Front Persatuan Nasional Melawan Jepang. Seluruh Partai harus melaksanakan petunjuk Central Comite tanggal 7 Juli dan tanggal 25 Desember 1940[1], dan harus melaksanakan petunjuk dari Kongres ke-7 yang akan datang. Bahan ini dicetak dengan maksud membantu kawan-kawan mencari suatu cara untuk menelaah masalah-masalah. Sekarang banyak sekali kawan kita yang masih bekerja secara ceroboh dan tidak mau memahami sesuatu dalam-dalam, bahkan sama sekali tidak mengetahui keadaan di bawah, sungguh pun mereka itu menjabat pekerjaan sebagai pembimbing. Ini berbahaya sekali. “Pimpinan tidak mungkin bisa baik betul-betul, kalau keadaan yang sebenarnya dari pada kelas dalam masyarakat Tiongkok tidak dipahaminya betul-betul secara konkret.

“Satu-satunya cara untuk memahami keadaan ialah menyelidiki masyarakat, menyelidiki kehidupan kelas-kelas dalam masyarakat”. Bagi seorang pembimbing, cara yang terpokok untuk memahami keadaan ialah memperhatikan beberapa kota dan desa menurut rencana, dan menyelidikinya berkali-kali dengan seksama berdasarkan pandangan pokok Marxisme, yaitu berdasarkan metode analisa kelas. Hanya dengan begitulah kita dapat mempunyai pengetahuan yang paling asasi di sekitar masalah masyarakat Tiongkok.

Untuk itu, pertama, mata harus melihat ke bawah dan jangan hanya ke atas saja. Barang siapa tidak suka dan tidak bertabah hari melihat ke bawah, dia seumur hidup tidak bisa benar-benar mengerti akan hal-ihwal Tiongkok.

Kedua, harus diadakan rapat penyelidikan, pengetahuan yang lengkap niscaya tak dapat diperoleh hanya dengan menengok-nengok ke kiri ke kanan dan mendengar-dengarkan desas-desus saja. Di antara bahan-bahan yang saya peroleh dengan perantaraan rapat penyelidikan itu, bahan-bahan mengenai Propinsi Hunan dan Gunung Tjingkang sudah hilang semuanya. Ada pun yang tercetak ini terutama terdiri dari bahan-bahan Penyelidikan Kabupaten Singkuo, Penyelidikan Kecamatan Tjangkang, dan Penyelidikan Kecamatan Tjaisi. Mengadakan rapat penyelidikan itu adalah suatu cara yang paling sederhana dan gampang dipraktekkan, lagi pula yang paling jitu dan terjamin. Saya mendapat banyak pelajaran dengan memakai cara ini. Rapat semacam itu merupakan sekolah yang lebih baik dari pada universitas yang mana pun. Yang menghadiri rapat itu hendaknya kader-kader tingkat menengah dan tingkat rendah yang sungguh-sungguh berpengalaman, atau Rakyat jelata. Waktu saya mengadakan penyelidikan atas lima kabupaten di Propinsi Hunan dan dua kabupaten di Gungung Tjingkang, saya mendatangi kader-kader pimpinan tingkat menengah di kabupaten-kabupaten itu. Waktu di Kabupaten Siunwu, saya mendatangi beberapa orang kader tingkat menengah dan tingkat rendah, seorang siucai yang miskin, seorang ketua perkumpulan pedagang yang sudah bangkrut, seorang penganggur bekas pegawai rendah yang mengurus pajak di kantor kabupaten. Mereka memberitahu saya tentang banyak hal yang belum pernah saya dengar dulu. Berkat bantuan seorang sipir di Kabupaten Hengsan, Propinsi Hunan, yang saya kenal tatkala saya mengadakan penyelidikan di kabupaten itu, maka untuk pertama kalinya saya dapat mengetahui segala keburukan dalam penjara-penjara di Tiongkok. Selama saya mengadakan penyelidikan di Kabupaten Singkuo dan di Kecamatan-kecamatan Tjangkang dan Tjaisi, saya mendatangi kawan-kawan pekerja di kecamatan dan tani biasa. Kader, tani, siucai, sipir, pedagang, dan pengurus pajak itu semuanya guru saya yang terhormat. Sebagai murid mereka, saya mesti menghormatinya, rajin dan bersikap sekawan dengan mereka; kalau tidak, mereka akan bersikap acuh tak acuh terhadap saya, tidak mau menceritakan yang diketahui mereka, atau menceritakannya tetapi tidak semuanya. Rapat penyelidikan itu tidak perlu dihadiri oleh banyak orang, tiga empat orang atau tujuh delapan orang saja sudah cukup. Waktu harus disediakan dan ikhtisar penyelidikan harus dipersiapkan pula, sedang kita sendiri harus bertanya seraya mencatat dan berdiskusi dengan mereka yang hadir. Maka ini pasti tak dapat dilaksanakan, apalagi dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, kalau pada kita tidak ada kegairahan yang penuh, tidak ada ketabahan hati melihat ke bawah, tidak ada hasrat mencari pengetahuan, dan tidak ada kemauan membuang sikap sombong dan bersedia menjadi murid kecil. Harus kita insyafi, bahwa massa adalah pahlawan yang sejati, sedang kita sendiri acap kali kekanak-kanakan dan menggelikan. Kalau ini tidak kita insyafi, kita pasti tidak akan mendapat pengetahuan yang asasi.

Saya terangkan sekali lagi, bahwa bahan ini diterbitkan terutama untuk menunjukkan suatu cara bagaimana mengetahui keadaan di bawah, dan bukan untuk mengharuskan kawan-kawan menghapalkan bahan-bahan yang konkret ini serta kesimpulan-kesimpulannya. Umumnya, borjuasi Tiongkok yang masih dalam masa kanak-kanak itu belum sempat, dan selamanya pun tidak mungkin, menyediakan untuk kita bahan-bahan yang agak lengkap atau bahkan yang minimum tentang keadaan masyarakat, sebagaimana halnya dengan borjuasi-borjuasi di Eropa, Amerika, dan Jepang. Karena itu, mau tak mau kita harus mengumpulkan sendiri bahan-bahan itu. Dan khususnya, orang yang menjalankan pekerjaan praktis setiap waktu harus berusaha mengikuti keadaan yang berubah-ubah terus, dalam hal ini Partai Komunis di negeri mana pun tidak bisa mengharapkan orang lain untuk menyediakan bahan-bahannya. Oleh sebab itu, semua orang yang menjalankan pekerjaan praktis harus menyelidiki keadaan di bawah. Pekerjaan penyelidikan ini lebih-lebih perlu bagi orang-orang yang hanya tahu teori, tetapi tidak tahu keadaan yang sebenarnya, kalau tidak, mereka tidak dapat menghubungkan teori dengan praktek. Meskipun pendapat “Tanpa penyelidikan, tidak berhak berbicara” ini pernah diperolok-olokkan sebagai “empirisisme picik”, tetapi sampai sekarang pun saya masih tidak menyesal, dan tidak hanya begitu saja, malah saya tetap mempertahankan pendapat, bahwa tanpa penyelidikan, tidak mungkin ada hak untuk berbicara. Banyak orang yang “baru saja turun dari kereta” sudah mengeluarkan komentarnya, mengemukakan saran-sarannya, mengkritik ini dan mencerca itu. Padahal orang-orang semacam ini pasti akan gagal sekaliannya, sebab komentar atau kritik yang diberikan tanpa penyelidikan yang seksama itu tidaklah lebih dari pada obrolan yang tidak-tidak. Tiada tepermanai kerugian-kerugian yang diderita. Partai kita karena “utusan-utusan raja” itu. “Utusan-utusan raja” itu terbang ke sana ke mari hampir terdapat dimana-mana. Tepatlah kata Stalin: “Teori akan menjadi teori yang tidak bersasaran, bila tidak dihubungkan dengan praktek revolusioner. Sudah tentu tepat pula yang dikatakannya: “Praktek akan menjadi praktek yang membuta, bila tidak dituntun dengan teori revolusioner”[2]. Tidak semua orang dapat dicap “empirisme picik”, kecuali tukang praktek yang membuta, yang tidak berharapan, dan tidak berpandangan jauh.

Sekarang pun saya masih sangat merasa perlu mempelajari hal-ihwal Tiongkok dan negeri-negeri lain di dunia dengan seksama. Ini disebabkan karena pengetahuan saya akan hal-hal itu masih dangkal, dan bukan untuk menunjukkan bahwa saya mengerti akan segala sesuatu, sedang orang lain tidak tahu. Bersama-sama dengan kawan-kawan seluruh Partai belajar dari massa dan belajar terus sebagai seorang murid kecil – inilah kehendak saya.

Kata susulan

Pengalaman masa perang dalam negeri selama sepuluh tahun itu adalah cermin yang terbaik dan terdekat bagi masa melawan Jepang sekarang ini. Tetapi, pengalaman yang dimaksud ini ialah pengalaman dalam hal bagaimana berhubungan dengan massa dan mengerahkan massa untuk melawan musuh, dan bukan dalam hal garis taktik. Garis taktik Partai sekarang prinsipnya berbeda dengan yang dulu. Dulu, melawan tuan tanah dan borjuasi kontra-revolusioner; sekarang, bersatu dengan semua tuan tanah dan borjuasi yang tidak menentang perlawanan terhadap Jepang. Bahkan pada masa akhir perang dalam negeri selama sepuluh tahun itu, kita pun salah karena kita tidak memakai politik yang berlain-lainan terhadap pemerintah dan partai yang reaksioner yang menyerang kita dengan kekuatan bersenjata pada satu pihak, dan terhadap semua lapisan masyarakat yang bersifat kapitalis di bawah kekuasaan kita pada pihak lain, demikian pun kita tidak memakai politik yang berlain-lainan terhadap golongan-golongan yang berlain-lainan dalam pemerintah dan partai yang reaksioner. Pada masa itu, kita memakai apa yang dinamakan politik “berjuang semata-mata” terhadap segala lapisan masyarakat, kecuali tani dan lapisan bawah borjuasi kecil kota. Politik itu sudah tentu salah. Dalam politik agraria, kita pun salah, karena kita mengingkari politik yang tepat yang dipakai pada masa permulaan dan pertengahan perang dalam negeri selama sepuluh tahun itu[3],  yakni politik membagikan sebidang tanah seluas bagian tani kepada tuan tanah juga, supaya tuan tanah dapat bercocok tanam dan tidak sampai berkeliaran atau menjadi bandit di pegunungan merusak ketertiban masyarakat. Politik Partai sekarang bukan “berjuang semata-mata dan meniadakan persatuan”, juga bukan “bersat semata-mata dan meniadakan perjuangan” (seperti Tjen Tu-siu-isme tahun 1927), melainkan bersatu dengan segala lapisan masyarakat yang melawan imperialisme Jepang, menggalang front persatuan dengan mereka, tetapi sementara itu kita harus pula melakukan perjuangan dalam berbagai-bagai bentuk terhadap mereka, menurut derajat keguncangan dan sifat reaksioner mereka, yaitu sampai mana mereka menyerah kepada musuh, menentang Komunis dan Rakyat. Politik sekarang ini adalah politik mendua yang memadu “persatuan” dan “perjuangan”. Dalam politik perburuhan, penghidupan kaum buruh diperbaiki dengan sepantasnya, sedangkan perkembangan yang normal dari pada ekonomi kapitalis tidak dihalangi. Dalam politik agraria, tuan tanah dituntut supaya menurunkan sewa tanah dan bunga, dan di samping itu tani juga ditetapkan supaya membayar sewa tanah dan bunga yang sudah diturunkan itu. Dalam hak politik, seperti kaum buruh dan tani, semua tuan tanah dan kaum kapitalis yang melawan Jepang juga diberi hak pribadi, hak politik dan hak mempunyai milik, tetapi di samping itu tindakan kontra-revolusioner yang mungkin diambil mereka harus dicegah pula. Ekonomi negara dan ekonomi koperasi harus dikembangkan; tetapi di daerah basis desa sekarang sektor ekonomi yang utama bukanlah ekonomi negara, melainkan ekonomi partikelir, maka ekonomi kapitalis liberal harus diberi kesempatan berkembang, guna melawan imperialisme Jepang dan sistem setengah-feodal. Inilah politik yang paling revolusioner di Tiongkok pada dewasa ini. Tentu salah kalau pelaksanaan politik ini ditentang dan dihalangi. Dengan sungguh-sungguh dan tegas mempertahankan kemurnian Komunis dari pada anggota Partai Komunis, dan melindungi sektor kapitalis yang berfaedah di dalam ekonomi sosial serta mengembangkannya selayaknya, itulah kedua tugas kita yang tak boleh kurang dalam masa melawan Jepang dan membangun republik demokratis. Dalam masa ini, ada kemungkinan sebagian anggota Partai Komunis akan dirusak moralnya oleh borjuasi dan pikiran kapitalis akan timbul di kalangan anggota-anggota Partai Komunis. Pikiran yang bejat di dalam Partai ini haruslah kita lawan, tetapi janganlah perjuangan melawan pikiran kapitalis di dalam Partai itu secara salah dipindahkan ke lapangan ekonomi sosial untuk menentang sektor ekonomi kapitalis. Garis demarkasi ini harus kita tarik sejelas-jelasnya. Partai Komunis Tiongkok bekerja di dalam keadaan yang pelik, maka setiap anggota Partai, teristimewa kader, harus menggembleng dirinya menjadi seorang pejuang yang mengerti akan taktik Marxis. Kemenangan revolusi tidak dapat dicapai, bila sesuatu masalah ditinjau secara berat sebelah dan sederhana.


Keterangan

1. Yang dimaksud dengan petunjuk Central Comite tanggal 7 Juli 1940 ialah Putusan Central Comite Partai Komunis Tiongkok tentang Situasi Sekarang dan Politik Partai yang diumumkan pada waktu itu. Petunjuk Central Comite tanggal 25 Desember 1940 ialah tulisan Tentang Politik.

2. Kutipan dari tulisan Stalin Dasar-dasar Leninisme, bagian II.

3. Yang dimaksud dengan masa permulaan perang dalam negeri selama sepuluh tahun, ialah masa semenjak akhir tahun 1927 hingga akhir tahun 1928, yang biasanya disebut masa Gunung Tjingkang. Yang dimaksud dengan masa pertengahan, ialah masa semenjak awal tahun 1929 hingga musim gugur tahun 1931, yaitu masa semenjak pembukaan daerah basis Merah Pusat hingga kampanye melawan “pengepungan dan pembasmian” ketiga yang berakhir dengan kemenangan. Yang dimaksud dengan masa akhir, ialah masa semenjak akhir tahun 1931 hingga akhir tahun 1934, yaitu masa semenjak kampanye melawan “pengepungan dan pembasmian” ketiga yang berakhir dengan kemenangan hingga diadakannya rapat Politbiro Central Comite Partai yang diperluas di Tjunji, Propinsi Kuitjou. Rapat Tjunji yang diadakan pada bulan Januari 1935 telah mengakhiri garis oportunis “Kiri” yang berkuasa di dalam Partai mulai tahun 1931 hingga akhir tahun 1934, sehingga Partai dapat kembali ke garis yang tepat. Lihatlah Resolusi tentang Beberapa Masalah Sejarah, bagian III.