Menggugat Peristiwa Madiun

D.N. Aidit (24 Februari 1955)


Sumber: Menggugat Peristiwa Madiun, D.N. Aidit. Cetakan ke-4. Djakarta: Jajasan "PEMBARUAN", 1963. Scan PDF Brosur "Menggugat Peristiwa Madiun "


DAFTAR ISI

 

AIDIT MENGGUGAT PERISTIWA MADIUN

Saya membela kehormatan Partai saya

Yang didakwakan kepada saya

Peristiwa Madiun memang provokasi

Tangan yang berlumuran darah

Jaga Persatuan Nasional seperti kita menjaga biji mata kita

 

LAMPIRAN

I. Tuntutan Jaksa tidak beralasan

II. Tuntutan Jaksa inkonstitusional

III. Proses yang lebih mengeratkan hubungan PKI dengan massa

IV. Verslag proses verbal pembunuhan Sidik Aslan dan kawan-kawan serta Letnan Kolonel Dachlan dan Mayor Mustoffa dan kawan-kawan dari TNI Batalyon 38/Divisi I

V. Pengakuan Mayor Zainul Sabaruddin, Komandan Batalyon 38 TNI mengenai pembunuhan terhadap Sidik Aslan dan kawan-kawan

VI. Penjelasan mengenai pengakuan Mayor Zainul Sabaruddin

 

---------------------

Menggugat Peristiwa Madiun adalah pembelaan yang diucapkan oleh Kawan Aidit di muka Sidang Pengadilan Negeri, Jakarta, tanggal 24 Pebruari 1955 mengenai Provokasi Madiun, yang pada hakikatnya merupakan pembelaan Partai Komunis dan rakyat Indonesia yang tidak bisa dilupakan dalam sejarah politik negeri kita. Pembelaan yang bersejarah ini sudah berbalik menjadi gugatan dan tidak hanya mempunyai arti nasional tetapi juga internasional. Dengan tandas Kawan Aidit menelanjangi provokasi reaksi, membongkar bahwa tangan reaksilah yang berlumuran darah serta mengungkapkan kebenaran bahwa bukan PKI, melainkan pihak reaksilah yang patut dan harus didakwa.

Tangkisan dan pembelaan Mr. Suprapto di muka Sidang Pengadilan tersebut dan protes rakyat Indonesia terhadap proses Kawan Aidit melalui berbagai macam bentuk, baik dengan pengiriman surat-surat dan telegram-telegram maupun dengan pengumpulan uang, menunjukkan betapa eratnya hubungan PKI dengan massa rakyat.

Komisi Pilihan Tulisan

D.N. Aidit dari CC PKI

 

-----------------------------------------------------

SAYA MEMBELA KEHORMATAN PARTAI SAYA

Saudara Ketua Pengadilan Negeri yang terhormat.

Terlebih dulu saya mengucapkan terima kasih kepada Saudara Ketua Pengadilan yang sudah memimpin sidang-sidang dimana saya diperiksa dengan baik. Kepada publik yang datang untuk menghadiri sidang ini juga saya mengucapkan terima kasih.

Saya yakin, bahwa sidang pengadilan sekarang tidak hanya diikuti oleh kita yang berada di dalam ruangan ini, tetapi ia juga diikuti oleh berjuta-juta orang yang berada di luar gedung ini. Ia diikuti oleh penduduk di kota-kota dan di desa-desa, oleh kaum buruh di pabrik-pabrik dan di kebun-kebun, oleh para pegawai di kantor-kantor, oleh nelayan di tepi pantai, oleh para pemuda dan pelajar kita, oleh para seniman dan inteligensia kita, pendeknya oleh segenap lapisan masyarakat Indonesia.

Perhatian yang besar terhadap perkara yang sedang diperiksa sekarang dapat kita lihat dari surat-surat dan telegram-telegram yang jumlahnya beribu-ribu disampaikan kepada Pengadilan Negeri Jakarta, dan tembusannya antara lain disampaikan kepada Central Comite PKI.

Berjuta-juta orang menunggu dengan hati berdebar-debar putusan apa yang akan diambil oleh sidang ini mengenai perkara yang membikin saya berkenalan dengan pengadilan.

Saya sudah tentu tidak boleh dan tidak mau mempengaruhi pengadilan ini, tetapi saya perlu menyatakan perasaan dan pikiran saya, bahwa putusan pengadilan terhadap perkara saya akan menjadi ukuran bagi rakyat Indonesia sampai ke mana keadilan dapat diharapkan dari Pengadilan Negeri ini.

Sebelum saya sampai kepada bagian pokok dari pembelaan saya, saya merasa perlu mengemukakan beberapa hal yang saya anggap aneh dan minta perhatian sidang pengadilan ini.

Sebagaimana sudah diketahui, sebelum saya sendiri tahu bahwa saya dipanggil untuk menghadap ke Pengadilan Negeri Jakarta, beberapa koran dan kantor berita sudah memuat berita tentang panggilan Pengadilan Negeri Jakarta untuk saya. Saya baru mendengar kabar tentang panggilan Pengadilan Negeri untuk saya pada tanggal 30 September 1954, menurut surat panggilan yang sampai sekarang belum pernah saya baca sendiri. Kabarnya surat panggilan itu tertanggal 21 September 1954 dan dimaksudkan supaya saya menghadap Pengadilan Negeri Jakarta pada tanggal 23 September 1954. Tetapi anehnya, Ketua yang terhormat, Buletin “Antara” tanggal 11 September, Harian “Pedoman” tanggal 13 September, Harian “Abadi” tanggal 13 September, dan Harian “Keng Po” tanggal 13 September sudah memuat berita tentang akan dihadapkannya saya ke muka Pengadilan.

Mula-mula berita-berita itu saya anggap hanya sebagai bagian dari kampanye Masyumi, BKOI, dan BPII (Bekas Pejuang Islam Indonesia) dalam menerjang PKI, karena pada waktu itu Masyumi dan organisasi-organisasi serta koran-koran satelitnya sedang hebat-hebatnya menerjang PKI dengan menggunakan “Peristiwa Madiun” sebagai senjata yang dianggapnya ampuh.

Saya tidak menuduh, tetapi pada waktu itu sungguh saya menduga bahwa Pengadilan Negeri atau Kejaksaan Jakarta, sengaja atau tidak sengaja, sudah ikut membantu Masyumi dalam kampanye anti-Komunis. Sebab, menurut pikiran saya ketika itu, kalau tidak dari Pengadilan Negeri atau Kejaksaan Jakarta, dari mana kantor berita “Antara” dan koran-koran yang saya sebutkan di atas mendapat berita bahwa saya akan dihadapkan ke Pengadilan, dimana saya sendiri belum mengetahui apa-apa tentang ini. Saya pada dasarnya tidak mempunyai rasa kurang senang terhadap Saudara Dali Mutiara sebagai pribadi maupun sebagai Jaksa, tetapi dimana Masyumi menjalankan politik anti-Komunis dengan menggunakan cara-cara yang sangat kotor, maka saya tidak bisa menghilangkan kecurigaan saya pada diri Saudara Dali Mutiara sebagai anggota atau simpatisan Masyumi.

Saudara Ketua yang terhormat.

Saya dihadapkan ke Pengadilan ini berhubung dengan sebuah statement Politbiro CC PKI yang dikeluarkan berhubung dengan peringatan PKI mengenai Peristiwa Madiun. Jadi, terang bahwa statement yang menjadi perkara ini ada hubungannya dengan Peristiwa Madiun. Berhubung dengan ini, dengan sungguh-sungguh saya nyatakan di sini, bahwa bagi saya bukanlah suatu kegembiraan atau kebahagiaan untuk berbicara tentang Peristiwa Madiun. Kalau bukan sangat terpaksa saya tidak mau berbicara tentang peristiwa yang menyedihkan ini. Dalam pidato kedua saya di Parlemen beberapa bulan yang lalu sudah saya katakan, bahwa ada dua sebab yang membikin saya tidak gembira berbicara tentang Peristiwa Madiun. Pertama, ia mengingatkan saya kembali kepada kawan-kawan saya dan rakyat Indonesia yang banyak menjadi korban peristiwa ini. Kedua, ia mengingatkan saya kembali akan suatu masa dimana terdapat perpecahan yang sangat besar di dalam kubu persatuan nasional kita.

Selain daripada itu saya mengetahui, bahwa jika saya berbicara tentang Peristiwa Madiun maka banyaklah orang yang merasa tidak enak karena ingat pada sikapnya yang lemah ketika peristiwa itu terjadi atau ingat akan dosanya karena dengan tidak berpikir panjang sudah membunuh teman seperjuangannya dan membunuh pemimpin-pemimpin serta saudara-saudara sebangsanya yang belum keruan bersalah. Saya berbicara tentang orang-orang yang lemah batin dan orang-orang yang mempunyai perasaan. Saya tidak berbicara tentang orang-orang yang sampai hari ini masih mengharap akan datang lagi musim panen menghirup darah kaum Komunis seperti yang terjadi dalam Peristiwa Madiun dulu. Saya berbicara tentang orang-orang biasa yang mempunyai perasaan, terutama tentang anak-anak dan saudara-saudara kita yang pada waktu terjadi Peristiwa Madiun berada di dalam Angkatan Perang. Saya tahu benar, bahwa tidak sedikit di antara mereka ini yang ikut ambil bagian dalam “pengejaran terhadap kaum merah” semata-mata hanya ikut-ikutan saja atau karena perintah atasan.

Saya tahu, bahwa sekarang tidak sedikit orang biasa yang menyesali perbuatannya, setelah mendapat keterangan yang benar mengenai Peristiwa Madiun. Ya, dengan gembira dapat saya katakan, bahwa di antara orang-orang yang karena tidak mengertinya telah ikut dalam “pengejaran terhadap kaum Komunis”, tidak sedikit sekarang yang sudah tidak mempunyai purbasangka lagi terhadap PKI dan sudah berjanji pada diri sendiri untuk tidak lagi menjadi alat perang saudara dari kaum imperialis dan kaki tangannya.

Singkatnya, saya tidak suka berbicara tentang Peristiwa Madiun. Tetapi, di dalam keadaan dimana sekarang saya dihadapkan ke muka Pengadilan ini dalam hubungan dengan sebuah statement yang memuat sikap PKI terhadap Peristiwa Madiun, saya terpaksa dimana perlu berbicara tentang Peristiwa Madiun. Saya lakukan ini bukan untuk menyakiti hati orang, bukan untuk mengingatkan orang pada saat-saat ia dikuasai oleh batinnya yang lemah, dan sama sekali bukan untuk mengingatkan orang akan dosa-dosanya. Saya lakukan ini untuk membela kehormatan kawan-kawan saya yang sudah menjadi korban Peristiwa Madiun, untuk membela kehormatan rakyat Indonesia yang memihak PKI dalam hal Peristiwa Madiun. Pendeknya, saya di sini membela kehormatan Partai saya dan membela kehormatan rakyat Indonesia yang sering dituduh dan difitnah dalam hubungan dengan Peristiwa Madiun.

YANG DIDAKWAKAN KEPADA SAYA

Dalam sidang Pengadilan tanggal 25 November tahun yang baru lalu oleh Jaksa Dali Mutiara sudah dibacakan dakwaan kepada saya, penanggung jawab statement Politbiro CC PKI tanggal 13 September 1953 (dimuat dalam “Harian Rakyat” tanggal 14 September 1953) yang berkepala “Peringati Peristiwa Madiun secara intern!” Saya didakwa sudah bersalah melanggar pasal-pasal 134, 207, 310 dan 311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Saya dituduh sudah menghina dan menyerang kehormatan Wakil Presiden Republik Indonesia, Drs. Moh. Hatta.

Saya menolak semua tuduhan yang ditujukan kepada saya, karena saya tidak merasa berbuat demikian dan saya tidak mempunyai kepentingan untuk berbuat demikian. Dalam statement Politbiro CC PKI tersebut, tidak satu pun perkataan yang menyebut Wakil Presiden Republik Indonesia, Drs. Moh. Hatta. Yang ada disebut ialah tentang pemerintah yang ketika statement itu dikeluarkan sudah tidak ada lagi, dan pemerintah itu adalah pemerintah yang saya namakan pemerintah Hatta-Sukiman-Natsir. Oleh karena statement tersebut tidak memuat perkataan Wakil Presiden Republik Indonesia, Drs. Moh. Hatta, maka statement itu tidak mungkin ada sangkut-pautnya dengan penghinaan terhadap diri Wakil Presiden Republik Indonesia yang manapun juga. Oleh karena itu saya menganggap tidak mungkin tuduhan menghina Wakil Presiden Republik Indonesia ditujukan kepada saya. Selanjutnya bagian yuridis daripada pembelaan ini akan diucapkan oleh advokat saya, Saudara Mr. Suprapto.

Dalam sidang Pengadilan tanggal 27 Januari 1955 telah saya katakan, bahwa statement Politbiro CC PKI tanggal 13 September 1953 dikeluarkan tidak dimaksudkan untuk menghina, tetapi semata-mata untuk kepentingan umum dan pembelaan. Berpegang pada ayat 3 pasal 310 KUHP, dalam sidang tanggal 27 Januari itu juga sudah saya nyatakan kesediaan saya untuk membuktikan dengan saksi-saksi bahwa Peristiwa Madiun memang provokasi dan bahwa dalam peristiwa tersebut tangan Hatta-Sukiman-Natsir cs. memang berlumuran darah. Kesediaan saya ini, yang juga diperkuat advokat saya, Saudara Mr. Suprapto, tidak mendapat persetujuan Pengadilan. Jaksa menyatakan keberatannya akan pembuktian yang mau saya ajukan dengan saksi-saksi.

Sebagai akibat penolakan Jaksa terhadap pembuktian yang mau saya kemukakan, Jaksa mencabut tuduhannya yang bersifat “lebih subsidiair lagi”, yaitu tuduhan melanggar pasal 310 dan 311. Dengan demikian dicabutlah kemungkinan bagi saya untuk bebas dari semua tuduhan dengan jalan membuktikan bahwa statement tersebut dikeluarkan benar-benar untuk mempertahankan kepentingan umum dan untuk pembelaan.

Saudara Ketua Pengadilan yang terhormat.

Sekarang pasal KUHP yang ditimpakan pada saya tinggal dua, yaitu pasal-pasal 134 dan 207. Menurut KUHP pasal 134, saya dituduh telah mengadakan “penghinaan dengan sengaja atas Raja atau Baginda Ratu”, dan menurut pasal 207 saya dituduh telah sengaja di muka umum dengan tulisan “menghina suatu kuasa, yang di Nederland atau Indonesia atau suatu badan umum yang diadakan di sana” (KUHP terjemahan Balai Pustaka 1950). Pada pokoknya, saya dituduh menghina.

Dalam sidang Pengadilan tanggal 27 Januari yang lalu, sudah saya katakan, bahwa di waktu saya membikin statement yang dijadikan perkara ini, tidak sedikit juga terlintas dalam pikiran saya bahwa tulisan itu akan dianggap sebagai penghinaan. Saya katakan bahwa statement itu dibuat untuk kepentingan umum dan untuk pembelaan.

Saya katakan untuk kepentingan umum, karena maksud statement ini dikeluarkan, di samping untuk menghindari provokasi yang sedang disiapkan oleh pihak Masyumi, BKOI, BPII dan lain-lain ketika itu, adalah untuk menjelaskan kepada umum apa Peristiwa Madiun sebenarnya, sebagai sangkalan terhadap apa yang banyak disiarkan oleh lawan-lawan politik PKI ketika itu. PKI menganggap perlu supaya umum tidak hanya mendengar keterangan tentang Peristiwa Madiun dari lawan-lawan politik PKI, tetapi juga dari PKI sendiri. PKI berpendapat, bahwa apa yang disiarkan oleh lawan-lawan politik PKI mengenai Peristiwa Madiun adalah pemutarbalikan kenyataan yang sesungguhnya, adalah penipuan dan fitnahan. Oleh karena itu umum harus diberi keterangan yang benar oleh pihak PKI sendiri.

Statement tersebut terpaksa dikeluarkan untuk pembelaan, karena pada waktu itu PKI sedang diserang oleh lawan-lawan politik PKI. Tentang serangan ini saya persilakan Saudara Hakim Pengadilan ini membaca Harian “Abadi” tanggal 4 September 1953, dimana dimuat tuntutan persatuan Bekas Pejuang Islam Indonesia (BPII), Yogyakarta, yang di bagian “mengingat” antara lain menyebut tentang “pemberontakan kaum Komunis PKI cs. di Madiun dengan memproklamirkan sebuah negara Komunis yang dipimpin oleh Musso-Amir, sesuai dengan instruksi imperialis Rusia”; bahwa “Pemberontakan itu merupakan pengkhianatan dan kejahatan besar terhadap negara dan rakyat Indonesia”. Di bagian “memutuskan” antara lain dikatakan bahwa BPII mengusulkan dan mendesak kepada Pemerintah Republik Indonesia supaya, “menetapkan hari pemberontakan kaum Komunis PKI cs. di Madiun tanggal 18 September itu menjadi hari berkabung nasional” dan “supaya seluruh rakyat diperintahkan menaikkan bendera setengah tiang sebagai tanda berkabung”.

Dalam Harian “Abadi” tanggal 4 September 1953 itu juga dikatakan bahwa pada tanggal 18 September 1953 akan diadakan pawai yang dinamakan “Pawai Duka”, yang dilakukan dengan “penuh khidmat” dan disertai pukulan genderang tanda berkabung dan bersedih.

Dalam Harian “Pedoman” tanggal 7 September 1953 dimuat pengumuman BKOI Jakarta Raya, yang mengenai Peristiwa Madiun antara lain mengatakan, bahwa “Beratus juta rupiah kekayaan negara telah dirampok, sesudah kaum Komunis berhasil merebut kekuasaan di Madiun, mereka mendirikan pemerintahan Soviet di sana, dan melakukan pembersihan. Waktu itu berlakulah kekejaman yang tidak ada taranya. Ulama-ulama Islam yang tidak terhitung banyaknya, pegawai-pegawai negeri, anggota-anggota tentara dan umat Islam dibunuh dengan cara di luar perikemanusiaan”. BKOI, menurut Harian “Pedoman” tersebut, juga mendesak supaya Pemerintah Republik Indonesia berbuat seperti yang diusulkan oleh persatuan Bekas Pejuang Islam Indonesia di Yogyakarta (lihat “Abadi” tanggal 4 September 1953).

Harian “Abadi” tanggal 10 September 1953 memuat pengumuman “Liga Pembela Demokrasi” yang tidak demokratis itu, yang isinya pada pokoknya sama saja dengan pengumuman persatuan Bekas Pejuang Islam Indonesia dan pengumuman BKOI yang tersebut di atas.

Jadi jelaslah, bahwa beberapa hari sebelum statement Politbiro CC PKI tanggal 13 September 1953 dikeluarkan, sudah tersiar lebih dulu dalam koran-koran serangan-serangan terhadap PKI dengan Peristiwa Madiun sebagai senjata. Dari serangan-serangan ini dua kemungkinan bisa timbul: pertama, umum bisa terpengaruh oleh keterangan-keterangan lawan politik PKI mengenai Peristiwa Madiun. Kedua, anggota-anggota dan pengikut-pengikut PKI bisa marah karena fitnahan-fitnahan tersebut dan bisa bertindak di luar keinginan pimpinan PKI sendiri. Untuk menghindari dua kemungkinan inilah statement Politbiro CC PKI tanggal 13 September 1953 dikeluarkan. Dengan ini saya merasa bahwa Partai saya sudah bertindak untuk kepentingan umum dan untuk pembelaan. Dari keterangan saya di bawah nanti akan menjadi jelas, bahwa apa yang dituduhkan kepada PKI dan kaum Komunis mengenai Peristiwa Madiun oleh pihak Masyumi, BKOI, BPII dan lain-lain itu adalah palsu dan fitnahan belaka.

Saudara Ketua yang terhormat.

Saya memprotes kalau perkara yang membawa saya ke Pengadilan ini dianggap sebagai perkara kejahatan. Tidak banyak perkara yang sifat politiknya lebih terang daripada perkara yang sekarang sedang diperiksa. Perkara ini adalah perkara politik. Ia adalah perkara politik dilihat dari kenyataan, bahwa yang dijadikan perkara ialah statement politik dari suatu partai politik, yaitu PKI. Ia adalah perkara politik, karena perkara yang sudah kadaluwarsa ini, justru dibikin heboh dan kemudian dibawa ke Pengadilan pada saat Masyumi dan organisasi-organisasi serta koran-koran satelitnya sedang ramai-ramai membikin serangan terhadap kaum Komunis dengan menggunakan Peristiwa Madiun sebagai senjata yang dikiranya ampuh. Ia adalah perkara politik, karena perkara ini mengenai kepentingan politik dari berjuta-juta rakyat Indonesia yang sudah menyatakan perasaan dan pikirannya dengan beribu-ribu surat dan telegram mengenai perkara ini.

Dalam bagian primer dari tuduhan Jaksa dikatakan bahwa saya dengan sengaja telah menghina dengan surat terhadap Wakil Presiden Republik Indonesia, yaitu Drs. Moh. Hatta, karena statement Politbiro CC PKI tanggal 13 September 1953 itu antara lain memuat kata-kata provokasi, keganasan, “berjasa”, berlumuran darah dan “kepahlawanan”.

Di atas sudah saya katakan bahwa statement tersebut tidak dikeluarkan untuk menghina. Satu hal yang benar ialah bahwa statement ini ditulis dengan kata-kata yang tegas, yang meyakinkan, yang keras. Kata-kata ini adalah keras karena ia menggambarkan kebenaran. Kekerasan kata-kata ini akan lebih terasa lagi bagi tiap-tiap orang yang tidak mau mengakui kebenaran yang dinyatakan oleh kata-kata ini.

Selain daripada itu kami tidak bisa menggunakan kata-kata yang samar-samar dan berbelit-belit untuk menyatakan perasaan dan pikiran kami yang benar terhadap perbuatan-perbuatan yang tidak kami sukai dan tidak disukai oleh rakyat. Kami terpaksa menggunakan kata-kata yang keras terhadap orang-orang yang memusuhi kami, karena mereka terlebih dulu bertindak keras terhadap kami. Kekerasan kata-kata kami adalah kekerasan hati kami, dan ini adalah penting, adalah syarat hidup bagi kami dalam berhadapan dengan musuh-musuh kami yang biasa bertindak keras dan sewenang-wenang terhadap kami.

Kami menggunakan perkataan provokasi karena yang kami maksud memang provokasi, kami menggunakan perkataan keganasan pemerintah Hatta-Sukiman-Natsir karena kami berpendapat bahwa pemerintah itu memang ganas, kami mengatakan bahwa pemerintah Hatta-Sukiman-Natsir telah “berjasa” menimbulkan perang saudara karena dengan menimbulkan perang saudara pemerintah Hatta-Sukiman-Natsir memang sudah “berjasa” pada golongan dan pada kelasnya, kami katakan bahwa tangan Hatta-Sukiman-Natsir cs berlumuran darah karena yang kami maksudkan memang demikian, kami berkata tentang “kepahlawanan”  pemerintah Hatta-Sukiman-Natsir dalam membasmi kaum Komunis dan kaum patriot karena yang kami maksudkan memang pemerintah Hatta-Sukiman-Natsir adalah “pahlawan” di mata kelas dan golongannya. Kata-kata dan kalimat-kalimat yang keras kami pakai tidak untuk menghina, tetapi untuk menyatakan apa yang sesungguhnya ada dan terjadi. Kami tidak akan menyebutnya Si Dul kalau yang kami maksudkan ialah Siti Aminah, demikian juga kami tidak akan menyebut suatu perbuatan dilakukan dengan sarung tangan sutera kalau perbuatan itu memang suatu provokasi, memang ganas dan memang berlumuran darah. Apakah menghina kalau orang menyebutkan nama si Dul kalau yang dimaksudkannya memang Dul? Menurut pikiran saya, adalah suatu kesalahan kalau si Dul disebut Siti Aminah, demikian juga adalah satu kesalahan kalau suatu provokasi, suatu perbuatan ganas dan berlumuran darah disebut perbuatan dengan memakai sarung tangan sutera atau perbuatan ramah-tamah. Tidak, Saudara Ketua Pengadilan, Peristiwa Madiun sungguh bukan perbuatan ramah-tamah dan sungguh bukan perbuatan yang dilakukan dengan sarung tangan sutera.

Kami menamakan Kabinet ke-6 Republik Indonesia, yang dibentuk dalam bulan Januari 1948, Kabinet atau Pemerintah Hatta-Sukiman-Natsir. Ini tidak berarti bahwa kami tidak mengetahui bahwa dalam Kabinet ke-6 Republik Indonesia duduk juga orang-orang dari partai atau aliran lain, kecuali aliran Hatta-Sukiman-Natsir. Kami tahu bahwa dalam kabinet ini duduk juga orang-orang dari partai-partai nasionalis, katolik, sosialis kanan, dan sebagainya, sebagaimana kami tahu juga bahwa yang memegang rol terpenting dalam kabinet ini ialah Drs. Moh. Hatta dan orang-orang Masyumi. Pada hakikatnya kabinet ke-6 RI adalah kabinet Masyumi yang dipimpin oleh Drs. Moh. Hatta. Sejak terbentuknya pada tanggal 29 Januari 1948, kabinet ini sepenuhnya menjalankan politik Masyumi, dan Provokasi Madiun adalah pelaksanaan politik Masyumi yang paling penting, yaitu politik mengejar dan membunuh kaum Komunis, politik yang sampai hari ini masih tetap menjadi politik pemimpin-pemimpin Masyumi.

PERISTIWA MADIUN MEMANG PROVOKASI

Saya katakan bahwa Peristiwa Madiun adalah provokasi pemerintah Hatta-Sukiman-Natsir.

Saya masih ingat, bahwa pada permulaan bulan Juli 1948, jadi sebelum terjadi penculikan-penculikan di Solo pada permulaan bulan September 1948, Komandan TNI Divisi IV, Kolonel Sutarto, telah dibunuh secara pengecut dengan tembakan dari belakang. Dugaan orang banyak mengenai teror terhadap Kolonel Sutarto ini adalah karena saudara ini termasuk salah seorang perwira tinggi yang tidak menyetujui apa yang dinamakan “rasionalisasi” dalam tentara yang mau diadakan oleh pemerintah Hatta-Sukiman-Natsir ketika itu. Pada waktu itu banyak perwira yang menentang “rasionalisasi” TNI model pemerintah Hatta, karena rasionalisasi ini jika dilaksanakan berarti menyingkirkan elemen-elemen kerakyatan dari TNI. Sampai ke mana pengusutan yang sudah dilakukan oleh pemerintah Hatta-Sukiman-Natsir mengenai teror terhadap Kolonel Sutarto, sampai sekarang tidak diketahui oleh umum. Oleh karena itu, saya tidak heran kalau banyak orang menarik kesimpulan bahwa pembunuhan atas Kolonel Sutarto adalah termasuk pelaksanaan politik “rasionalisasi” pemerintah Hatta-Sukiman-Natsir dengan cara yang spesial.

Banyak penduduk kota Solo yang tidak hanya tidak bisa melupakan pembunuhan terhadap diri Kolonel Sutarto, tetapi juga tidak bisa melupakan peristiwa penculikan terhadap dua orang anggota PKI, yaitu Kawan-kawan Slamet Widjaja dan Pardijo, pada tanggal 1 September 1948. Dalam hubungan dengan provokasi Madiun saya merasa perlu mengemukakan beberapa kejadian di Solo, karena, sebagaimana antara lain dikatakan dalam pidato Presiden Sukarno tanggal 19 September 1948, bahwa peristiwa Solo dan peristiwa Madiun tidak berdiri sendiri, melainkan adalah suatu rangkaian tindakan.

Penculikan atas diri Kawan-kawan Slamet Widjaja dan Pardijo dimulai dengan kedatangan orang bernama Alip Hartojo, seorang dari bagian penyelidik Pemerintah, di rumah Kawan Slamet Widjaja pada tanggal 1 September 1948 jam enam sore. Alip Hartojo antara lain mengatakan kepada Kawan Slamet Widjaja: “Awas, sekarang orang-orang PKI dan termasuk orang-orang golongan kiri semuanya akan dibersihkan oleh pemerintah Hatta, saya sudah pegang rencananya”. Bagi perasaan saya sendiri memang suatu keanehan bahwa seorang penyelidik pemerintah berkata demikian terus terang. Tetapi rasa aneh ini menjadi lenyap setelah saya mengetahui bahwa Slamet Widjaja biasanya adalah sahabat karib pribadi dari Alip Hartojo, dan setelah saya mengetahui proses selanjutnya. Apa yang terjadi kemudian adalah cocok dengan apa yang dikatakan oleh Alip Hartojo ini.

Ketika Kawan Slamet Widjaja minta supaya rencana pembersihan pemerintah Hatta itu ditunjukkan kepadanya, Alip Hartojo mengatakan: “Jangan di sini mas, onveilig (tidak aman – DNA). Di sana saja, di rumah makan Mien Satu (sebuah rumah makan di muka kantor Keresidenan Surakarta, di sebelah Barat perempatan Warungpelem – DNA). Nanti sebelum masuk ke rumah makan saya menunggu di perempatanWarungpelem. Saudara dari perempatan Warungpelem supaya pergi dulu menyamperi Saudara Pardijo di rumahnya (di kampung Sudiropradjan – DNA). Sesudah itu nanti kita bertiga (maksudnya Widjaja, Pardijo dan Alip Hartojo – DNA) bersama-sama dari perempatan Warungpelem ke rumah makan Mien Satu”.

Dengan janji seperti di atas, Alip Hartojo dan Slamet Widjaja meninggalkan rumah Slamet Widjaja dengan naik becak yang sudah disediakan oleh Alip Hartojo. Sesudah sampai di perempatan Warungpelem keduanya turun dari becak. Kawan Slamet Widjaja dengan jalan kaki menuju ke rumah Kawan Pardijo di kampung Sudiropradjan. Dari sini Kawan Slamet Widjaja dan Kawan Pardijo menuju ke tempat Alip Hartojo, yang menunggu mereka. Tetapi anehnya, setelah bertemu dengan Alip Hartojo, mereka tidak dibawa ke Barat, tetapi mereka berdua dengan dirangkul oleh Alip Hartojo dibawa ke Utara, dimana lebih kurang 50 meter sebelah Utara perempatan tersebut sudah menunggu sebuah truk tanpa kap dan pintu belakangnya tertutup, sehingga sejumlah anggota tentara yang duduk di dalamnya hanya kepalanya saja yang kelihatan. Setelah kira-kira 5 meter lagi akan sampai ke truk tersebut, tentara yang duduk di dalam truk itu dengan serentak turun dari pintu belakang yang tadinya tertutup. Kawan-kawan Slamet Widjaja dan Pardijo masing-masing dipukuli dengan popor senapan, diikat erat-erat dan kemudian dilemparkan ke atas mobil. Sedangkan Alip Hartojo tidak diapa-apakan, malahan dia tertawa bersama-sama dengan penculik-penculik yang lain. Ini terjadi kira-kira jam 18.30 hari tersebut di atas.

Dari tempat kejadian di atas Kawan-kawan Slamet Widjaja dan Pardijo diangkut ke pabrik gula Tasikmadu, dimana bermarkas sepasukan tentara. Dalam keadaan terikat, di markas tentara tersebut mereka terus dipukuli dan ditanyai dengan kasar: “Kamu jago Solo, ya”, “Kamu kepala FDR, ya”, dan sebagainya.

Pada tanggal 8 September 1948 jam 8 malam Kawan Slamet Widjaja diambil dari tempat tahanan oleh kira-kira lima orang prajurit bersenjata dan dengan mata ditutup ia dibawa ke suatu tempat pemeriksaan. Dalam pemeriksaan ini ditanyakan padanya: “Apakah Saudara tahu di mana Saudara sekarang berada?”, “Coba Saudara terangkan susunan pengurus Seksi Comite PKI Solo dan formasi FDR. Saya tanyakan susunan pengurus Seksi Comite PKI Solo dan formasi FDR Solo, karena saya tahu Saudara menjadi anggota pengurus Seksi Comite PKI dan anggota Sekretariat FDR”.

Dari kejadian di atas, jelaslah, bahwa penculikan atas dua orang anggota PKI tersebut, Kawan-kawan Slamet Widjaja dan Pardijo, bukan dilakukan oleh gerombolan liar, tetapi oleh aparat pemerintah sendiri. Penculikan ini bukan penculikan biasa, tetapi penculikan politik, karena yang diculik tidak hanya diambil isi kantongnya, tetapi kepadanya ditanyakan susunan pengurus Seksi Comite PKI Solo dan FDR Solo. Mungkin ada orang yang mengatakan, bahwa itu adalah tindakan aparat pemerintah setempat dan pemerintah pusat tidak tahu-menahu. Ini adalah omong kosong.

Bahwa Kawan-kawan Slamet Widjaja dan Pardijo diculik oleh aparat resmi dan dengan sepengetahuan pemerintah pusat menjadi lebih jelas setelah mereka pada tanggal 24 September 1948, bersama-sama dengan Letnan Kolonel Suharman dan Saudara Prodjosudodo, juga perwira TNI, oleh KMK di Solo diserahkan kepada KMK Yogya dan dimasukkan ke dalam kamp resmi di Danuredjan, Yogyakarta. Di kamp Danuredjan saudara-saudara ini bertemu dengan tawanan-tawanan lainnya dari pemerintah Hatta-Sukiman-Natsir, yang terdiri dari orang-orang PKI dan orang-orang kiri lainnya. Kenyataan ini cocok dengan yang diucapkan oleh Alip Hartojo kepada Kawan Slamet Widjaja pada tanggal 1 September 1948, yaitu bahwa “orang-orang PKI dan termasuk orang-orang golongan kiri semuanya akan dibersihkan oleh pemerintah Hatta”. Bukti lagi bahwa mereka diculik dengan sepengetahuan pemerintah pusat ialah, bahwa mereka selama di dalam tahanan pernah diperiksa oleh orang dari Kejaksaan Agung.

Selama di dalam tahanan Kawan-kawan Slamet Widjaja dan Pardijo serta lain-lainnya diperbolehkan berkirim surat kepada keluarga dan menerima surat dari keluarga. Kenyataan ini dan kenyataan-kenyataan lain yang sudah dikemukakan di atas membantah ucapan Walikota Solo, Syamsuridjal, yang biasa mengatakan “Saya tidak tahu-menahu, dan pemerintah tidak merencanakan penculikan”. Ucapannya ini berkali-kali dikeluarkannya di muka para istri saudara-saudara yang diculik, ketika para istri ini beserta anak-anaknya berdemonstrasi ke Balai Kota Solo meminta pertanggungjawaban Sjamsuridjal mengenai penculikan-penculikan atas suami dan ayah mereka.

Saudara Ketua Pengadilan yang terhormat.

Saya kemukakan kenyataan-kenyataan di atas adalah untuk membuktikan betapa benarnya apa yang dikatakan oleh Presiden Sukarno dalam pidatonya tanggal 19 September 1948, bahwa peristiwa Solo dan Peristiwa Madiun tidak berdiri sendiri, melainkan adalah suatu rangkaian tindakan. Saya kemukakan ini supaya umum menjadi mengerti kenapa kami kaum Komunis mengatakan bahwa Peristiwa Madiun adalah provokasi, bahwa kami menggunakan kata-kata “provokasi pemerintah Hatta-Sukiman-Natsir” bukanlah dimaksudkan untuk menghina, tetapi untuk menyatakan apa yang sesungguhnya ada dan kejadian.

Penculikan dan penganiayaan terhadap diri Kawan-kawan Slamet Widjaja dan Pardijo diikuti oleh kejadian-kejadian lain yang sifatnya serupa. Pada tanggal 7 September 1948 dilakukan penculikan terhadap diri lima orang perwira TNI, yaitu Mayor Esmara Sugeng, Kapten Sutarto, Kapten Sapardi, Kapten Suradi, dan Letnan Muljono. Mereka diculik oleh Alip Hartojo dan pasukan tentara yang bermarkas di Srambatan, Solo. Sampai sekarang tentang perwira-perwira TNI yang diculik ini tidak ada kabar beritanya. Kesimpulan satu-satunya yang tidak meragukan lagi ialah, bahwa mereka sudah dibunuh oleh aparat pemerintah yang menculik mereka. Mereka dibunuh walaupun Panglima Besar Sudirman sudah memerintahkan kepada Komando CPM Jawa untuk mengusut dan menuntut yang bersalah mengenai penculikan perwira-perwira tersebut.

Siapa yang bertanggung jawab atas penculikan dan pembunuhan ini? Saya kira bukan kaum Komunis, tetapi pemerintah yang berkuasa ketika itu, dan pemerintah itu ialah pemerintah Hatta-Sukiman-Natsir. Perlu saya peringatkan, bahwa mereka, kelima perwira ini, sebagaimana juga Kolonel Sutarto yang diteror secara pengecut itu, adalah pejuang-pejuang kemerdekaan sejak jaman penjajahan Belanda sebelum Perang Dunia II, selama jaman penjajahan Jepang, dan selama revolusi nasional kita. Mereka adalah putra-putra Indonesia yang terbaik dari suku bangsa Jawa. Mereka dicintai oleh anak buahnya.

Satu lagi hendak saya kemukakan mengenai penculikan-penculikan di Solo ini. Letnan Kolonel Suharman yang namanya saya sebut di atas ditawan pada tanggal 9 September 1948, ketika ia ditugaskan oleh atasannya untuk menanyakan kepada Alip Hartojo tentang lima orang perwira yang diculik itu. Tetapi malang bagi Letnan Kolonel Suharman, ia juga diculik, dimasukkan ke markas tentara di Srambatan (Solo), dan kemudian sesudah mengalami banyak kejadian yang pahit dan tidak enak, pada tanggal 24 September 1948, ia bersama-sama dengan Saudara-saudara Slamet Widjaja, Pardijo, dan Prodjosudodo diserahkan kepada KMK Yogya dan dimasukkan ke dalam kamp resmi di Danuredjan.

Saudara Ketua yang terhormat.

Berhubung dengan penculikan-penculikan yang terjadi di Solo, pada tanggal 9 September 1948 Panglima Besar Sudirman memberi izin kepada Letnan Kolonel Suadi, ketika itu Komandan Divisi IV, menggantikan kedudukan Kolonel Sutarto, untuk mengambil tindakan terhadap kekacauan-kekacauan di Solo. Berdasarkan izin Panglima Besar ini pada tanggal 10 September 1948 telah disampaikan ultimatum kepada Batalyon yang melakukan penculikan-penculikan itu yang isi pokoknya sebagai berikut: Jika sampai pada tanggal 13 September 1948, pukul 14.00 lima orang yang diculik tidak dilepaskan, maka penggempuran akan dimulai. Ultimatum ini disebarkan di seluruh kota Solo dan diikuti oleh manuvre militer di bawah pimpinan Komandan Sektor seluruh Surakarta, Mayor Slamet Riyadi. Sebelum batas waktu ultimatum habis, pada jam 12.30 Mayor Sutarno, yang datang ke markas tentara di Srambatan dengan membawa tugas dari Divisi IV untuk mengadakan perundingan, ditembak ketika turun dari truk, sehingga Mayor Sutarno beserta beberapa orang pengawalnya mati seketika.

Ultimatum tersebut di atas tidak diindahkan oleh Batalion yang bersangkutan. Sebagai akibatnya, pada tanggal 13 September pukul 14.00 tepat pertempuran mulai meletus antara pasukan-pasukan di bawah pimpinan Divisi IV dengan pasukan-pasukan penculik.

Pertempuran berjalan dengan sengit sampai sore. Tiba-tiba pada pukul 18.00 tanggal 13 September Panglima Besar memerintahkan supaya diadakan gencatan senjata. Perintah gencatan senjata disaksikan oleh pembesar-pembesar sipil dan militer. Perintah gencatan senjata ini ditaati oleh pasukan-pasukan Divisi IV, tetapi pasukan-pasukan pihak lain terus bergerak menduduki kota Solo. Akibatnya, pada tanggal 15 September 1948 jam 18.00 terjadi lagi pertempuran antara pasukan-pasukan di bawah pimpinan Divisi IV dengan pasukan-pasukan penculik.

Kemudian terjadilah suatu peristiwa yang sangat aneh, yaitu pemerintah pusat membenarkan pihak pasukan-pasukan penculik, sedangkan Letnan Kolonel Suadi dengan pasukan-pasukan yang di bawah komandonya dicap oleh pemerintah pusat sebagai “pengacau”. Pemerintah pusat menyerukan dengan melalui radio dan surat-surat selebaran supaya rakyat membantu pasukan-pasukan tentara yang sudah melakukan penculikan-penculikan. Pasukan-pasukan ini dianggap sebagai pasukan-pasukan yang bertugas resmi dan berkewajiban untuk menghancurkan apa yang dinamakan oleh pemerintah “pengacau” dari Divisi IV. Oleh pemerintah pusat Kolonel Gatot Subroto diangkat sebagai Gubernur Militer Jawa Tengah, sedangkan Letnan Kolonel Suadi, Komandan Divisi IV dengan pasukannya terus dikejar.

Saudara Ketua yang terhormat.

Mengenai peristiwa Solo cukup sekian saja. Tidak usah saya teruskan, karena ia mengingatkan kita kembali akan perpecahan yang sangat besar dalam masyarakat kita ketika itu, tidak hanya perpecahan di kalangan politik, tetapi juga perpecahan di kalangan Angkatan Perang, aparat yang paling penting dari revolusi nasional kita.

Walaupun tidak banyak yang saya kemukakan mengenai Peristiwa Solo, tetapi sekedar cukuplah untuk mengerti latar belakang dari ketegangan-ketegangan politik dan militer ketika itu, untuk mengerti latar belakang dari provokasi Madiun.

*

Di atas sudah saya katakan, bahwa Peristiwa Solo dan Peristiwa Madiun tidak berdiri sendiri, melainkan adalah suatu rangkaian tindakan. Peristiwa Madiun hanyalah kelanjutan daripada Peristiwa Solo. Pertentangan yang tajam di luar dan di dalam Angkatan Perang yang ditimbulkan oleh penculikan-penculikan dan pembunuhan-pembunuhan di Solo menjalar ke seluruh daerah kekuasaan Republik Indonesia di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pemerintah Hatta-Sukiman-Natsir tidak mampu dan tidak mau bertindak untuk meredakan pertentangan-pertentangan ini.

Tajamnya pertentangan di luar dan di dalam Angkatan Perang sangat terasa di Madiun sejak terjadinya pembunuhan secara teror terhadap Kolonel Sutarto di Solo.

Pada pagi hari tanggal 28 Juli 1948 Saudara Wirosudarmo, buruh kereta api yang sedang menuju stasiun tempatnya bekerja, telah ditembak mati oleh seorang anggota tentara. Jenazah Saudara Wirosudarmo dimakamkan di desa Oro-oro Ombo dengan mendapat penghormatan dari SBKA Cabang Madiun dan dari banyak penduduk Madiun. Dalam upacara pemakaman ini beberapa wakil partai dan organisasi massa menyatakan protesnya terhadap pembunuhan yang sewenang-wenang ini.

Tidak berapa lama sesudah kejadian penembakan terhadap buruh kereta api, terjadi pula penganiayaan terhadap seorang buruh kantor Balai Kota Madiun oleh seorang perwira tentara. Serikat Buruh Daerah Otonomi (Sebda) menuntut supaya anggota tentara yang memukul itu meminta maaf. Tetapi hal ini tidak kejadian, karena itu kaum buruh di bawah pimpinan Sebda mengadakan aksi duduk. Setelah aksi berjalan, pihak pasukan tentara yang bersangkutan mau berunding dengan diwakili oleh seorang perwira, tetapi perundingan ini juga tidak berhasil. Oleh Sebda persoalan ini diserahkan kepada Sobsi Madiun. Sobsi Madiun menguatkan putusan Sebda. Atas permintaan Sobsi diadakan perundingan lagi, dan sebagai hasilnya, anggota tentara yang bersangkutan bersedia meminta maaf.

Dari kejadian-kejadian di atas dapat kita tarik kesimpulan betapa tegangnya keadaan di Madiun ketika itu. Ketegangan ini menjadi lebih hebat lagi dengan tersiarnya berita di Madiun tentang penculikan dan pembunuhan di Solo oleh pasukan-pasukan tentara dengan bantuan Alip Hartojo. Puncak ketegangan ini ialah adanya pertempuran antara pasukan-pasukan di dalam Angkatan Darat sendiri, yaitu antara Brigade 29 yang tidak menyetujui perbuatan sewenang-wenang seperti tersebut di atas dengan pasukan-pasukan Siliwangi dan Mobrig. Pertempuran ini terjadi pada tanggal 18 September 1948, dimulai jam 1 tengah malam dan berakhir jam 8 pagi tanggal 18 September itu juga dengan dilucutinya pasukan-pasukan Siliwangi dan Mobrig oleh Brigade 29. Dalam pertempuran ini telah gugur Letnan Sapari dari Batalyon 11 Brigade 29 dan Kapten Djaja dari CPM.

Dalam keadaan keruh seperti di atas Kepala Daerah Residen Madiun, Saudara Samadikun, tidak ada di Madiun, beliau sedang bepergian ke Jogja. Walikota Madiun pada waktu itu sedang menderita sakit, jadi non-aktif. Wakil Residen ternyata tidak bisa menguasai keadaan. Dalam keadaan demikian, partai-partai yang tergabung dalam FDR dan organisasi-organisasi massa yang menyokong FDR mendesak supaya Kawan Supardi, Wakil Walikota Madiun, bertindak untuk sementara sebagai Residen selama Residen belum kembali.

Sebabnya maka Kawan Supardi yang didesakkan oleh partai-partai dan organisasi-organisasi kiri ialah karena Kawan Supardi adalah juga seorang yang menjabat kedudukan dalam pemerintahan dan pada waktu itu mempunyai keberanian untuk tampil ke depan buat mengatasi keadaan. Pengangkatan Kawan Supardi sebagai Residen sementara ternyata juga disetujui oleh Letnan Kolonel Sumantri (Komandan Subteritorial Madiun), oleh Wakil Residen Madiun Kawan Sidharto, oleh Walikota Madiun, Saudara Purbosisworo, yang masing-masing memberikan tanda tangannya sebagai tanda persetujuan. Juga pimpinan jawatan-jawatan penting seperti Jawatan Kereta Api, PTT, Gas dan Listrik, dan sebagainya memberikan persetujuannya.

Di samping menyatakan persetujuannya mengangkat Kawan Supardi sebagai Residen Sementara, partai-partai dan organisasi rakyat telah mendorong pimpinan Pemerintah Daerah Madiun supaya melaporkan kejadian di Madiun kepada Pemerintah Pusat di Jogja, dengan didahului oleh telegram kepada Pemerintah Pusat sebagai pemberitahuan sementara dan meminta instruksi tentang apa yang harus dilakukan lebih lanjut. Oleh Pemerintah Daerah Madiun telegram sudah dikirimkan kepada Presiden, Perdana Menteri, dan Menteri Pertahanan, dan kepada Menteri Dalam Negeri. Selain dari mengirim telegram, Pemerintah Daerah Madiun juga berusaha mengirimkan kurir cepat kepada Pemerintah Pusat untuk membawa berita dan laporan tertulis berkenaan dengan kejadian di Madiun itu.

Peristiwa inilah, yaitu peristiwa diangkatnya Kawan Supardi dari Wakil Walikota menjadi Residen Sementara untuk mengatasi keadaan keruh di Madiun yang dibesar-besarkan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Pusat menamakannya tindakan “merobohkan Pemerintah Republik Indonesia”, tindakan “mengadakan kudeta dan mendirikan Pemerintahan Soviet” dan macam-macam lagi. Berdasarkan peristiwa inilah, atas tanggung jawab sepenuhnya dari Pemerintah Hatta-Sukiman-Natsir, pada tanggal 19 September 1948 oleh Presiden Sukarno diadakan pidato yang berisi seruan kepada seluruh rakyat untuk bersama-sama membasi “kaum pengacau”, maksudnya membasmi kaum Komunis, orang-orang progresif lainnya serta pengikut-pengikut mereka.

Untuk lebih menjelaskan lagi bahwa PKI dan FDR tidak mempunyai rencana buat mengadakan perebutan kekuasaan di Madiun, perlu saya kemukakan bahwa ketika terjadi pertempuran dan perlucutan di kalangan tentara, dan ketika terjadi pengangkatan Kawan Wakil Walikota Supardi menjadi Residen Sementara, Kawan-kawan Musso, Amir Sjarifuddin, Harjono, dan lain-lain tidak berada di Madiun. Pada waktu itu rombongan Kawan Musso sedang melaksanakan program perjalanan PKI dan sedang berada di Purwodadi. Rombongan Kawan Musso sampai di Madiun baru pada tanggal 18 September tengah malam. Kawan Musso datang atas permintaan pimpinan FDR di Madiun berhubung dengan hangatnya keadaan. Kawan Musso adalah salah seorang yang paling menyetujui supaya cepat memberi laporan dan meminta instruksi lebih lanjut kepada Pemerintah Pusat mengenai apa yang sudah terjadi di Madiun.

Dari keterangan-keterangan di atas jelaslah, bahwa tidak benar sama sekali apa yang dikatakan oleh lawan-lawan politik PKI bahwa “PKI merebut kekuasaan di Madiun”, bahwa “PKI mendirikan Pemerintahan Soviet di Madiun”, dan sebagainya, dan sebagainya. Dengan alasan-alasan inilah saya berani mengatakan bahwa berita-berita yang dimuat dalam Harian “Abadi”, “Pedoman”, dan “Keng Po” mengenai Peristiwa Madiun pada permulaan September 1953 adalah pemalsuan dan fitnahan. Dan untuk melawan pemalsuan dan fitnahan inilah Politbiro CC PKI mengeluarkan statement tanggal 13 September 1953, statement yang sekarang dijadikan perkara.

Tidak mungkinnya PKI mengadakan kudeta dan mendirikan Soviet di Madiun, tidak hanya karena dua tindakan itu bertentangan dengan teori kaum Komunis, tetapi juga bertentangan dengan anjuran-anjuran Kawan Musso setelah ia kembali dari luar negeri. Saya masih ingat ketika Kawan Musso mengusulkan kepada Central Comite PKI supaya PKI mengirim surat kepada Pimpinan Pusat Masyumi dan PNI untuk menggalang front persatuan nasional. Usul Kawan Musso ini diterima oleh CC PKI dan surat dikirimkan kepada kedua partai tersebut. Pimpinan Pusat Masyumi, dengan suratnya yang ditandatangani oleh Mr. Kasman Singodimedjo, menolak ajakan PKI untuk bersatu. Saya masih ingat ketika Kawan Musso bertemu dengan Presiden Sukarno di Istana Yogyakarta. Ketika itu Presiden Sukarno meminta supaya Kawan Musso membantu memperkuat negara dan melancarkan roda revolusi. Dengan pasti Kawan Musso menjawab: “Itu memang kewajiban. Ik kom hier om orde te scheppen (Saya datang untuk mengadakan ketenteraman – DNA)”. (Majalah “Revolusioner”, 19 Agustus 1948, Tahun ke-3 No. 14). Selain daripada itu saya masih ingat akan Konferensi PKI bulan Agustus 1948 yang dipimpin oleh Kawan Musso sendiri. Dalam Konferensi ini disahkan sebuah resolusi yang bernama “Jalan Baru untuk Republik Indonesia”, yang bersama ini saya lampirkan; tiap orang dapat mengetahui bahwa dalam resolusi ini tidak ada program untuk mengadakan kudeta atau untuk mendirikan Pemerintah Soviet.

Jadi, Saudara Ketua yang terhormat, PKI tidak mempunyai rencana dan tidak mungkin mempunyai rencana untuk mengadakan kudeta dan untuk mendirikan Republik Soviet di Madiun. Dan lagi, apa yang terjadi di Madiun adalah bukan kudeta dan bukan bibit-bibit Soviet. Apa yang terjadi di Madiun dengan pengangkatan Kawan Supardi menjadi Residen Sementara adalah satu tindakan konstruktif dari golongan kiri untuk mengatasi keadaan ketika itu.

Peristiwa Madiun yang berdarah tidak akan terjadi kalau langau yang kecil ini tidak disulap menjadi gajah, kalau maksud baik dari golongan kiri ini tidak sengaja diterima secara salah oleh Pemerintah Pusat sebagai sesuatu yang kebetulan untuk mendapatkan dalih guna menghitamkan kaum Komunis, dan dengan demikian mendapat “alasan” mengerahkan segenap kekuatan negara untuk mengejar dan membasmi kaum Komunis.

Juga ada orang yang suka menghubungkan kejadian di Madiun pada tanggal 18 September 1948 dengan apa yang mereka namakan “Program FDR” untuk “menimbulkan kekacauan di mana-mana” atau apa yang mereka namakan Program FDR untuk “menggerakkan segenap organisasi jahat, supaya giat melakukan penggedoran-penggedoran, pencurian-pencurian di waktu malam dan siang hari”. Jika kejadian di Madiun itu mau dihubungkan dengan apa yang mereka namakan “Program FDR” yang begitu macamnya, maka di sini dapat saya jawab, bahwa Program FDR yang sesungguhnya adalah sangat berlainan dengan “Program FDR” yang palsu yang dengan giat disebarkan oleh kaum provokator. Tentang adanya pemalsuan terhadap Program FDR, oleh Sekretariat Pusat FDR sudah diadakan pengumuman di beberapa surat kabar di Jogja ketika itu. Selain daripada itu Sekretariat Pusat FDR sudah mengadukan pemalsuan ini kepada pihak kepolisian di Yogyakarta, dan Sekretariat FDR Solo sudah mengadukannya kepada pihak kepolisian di Solo. Program FDR ini dikirim oleh Sekretariat Pusat FDR kepada FDR-FDR Daerah dengan melewati pos, jadi sama sekali tidak mempunyai sifat rahasia.

*

Saudara Ketua yang terhormat.

Adalah suatu kebanggaan bagi saya, bahwa sesudah Pemerintah Pusat menyerukan kepada semua aparat pemerintah untuk membasmi kami kaum Komunis, sesudah Menteri Dalam Negeri Sukiman menyatakan “perang sabil” terhadap kaum Komunis, Kawan Musso pada waktu itu tidak memberi komando kepada kami supaya berduyun-duyun datang kepada alat-alat pemerintah Hatta-Sukiman-Natsir menyerahkan batang leher untuk dipancung atau menyerahkan diri untuk ditembak. Tidak, Kawan Musso dalam pidatonya menjawab Pemerintah Pusat, memberi komando kepada kami kaum Komunis untuk mengadakan perlawanan yang gagah berani. Kami tidak menyerah dan tidak minta ampun, karena kami tidak bersalah. Penculikan-penculikan dan pembunuhan-pembunuhan di Solo sudah menggambarkan pada kami bahwa darah kami mau dihirup, sebagaimana halnya dengan darah perwira-perwira TNI yang diculik dan dibunuh itu. Kami tidak mau diperlakukan demikian. Boleh hirup darah kami, tetapi lalui dulu perjuangan melawan kami.

Demikian jawaban kami kaum Komunis kepada Pemerintah Hatta-Sukiman-Natsir yang sudah mengerahkan segenap kekuatannya untuk membasmi kami. Kami kalah dalam mengadakan perlawanan, karena kami memang tidak berniat untuk berperang melawan pemerintah Republik Indonesia. Tenaga rakyat yang kami mobilisasi kami tujukan untuk melawan tentara kolonial Belanda. Tetapi sebaliknya, Pemerintah Hatta-Sukiman-Natsir mengerahkan segenap tenaganya untuk membasmi kaum Komunis, yang kemudian ternyata disambut baik dan dibantu oleh kaum kolonialis Belanda (lihat interview Van Mook kepada “ANP” tanggal 21-9-1948 dan interview Letnan Jenderal Spoor kepada “Reuter” tanggal 21-9-1948 – dimuat juga dalam “Buku Putih tentang Peristiwa Madiun”, halaman 17).

Tetapi, di samping kami mengalami kekalahan, kami sudah memberi didikan pada rakyat, didikan bahwa kaum Komunis dalam keadaan yang bagaimana pun sulitnya tetap mempertahankan pendiriannya, tetap berpihak kepada rakyat yang tidak suka diperlakukan sewenang-wenang seperti yang sudah terjadi terhadap perwira-perwira TNI di Solo; walaupun untuk sikapnya ini kaum Komunis harus mempertaruhkan nyawanya.

Dalam perjuangan melawan pengejaran dan pembasmian yang dilakukan oleh Pemerintah Hatta-Sukiman-Natsir ketika itu, Kawan Musso akan menjadi kebanggaan kami yang abadi. Saya, sebagai anak suku bangsa Melayu dan sebagai putra Indonesia yang sejati, saya menundukkan kepala saya di hadapan putra suku bangsa Jawa yang besar ini, pahlawan rakyat Indonesia yang gagah berani. Musso adalah contoh bagi tiap-tiap Komunis dan bagi tiap-tiap patriot, bagaimana seharusnya seorang Komunis dan seorang putra bangsa berkorban untuk membela cita-cita rakyat dan membela kebenaran. Berbahagialah mereka yang memiliki semangat dan keberanian yang besar seperti Kawan Musso, mereka adalah rajawali-rajawali gunung yang berhak akan tempat yang setinggi-tingginya. Mereka adalah manusia-manusia yang tetap akan hidup dalam hati rakyat Indonesia, dan pada siapa rakyat Indonesia bisa mempercayakan nasibnya.

Dari kejadian-kejadian di Solo seperti pembunuhan terhadap Kolonel Sutarto, penculikan terhadap Kawan-kawan Slamet Widjaja dan Pardijo, penculikan dan pembunuhan atas lima orang perwira TNI, penculikan atas diri Letnan Kolonel Suharman, pembunuhan terhadap buruh Kereta Api di Madiun, penganiayaan terhadap buruh kantor Balai Kota Madiun, jelaslah betapa luasnya pekerjaan kaum provokator ketika itu. Tetapi, walaupun demikian mereka tidak berhasil untuk mendapatkan alasan sah guna mengejar dan membunuh kaum Komunis.

Mereka mengadakan pengejaran dan pembunuhan terhadap kaum Komunis dengan tidak ada alasan sah. Satu-satunya yang dapat mereka gunakan sebagai dalih ialah desakan FDR Madiun supaya Wakil Walikota Supardi bertindak sebagai Residen Sementara. Tetapi ini sangat menertawakan, karena pengangkatan Kawan Supardi menjadi Residen Sementara adalah dengan persetujuan pembesar-pembesar sipil dan militer yang berkuasa di Madiun ketika itu. Tidak ada yang lebih menertawakan daripada menamakan peristiwa ini sebagai tindakan untuk “merobohkan negara”, apalagi kalau tindakan ini dikatakan “mengadakan kup dan mendirikan Pemerintah Soviet”. Soviet ialah dewan kaum buruh, kaum tani dan tentara. Tidak bisa masuk di akal bahwa pada waktu itu Pemerintah Daerah Madiun yang dipimpin oleh Residen Sementara Supardi telah mendirikan dewan kaum buruh, kaum tani dan tentara sebagai badan kekuasaan yang tertinggi. Soviet adalah dewan perwakilan rakyat suatu negara sosialis, yaitu negara dimana tidak dimungkinkan lagi alat-alat produksi berada di tangan perseorangan. Tidak bisa masuk di akal, bahwa pada waktu itu Pemerintah Daerah Madiun yang dipimpin oleh Residen Sementara Supardi mempunyai rencana (apalagi pelaksanaan) untuk menasionalisasi semua alat produksi.

Dengan keterangan-keterangan di atas, maka untuk sementara selesailah kewajiban saya memberikan bukti-bukti, bahwa Peristiwa Madiun adalah suatu provokasi. Yang bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatan provokatif seperti sudah diterangkan di atas, tidak lain ialah Pemerintah Hatta-Sukiman-Natsir yang berkuasa ketika itu.

TANGAN YANG BERLUMURAN DARAH

Dalam Harian “Pedoman” tanggal 7 September 1953 dimuat pengumuman BKOI yang antara lain mengatakan bahwa “sesudah kaum Komunis berhasil merebut kekuasaan di Madiun” maka berlakulah “kekejaman yang tidak ada taranya”. Selanjutnya pengumuman itu mengatakan, bahwa “Ulama-ulama Islam yang tidak terhitung banyaknya, pegawai-pegawai negeri, anggota-anggota tentara dan umat Islam dibunuh dengan cara di luar perikemanusiaan”. Ini adalah dilebih-lebihkan dan ini adalah pemutarbalikan kenyataan. Kekejaman yang tidak ada taranya bukan mulai dengan apa yang dinamakan “kaum Komunis berhasil merebut kekuasaan di Madiun”, tetapi mulai dengan pembunuhan secara teror terhadap Kolonel Sutarto dan penculikan serta pembunuhan terhadap lima perwira TNI di Solo. Untuk membantah pemutarbalikan ini, dalam statement Politbiro CC PKI dikatakan, bahwa bukan PKI yang bertindak kejam, tetapi tangan Hatta-Sukiman-Natsir cs. yang berlumurah darah. Mungkin kata-kata yang kami gunakan ini tidak enak didengar oleh mereka yang bersangkutan, tetapi kata-kata ini benar.

Dalam menerangkan Peristiwa Solo sudah saya kemukakan tentang diculik dan dibunuhnya lima orang perwira TNI oleh aparat Pemerintah Hatta yang resmi. Peristiwa berdarah ini telah menimbulkan kejadian-kejadian berdarah yang lain, yaitu pertempuran antara pasukan di bawah pimpinan Divisi IV dengan pasukan tentara yang mengadakan penculikan dengan bantuan Alip Hartojo.

Saya tidak akan menyebutkan banyak contoh mengenai kelanjutan daripada apa yang sudah saya terangkan di atas. Saya hanya akan menyebutkan dua contoh di dua tempat saja, yaitu kejadian pembunuhan di Ngalijan dan pembunuhan di Magelang. Dengan hanya mengemukakan dua contoh ini tidak berarti, bahwa saya tidak berbicara tentang pembunuhan kejam di tempat-tempat lain, seperti di Malang [Maksudnya Keresidenan Malang. Kota Malang ketika itu sudah diduduki tentara Belanda], Kediri, Pati, Blora, Rembang, Kudus, Purwodadi, Cepu, dan lain-lain. Saya hanya mengemukakan dua contoh ini, untuk menghemat waktu. Di samping itu saya anggap dua contoh ini cukup representatif untuk mencerminkan perbuatan-perbuatan kejam di tempat-tempat lain oleh aparat-aparat suatu pemerintah yang katanya berdasarkan hukum.

Saudara Ketua Pengadilan yang terhormat.

Mengenai kejadian di Ngalijan. Ngalijan adalah sebuah desa di Kelurahan Lalung, Kabupaten Karanganyar, Keresidenan Surakarta. Pada waktu itu tengah malam tanggal 19 Desember 1948. Lubang untuk mengubur Mr. Amir Sjarifuddin dengan sepuluh orang kawannya, yang digali atas perintah tentara oleh kira-kira dua puluh orang penduduk desa Karangmodjo belum selesai. Menurut perintah, satu lubang yang akan memuat sebelas orang itu harus kira-kira 170 sentimeter dalamnya.

Pada waktu itu Kawan Amir Sjarifuddin berpakaian piyama putih strip biru, celana hijau panjang, dan membawa buntelan sarung; Kawan Maruto Darusman berpakaian jas cokelat dan celana putih panjang; Kawan Suripno berbaju kaos dan bersarung; Kawan Oey Gee Hwat bercelana putih, kemeja putih dan jas putih yang sudah kotor; kawan-kawan lainnya ialah Sardjono, Harjono, Sukarno, Djokosujono, Katamhadi, Ronomarsono, dan D. Mangku.

Sambil menunggu lubang selesai digali, Kawan Amir Sjarifuddin menanyakan kepada seorang Kapten TNI yang ada di situ: Saya ini mau diapakan?

Jawab Kapten itu: Saya tentara, tunduk perintah, disiplin.

Setelah selesai lubang digali, orang-orang yang menggali disuruh pergi dan yang disuruh tinggal hanya empat orang yang kemudian ternyata digunakan untuk menguruk lubang itu kembali.

Kemudian seorang Letnan menerangkan adanya surat perintah Gubernur Militer Kolonel Gatot Subroto mengenai pembunuhan atas sebelas orang itu.

Bung Amir menanyakan antara lain: Apakah Saudara sudah mengikhlaskan saya dan kawan-kawan saya?

Letnan itu menjawab: Saya tinggal tunduk perintah.

Kawan Amir bicara lagi: Apakah Saudara sudah memikirkan yang lebih jernih?

Letnan: Tidak usah banyak bicara.

Kawan Djokosujono menyisip: Saya tidak menyalahkan Saudara, tetapi dengan ini negara yang rugi.

Letnan memerintah anak buahnya supaya masing-masing mengisi bedilnya.

Kawan Amir menghampiri si Letnan, sebelum sampai ia terpeleset sedikit, sambil menepuk badan Letnan ia berkata: Beri kami waktu untuk bernyanyi sebentar.

Letnan menjawab: Boleh, tapi cepat-cepat!

Kawan Suripno menyisip: Apa saya boleh mengirimkan surat untuk istri saya, biar ia tahu?

Letnan: Ya, tidak berkeberatan.

Kemudian kawan-kawan menulis surat. Sesudah selesai, surat-surat itu satu-persatu diserahkan kepada Letnan.

Sesudah surat diserahkan bersama-sama sebelas orang menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Internasionale.

Setelah selesai bernyanyi Bung Amir menyerukan: Bersatulah kaum buruh seluruh dunia! Aku mati untukmu!

Kawan Suripno: Saya bela dengan jiwa saya, aku untukmu!

Kemudian mulailah kesebelas orang yang gagah berani itu ditembak satu-persatu, dimulai dengan menembak Kawan Amir Sjarifuddin, kemudian Kawan Maruto Darusman, Oey Gee Hwat, Djokosujono, dan seterusnya.

Dari kejadian di atas kita ketahui, bahwa anggota-anggota Angkatan Perang melakukan penembakan itu atas perintah atasannya, dalam hal ini Gubernur Militer. Yang bertanggung jawab atas semuanya ini bukan anak-anak yang mengisi peluru bedilnya dan menembak Kawan Amir dan kawan-kawan sesudah mendapat komando, tetapi yang bertanggung jawab sepenuhnya ialah pemerintah yang pada waktu itu berkuasa, pemerintah Hatta-Sukiman-Natsir.

Sampai sekarang, baik PKI maupun keluarga mereka yang dibunuh belum pernah diberi tahu tentang proses verbal dan vonis yang dijatuhkan pada kesebelas patriot tersebut di atas. Satu-satunya surat resmi, tetapi tidak ditujukan kepada keluarga korban satu-persatu, ialah surat dari Kepala Kepolisian Keresidenan Surakarta tanggal 20 September 1950, ditandatangani oleh Komisaris Polisi II, Sempu Muljono, yang memuat keterangan bahwa betul pada hari Minggu tanggal 19-20 Desember 1948 jam 23.30 oleh Pemerintah telah diberikan hukuman secara militer kepada sebelas orang tersebut di atas. Bagaimana prosedur hukuman secara militer itu sama sekali tidak diterangkan.

Berdasarkan surat Kepala Kepolisian Keresidenan Surakarta tertanggal 20 September 1950 itu, maka oleh Saudara Mr. A. M. Tambunan dan Kawan Nyonya Mudigdio sudah ditanyakan lewat Parlemen kepada Pemerintah pada tanggal 20 Desember 1950 sebagai berikut:

1) Siapakah yang dimaksud dengan “Pemerintah” dalam surat tersebut di atas?

2) Dapatkah Pemerintah memberikan hukuman secara militer itu?

3) Pengadilan manakah yang mengadili sebelas orang itu?

4) Bagaimana bunyi keputusan Pengadilan (vonis) itu?

5) Apakah tuduhan Jaksa (Jaksa Tentara) dan berdasarkan pasal-pasal mana Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Tentara)?

Pertanyaan-pertanyaan ini diulangi dalam pidato Saudara Mr. A. M. Tambunan di muka Parlemen pada tanggal 23 Januari 1951.

Sekarang mengenai kejadian berdarah di Magelang. Dimulai dengan kejadian tanggal 21 September 1948. Pada kira-kira jam enam sore hari itu, datang Komandan STC Kedu, Sarbini, ke tempat tahanan militer dan memberi keterangan bahwa ia mendapat tugas untuk melindungi mereka yang ditahan karena sesuatu hal. Dikatakannya, bahwa mereka yang dilindungi tidak perlu khawatir dan perlakuan baik akan ditanggungnya. Keterangan ini diberikan di muka beberapa orang tahanan, karena yang ditahan belum banyak ketika itu. Di antara yang ditahan itu terdapat Saudara Suprodjo, bekas Menteri Sosial, dan Saudara Sukarmo, Bupati Kendal.

Memang benar, kira-kira selama satu minggu sesudah keterangan Komandan STC, Sarbini, makanan dan minuman serta rokok dijamin. Tetapi, lama kelamaan, perlakuan makin jelek, apalagi sesudah dalam ruangan kamar Saudara Suprodjo dan Sukarmo ditempatkan kira-kira tujuh puluh lima orang tahanan. Penjagaan diperkeras, makanan menjadi sangat kurang, sehingga menimbulkan protes-protes sampai diadakan mogok makan. Atas permintaan orang tahanan, keluarga diperkenankan mengirim makanan ke tempat tahanan.

Selama dalam tahanan, kepada yang ditahan diajukan pertanyaan-pertanyaan sekitar: Apakah mereka menjadi anggota organisasi yang bertujuan menjatuhkan pemerintah dengan kekerasan, dan apakah mereka menjadi anggota sesuatu organisasi yang bertujuan kejahatan. Pertanyaan-pertanyaan ini sesuai dengan Program Kampanye FDR yang sudah dipalsu dan yang sudah diurus oleh FDR dengan pihak kepolisian. Pertanyaan-pertanyaan di atas dijawab dengan singkat: Tidak! Ada yang memberi keterangan, bahwa mereka adalah anggota Partai Sosialis atau partai lain yang berkedudukan legal.

Pada tanggal 19 Desember 1948 tahanan yang satu kamar dengan Saudara Suprodjo dan Sukarmo disuruh berkumpul. Pengurus tahanan mengemukakan bahwa orang-orang tahanan harus bersiap-siap untuk pindah tempat. Orang-orang tahanan dibagi menjadi tiga golongan, golongan A, B, dan C. Golongan C boleh pulang dan golongan B dipindah ke kamp Mendut, di luar kota Magelang. Sedangkan golongan A, yang terdiri dari anggota-anggota FDR Magelang, semua 41 orang, di antaranya seorang wanita, dipindahkan ke penjara Magelang. Orang-orang yang dipindahkan ke penjara Magelang ini belum selesai diperiksa oleh yang berwajib.

Rombongan 41 orang ini dalam perjalanan menuju ke penjara diantar oleh dua orang prajurit yang masih muda dan nampaknya peramah. Kalau 41 orang ini mau melarikan diri bukanlah soal yang sulit ketika itu. Tetapi, karena merasa tidak bersalah mereka menganggap tidak perlu untuk melarikan diri. Jika orang tahanan berjalan terpencar, prajurit yang mengantar tidak menampakkan kemarahannya. Malahan, sebelum sampai ke penjara, Saudara Suprodjo dengan seorang tahanan lagi minta permisi kepada prajurit yang mengantar untuk mampir di rumahnya buat pamitan. Permintaan ini diluluskan dan mereka mampir di rumah dan tidak dijaga. Kemudian, sesudah pamitan Saudara Suprodjo dengan kawannya menyusul ke penjara dengan tidak diantar. Kenyataan ini perlu saya kemukakan untuk menunjukkan sekali lagi, bahwa orang-orang FDR yang ditahan ini tidak seujung rambut merasa dirinya bersalah dan oleh karena itu tidak menaruh kecurigaan sedikit juga kepada alat-alat pemerintah yang menangkap mereka.

Setelah sampai di penjara, 40 orang dimasukkan ke dalam dua sel sedangkan seorang wanita yang tadinya ikut tidak dimasukkan. Penjagaan di halaman penjara sangat keras, dilakukan oleh pasukan bersenjata dengan satu mitraljur ditujukan kepada sel. Kira-kira jam 5 sore kelihatan empat orang mengantar trekbom yang besar dan dimasukkan ke dalam salah satu kamar. Kira-kira jam 6.30 orang penjara “biasa”, yang terdiri dari pencuri dan penjahat, dikeluarkan dari penjara. Kira-kira jam 9 malam, ke-40 orang tahanan itu dipindahkan dan dimasukkan ke dalam satu sel di bagian tengah penjara.

Malam tanggal 19 Desember 1948 itu sangat gelap di dalam dan di sekitar penjara Magelang. Sepasukan kecil tentara dengan membawa obor memecahkan kegelapan itu. Mereka bersenjatakan karaben. Kira-kira jam 9.30 malam pintu sel dibuka dan satu demi satu orang-orang tahanan ditarik keluar. Sesudah di luar tangan mereka diikat di belakang badan dan dimasukkan ke kamar lain. Salah seorang yang sedang diikat memprotes: “Kita belum diadili sudah mau dibunuh. Kalau begitu tidak ada pengadilan”. Seorang lagi, ketika sedang diikat jempol sama jempolnya di belakang badan bertanya: “Mau diapakan ini?” Pertanyaan ini dijawab dengan kasar: “Diam!” Lalu yang bertanya ini dimasukkan ke dalam sel dimana sudah berkumpul teman-teman lain yang sudah diikat tangannya. Mereka dipaksa supaya duduk bersila menghadap tembok kamar penjara. 40 orang dibagi dalam tiga kamar. Ketika itu tentara Belanda sudah ada yang masuk kota Magelang.

Terdengar suara pemimpin pasukan: “Ini bajingan-bajingan.” Kemudian ia memberi komando: “Bersiaaaaap!” Di belakang tiap-tiap orang, dengan jarak kira-kira 1,5 meter, berdiri satu orang dengan karaben. Sesudah kedengaran kokang, komandan memberi perintah: “Atas nama Negara… tembak!” Demikianlah, orang-orang yang belum selesai diperiksa ini, hanya dengan perkataan “atas nama negara” dijatuhi hukuman tembak. Kebanyakan mereka pecah kepalanya dan otaknya keluar. Sesudah selesai menembak semua, tetapi di antaranya ada kurang tepat tembakannya, penjara dikunci dengan gembok dari luar.

Tidak berapa lama kemudian, dari jendela penjara dilemparkan botol-botol berisi bensin dan lim (brandflessen). Dari luar penjara diusahakan untuk membakar penjara, api sudah mulai bernyala-nyala memakan tumpukan kayu yang memang sudah disediakan di muka pintu kamar penjara. Tetapi malang bagi tukang bakar dan tukang bunuh itu, pekerjaan mereka sia-sia, karena hujan turun.

Juga mengenai hukuman mati yang dijatuhkan pada 40 orang di atas saya meminjam pertanyaan Saudara A. M. Tambunan: Pengadilan manakah yang mengadili 40 orang itu? Bagaimana bunyi keputusan pengadilan (vonis) itu? Apakah tuduhan Jaksa (Jaksa Tentara) dan berdasarkan pasal-pasal mana Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Tentara)?

Sampai sekarang yang diketahui oleh rakyat ialah, bahwa mereka sudah dibunuh dengan tidak diadili lebih dulu. Kita bisa mengatakan bahwa Residen Kedu, Salamun, Komandan STC, Sarbini, Kepala Polisi Kedu, Sukardjo, bertanggung jawab atas kejadian ini, tetapi tidak boleh kita lupakan bahwa mereka berbuat semuanya atas perintah atasan. Sebagaimana juga dengan kejadian di Ngalijan dan di tempat-tempat lain, yang bertanggung jawab atas pembunuhan di penjara Magelang ini adalah pemerintah Hatta-Sukiman-Natsir. Penguasa-penguasa pemerintah inilah yang tangannya berlumuran dengan darah dan pecahan otak manusia.

Dengan menjadi terangnya dua peristiwa pembunuhan di atas, yaitu yang di Ngalijan dan Magelang, maka jelaslah bahwa perkataan “berlumuran darah” dalam statement Politbiro CC PKI tanggal 13 September 1953 sama sekali bukan dimaksudkan untuk menghina, tetapi semata-mata untuk memformulasi apa yang sebenarnya terjadi. Dengan ini menjadi jelas, bahwa memang benar dalam Peristiwa Madiun tangan Hatta-Sukiman-Natsir cs berlumuran darah.

Sebelum saya menutup keterangan saya mengenai tangan orang yang berlumuran darah dalam Peristiwa Madiun, perlu saya kemukakan bahwa pembunuhan-pembunuhan kejam di Ngalijan, Magelang, Kediri, dan banyak tempat-tempat lain lagi, dilakukan sesudah pidato Presiden Sukarno dalam bulan November 1948 yang menyatakan, bahwa putusan hukuman mati harus oleh Pemerintah Pusat dan semua hukuman harus berdasarkan putusan pengadilan. Juga perlu saya kemukakan, bahwa menurut putusan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BPKNIP), yaitu parlemen sementara kita ketika itu, kekuasaan penuh (plein pouvoir) selama 3 bulan yang diberikan kepada Presiden Sukarno hanya berlaku sampai tanggal 15 Desember 1948. Pembunuhan-pembunuhan yang saya terangkan di atas dilakukan sesudah tanggal 15 Desember 1948, setelah kekuasaan penuh tiada lagi di tangan Presiden Sukarno. Dua hal yang saya kemukakan ini lebih membikin terang, bahwa pembunuhan-pembunuhan itu benar-benar adalah perbuatan sewenang-wenang, dan sepenuhnya atas tanggung jawab pemerintah Hatta-Sukiman-Natsir.

Yang tidak boleh dilupakan, Saudara Ketua, ialah bahwa pembunuhan-pembunuhan yang membikin berdiri bulu kuduk itu dilakukan berdasar berita yang belum pasti. Ini Nampak dalam pidato Perdana Menteri Drs. Moh. Hatta ketika meminta kekuasaan penuh pada BPKNIP, yang antara lain berbunyi: “Tersiar pula berita – entah benar entah tidak – bahwa Musso akan menjadi Presiden Republik rampasan itu dan Mr. Amir Sjarifuddin Perdana Menteri.” Ya, tindakan-tindakan diambil berdasar berita entah benar entah tidak, tetapi yang mati sudah pasti.

JAGA PERSATUAN NASIONAL SEPERTI KITA MENJAGA BIJI MATA KITA

Saudara Ketua Pengadilan yang terhormat.

Sekarang sampailah saatnya saya mengakhiri pembelaan saya.

Di bagian pendahuluan dari pembelaan saya ini sudah saya katakan bahwa bagi saya bukanlah suatu kegembiraan dan kebahagiaan untuk berbicara tentang Peristiwa Madiun. Di muka Pengadilan ini saya terpaksa berbicara tentang peristiwa yang mengerikan ini, peristiwa penculikan dan pembunuhan yang dilakukan oleh suatu pemerintah yang katanya berdasarkan hukum. Saya terpaksa berbicara untuk membela kehormatan Komunis saya, untuk membela kehormatan kawan-kawan saya yang sudah menjadi korban Peristiwa Madiun, untuk membela kehormatan rakyat Indonesia yang memihak PKI mengenai pendirian terhadap Peristiwa Madiun.

Dengan keterangan-keterangan saya di atas menjadi jelas apa yang saya katakan di bagian pendahuluan dari pembelaan saya, yaitu bahwa statement Politbiro CC PKI tanggal 13 September 1953 dikeluarkan semata-mata untuk kepentingan umum dan pembelaan. Nama baik PKI dan nama baik pemimpin-pemimpin PKI menjadi dicemarkan dengan adanya fitnahan-fitnahan terhadap PKI yang dimuat di dalam Harian-harian “Abadi” dan “Pedoman” beberapa hari sebelum statement tersebut dikeluarkan. Sekarang menjadi terang, bahwa “kekejaman yang tidak ada taranya” bukan dimulai oleh anggota-anggota PKI, tetapi dimulai dengan penculikan dan pembunuhan di Solo oleh aparat-aparat resmi pemerintah. Sekarang menjadi jelas, bahwa “kekejaman yang tiada taranya” bukan dilakukan oleh PKI, tetapi dilakukan terhadap PKI.

Kami sudah sejak lama, bertahun-tahun sebelum Masyumi melakukannya, sudah memperingati hari 18 September saban tahun sebagai hari berduka cita. Kami setuju kalau pemerintah memutuskan supaya tanggal 18 September saban tahun diperingati dengan penuh khidmat dan dengan menaikkan bendera nasional setengah tiang sebagai tanda berduka cita seluruh bangsa.

Kita harus berkabung pada tanggal 18 September saban tahun untuk memperingati korban-korban yang ditembak mati di Ngalijan, Magelang, Kediri, Malang, Pati, Cepu, dan banyak tempat lagi.

Kita harus berkabung pada tanggal 18 September saban tahun untuk memperingati Musso, Amir Sjarifuddin, Harjono, Suripno, Wiroreno dan banyak lagi pahlawan-pahlawan rakyat yang namanya akan tetap hidup di dalam hati dan nadi putra-putra Indonesia yang mempunyai perasaan dan darah kebangsaan.

Kita harus berkabung pada tanggal 18 September saban tahun untuk memperingati anak-anak dan saudara-saudara kita anggota Angkatan Perang yang menjadi korban politik perang saudara pemerintah Hatta-Sukiman-Natsir.

Kita harus berkabung pada tanggal 18 September saban tahun untuk memperingati semua yang menjadi korban Peristiwa Madiun.

Kita harus berkabung pada tanggal 18 September saban tahun supaya kita senantiasa ingat, bahwa kita harus waspada dan senantiasa bersikap kuat dalam melawan tiap-tiap provokasi.

Kita harus berkabung pada tanggal 18 September saban tahun supaya kita senantiasa ingat, bahwa kita tidak mau dipecah-belah, bahwa kita harus menjaga persatuan nasional kita seperti kita menjaga biji mata kita.

Kalau kita bersatu tidak ada yang akan rugi, kecuali musuh kita, semua kaum penjajah.

Saudara Ketua Pengadilan yang terhormat.

Saya sudah berbicara, saya sudah menyatakan perasaan dan pikiran saya. Sekarang saya mengharap Saudara menyatakan perasaan dan pikiran saudara. Saya nyatakan harapan ini, karena saya yakin Saudara mempunyai dua milik kita yang besar ini, yaitu perasaan dan pikiran.

--------------------------------------------------------------

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Lampiran 1. TUNTUTAN JAKSA TIDAK BERALASAN

(Tangkisan Mr. Suprapto terhadap tuduhan pada terdakwa D. N. Aidit diucapkan di muka sidang Pengadilan Negeri Jakarta tanggal 25 November 1954)

 

Saudara Ketua yang terhormat.

Terhadap tuduhan pada terdakwa perkenankanlah kami mengajukan tangkisan sebagai berikut:

Tangkisan pertama

Menurut surat tuduhan terdakwa dituntut berhubung dengan kejahatan penghinaan dilakukan dengan percetakan (drukpers). Karangan yang mengakibatkan penuntutan diterbitkan dalam surat kabar “Harian Rakyat” dan disiarkan pada tanggal 14 September 1953.

Menurut Pasal 78, ayat 1 sub 1e KUHP jangka waktu kasipnya penuntutan (verjaringstermijn) bagi kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan dengan percetakan adalah 1 (satu) tahun. Jangka waktu tadi menurut Pasal 79 KUHP mulai berjalan sejak tanggal 14 September 1953 sampai tanggal 14 September 1954 dan karena itu hak untuk mengadakan penuntutan hukuman lenyap pada tanggal 14 September 1954, kecuali jika jalannya jangka waktu kasip tadi digagalkan (gestuit) oleh tindakan penuntutan yang diketahui atau diberitahukan pada terdakwa.

Dalam hubungan ini perlu dikemukakan beberapa hal sebagai berikut:

Pada tanggal 24, 25, 26, 28, dan 29 September 1953 oleh Jaksa pada Kejaksaan Agung telah dilakukan pemeriksaan terhadap terdakwa. Pemeriksaan-pemeriksaan yang dilakukan terhadap terdakwa ini bukanlah tindakan penuntutan sebagai yang dimaksudkan dalam Pasal 80 KUHP. Menurut sarjana-sarjana hukum pidana pemeriksaan sebagai yang dilakukan oleh Jaksa termaksud tidak termaksud penuntutan (vervolging), tetapi hanyalah suatu pengusutan (opsporing). Pendapat ini antara lain dikemukakan oleh Noyon – Langemeyer dalam buku Het Wetboek van Strafrecht, dl. I, th. 1954, hlm. 444 dan oleh Noyon dalam buku Het Wetboek van Strafvordering, th. 1926, hlm. 3, dimana ditegaskan sebagai berikut: “dat de strafvervolging eerst aanvangt wanneer eene vordering bij den rechter wordt gedaan of eenige andere wijze de zaak aan diens kennisneming wordt onderwerpen”. Juga dalam Jurisprudentie pendapat ini dianut, antara lain oleh Pengadilan Negeri di Yogyakarta, dalam keputusannya tanggal 22 Oktober 1936 (T. dl. 146, hlm. 396), dimana dikatakan, bahwa selama berkas perkara (processtukken) masih belum diserahkan pada Ketua Pengadilan Negeri, maka belumlah dapat dikatakan telah ada seorang terdakwa, melainkan seseorang yang mungkin didakwa. Begitu pula pendapat Raad van Justitie dahulu di Medan dalam keputusannya, tanggal 17 Juni 1932, T. dl. 136 hlm. 185, dan Hoog Gerechtshof dahulu dalam arrest tanggal 17 Agustus 1937, T. dl. 146 hlm. 378 dan arrest tanggal 31 Mei 1938, T. 148-117.

Sekiranya tindakan Jaksa, yang mengirimkan berkas perkara terdakwa pada Ketua Pengadilan Negeri pada tanggal 14 Agustus 1954 dianggap sebagai suatu tindakan penuntutan, toh tindakan ini tidak sekali-kali mempunyai kekuatan untuk menggagalkan (stuiten) jalannya jangka waktu kasip (verjaring), karena tidak ternyata, bahwa tindakan itu diketahui oleh atau diberitahukan pada terdakwa.

Dari hal tersebut tadi jelaslah, bahwa jangka waktu kasip (verjaringstermijn) berjalan mulai dari tanggal 14 September 1953 dengan tiada mengalami suatu penggagalan sampai tanggal 14 September 1954, pada saat mana jangka termaksud berakhir.

Dalam pada itu Hakim Pengadilan Negeri di Jakarta dengan surat tuduhan No. 3990/1954, tanggal 15 September 1954 menetapkan, supaya terdakwa diajukan di sidang Pengadilan Negeri Jakarta pada tanggal 23 September 1954 dan memberi perintah kepada Jaksa Pengadilan Negeri untuk memanggil supaya terdakwa menghadap pada sidang Pengadilan pada tanggal tersebut tadi dan juga supaya memberitahukan kepada terdakwa bunyinya surat tuduhan tersebut.

Sudah teranglah, bahwa surat tuduhan tadi secara hukum tidak mempunyai kekuatan, karena telah kasip, ialah jangka waktu untuk hak penuntutan telah berakhir pada tanggal 14 September 1954.

Terlepas dari soal apakah surat tuduhan tersebut atau diadakan dalam “jangka waktu kasip” (verjaringstermijn), surat tuduhan itu bagaimanapun juga tidak mempunyai kekuatan untuk menggagalkan “verjaring” karena tidak ternyata, bahwa diadakannya surat tuduhan itu diketahui atau diberitahukan kepada terdakwa.

Menurut Pasal 390 HIR pemberitahuan pada terdakwa tentang tuduhan itu harus disampaikan pada yang bersangkutan sendiri di tempat kediamannya atau tinggalnya, dan jika tidak dijumpai di situ, kepada Lurah kampungnya yang diwajibkan dengan segera memberitahukan itu pada yang bersangkutan sendiri. Aturan ini tidak dipenuhi oleh Jaksa, sebab pemberitahuan atau panggilan pada terdakwa yang dilakukan pada tanggal 21 September 1954 tidaklah disampaikan pada terdakwa sendiri, karena pada ketika itu memang terdakwa tidak ada di rumah, melainkan sedang bepergian, tetapi setelah ternyata, yang terdakwa tak dapat dijumpai, pun tidak terjadi pemberitahuan disampaikan pada Lurah, yang kemudian menyampaikan hal itu pada terdakwa.

Selain tak dipenuhinya syarat-syarat menurut hukum mengenai pemberitahuan tadi perlu diperhatikan juga seandainya jangka waktu kasip (verjaringstermijn) dianggap berlaku mulai tanggal 29 September 1953, yaitu hari yang paling akhir pada waktu mana diadakan pemeriksaan oleh Jaksa, toh penuntutan ini telah kasip pula, karena setelah dilakukannya pemberitahuan termaksud tadi pada tanggal 21 September 1954 itu, baru diadakan pemberitahuan lagi pada tanggal 1 Oktober 1954, jadi setelah “verjaringstermijn” berakhir pada tanggal 29 September 1954, pada waktu pemberitahuan mana terdakwa tidak dijumpai lagi, tetapi oleh Jaksa tidak dijalankan sesuatu menurut Pasal 390 HIR.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas kami mohon sudi apalah kiranya Paduka Tuan Ketua Pengadilan Negeri mengambil keputusan menyatakan, bahwa hak untuk mengadakan penuntutan telah musnah (vervallen), setidak-tidaknya menetapkan, bahwa tidak ada cukup alasan untuk mengadakan penuntutan lebih lanjut terhadap terdakwa.

Tangkisan kedua

Menurut tuduhan primair dan subsidair terdakwa dituduh melanggar Pasal 134 dan Pasal 207 KUHP.

Berdasarkan Pasal 142 Undang-Undang Dasar Sementara jo. Pasal 192 Konstitusi RIS yang berlaku di daerah Jakarta Raya adalah “Het Wetboek van Strafrecht voor Indonesië”, tanpa perubahan menurut Undang-Undang tahun 1946 No. 1 dari Republik Indonesia yang beribukota Yogyakarta. Jakarta Raya sebelumnya penyerahan kedaulatan oleh Belanda tidak termasuk daerah hukum Undang-Undang tahun 1946/No. 1, sehingga di daerah Jakarta Raya berlaku KUHP, yang masih belum diubah menurut Undang-Undang Republik Indonesia (Yogyakarta) tersebut tadi (lihatlah: Engelbrecht, kitab Undang-Undang, hlm. 1104).

Pasal-pasal 134 dan 207 KUHP menurut bunyinya sekarang ini masih tetap melindungi keluhuran Raja, Ratu, dan kekuasaan Negara Asing, yang dahulu menjajah bangsa kita. Karena sejak Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia telah bebas dari penjajahan, dan membentuk negara yang merdeka dan berdaulat, dan mempunyai Undang-Undang Dasar, maka pasal-pasal tersebut tadi adalah bertentangan dengan asas kemerdekaan dan Undang-Undang Dasar kita.

Adalah sangat ganjil sekali, jika terdakwa sebagai salah seorang putera Indonesia yang turut serta mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan, sekarang dituduh melanggar pasal-pasal hukum pidana, yang memperlindungi kolonialisme.

Berdasarkan hal-hal tersebut tadi kami mohon sudi apalah kiranya Paduka Tuan Ketua Pengadilan Negeri mengambil keputusan menyatakan, bahwa tidak ada cukup alasan untuk mengadakan penuntutan lebih lanjut.

----------------------------------------------

 

Lampiran II. TUNTUTAN JAKSA INKONSTITUSIONAL

(Pembelaan Mr. Suprapto diucapkan di muka Pengadilan Negeri Jakarta pada tanggal 24 Februari 1955)

Saudara Ketua yang terhormat.

Sebagai pembela dalam perkara ini kami ingin terlebih dulu mengucapkan penghargaan yang sebesar-besarnya atas kebijaksanaan Saudara Ketua dalam melakukan pemeriksaan perkara terdakwa, sehingga sidang pengadilan dapat berjalan dengan lancar. Dari sebab itulah kami pun ingin membantu secepatnya penyelesaian perkara ini.

I. Bukankah waktu penuntutan telah kasip?

1. Sebagaimana Saudara telah maklum, kami telah mengajukan tangkisan terhadap tuduhan pada terdakwa, ialah bahwa penuntutan telah kasip waktunya, kadaluarsa (verjaard). Sekalipun tangkisan itu oleh Pengadilan Negeri telah ditolak, namun penolakan ini tidak menyebabkan kami menyerah belaka, tetapi kami tetap mempertahankan dalil kami itu dengan sekuat tenaga. Dalam hubungan ini kami hendak menambahkan beberapa alasan pada tangkisan kami yang tempo hari telah kami ajukan, semoga dapatlah Saudara Ketua mengubah penetapan Saudara yang semula.

2. Dalam berkas perkara dapat Saudara membaca sebuah keterangan dari Saudara Jaksa yang termaktub dalam suratnya tanggal 23 September 1954, yang dalam pokoknya menyatakan, bahwa terdakwa belum dapat dipanggil untuk menghadap di persidangan. Surat itu berbunyi antara lain sebagai berikut:

“Berhubung dengan panggilan terdakwa D. N. Aidit yang perkaranya akan diadili pada hari Kamis tanggal 23 September 1954 ini oleh Hakim Pengadilan Negeri Jakarta, maka dengan hormat kami kabarkan bahwa terdakwa tersebut belum dapat dipanggil untuk menghadap, sebab tidak terdapat pada alamatnya… dan seterusnya”.

Berhubung dengan kenyataan ini timbullah pertanyaan apakah sidang pada tanggal 23 September 1954 itu menurut hukum sah dilaksanakan?

3. Untuk menjawab pertanyaan ini kiranya perlu terlebih dahulu kita meninjau Pasal 250 ayat (11) H. I. R. yang mengatakan, bahwa jika telah dilakukan panggilan terhadap terdakwa menurut aturan-aturan yang ditentukan, maka tentang hal itu dikirimkan bukti tertulis pada Ketua Pengadilan Negeri oleh Jaksa.

Justru surat dari Saudara Jaksa tanggal 23 September 1954 itu menegaskan, bahwa belum dilakukan panggilan terhadap terdakwa menurut aturan-aturan yang ditentukan.

Bukankah Saudara Jaksa menerangkan sendiri, bahwa terdakwa belum dapat dipanggil, sebab tidak terdapat pada alamatnya? Padahal menurut aturan dalam Pasal 250 ayat (8) H. I. R. panggilan harus dilakukan dengan perantaraan Wedana.

4. Karena terdakwa belum atau tidak dipanggil atau diberitahukan menurut peraturan yang ditentukan, maka adalah keliru sekali, jika pada tanggal 23 September 1954 diadakan sidang oleh Pengadilan Negeri guna pemeriksaan perkara terdakwa. Bukankah Pasal 250 ayat (10) H. I. R. menentukan, bahwa dalam menentukan hari persidangan Ketua harus memperhatikan:

a. Lamanya waktu yang perlu bagi terdakwa untuk menghadap persidangan.

b. Waktu yang harus lalu antara saat pemberitahuan isi ketetapan Hakim (surat tuduhan) dan hari persidangan.

Dengan diadakannya sidang pada tanggal 23 September 1954, dengan pengetahuan, bahwa terdakwa belum atau tidak diberitahukan isi surat ketetapan, maka sudah teranglah, bahwa peraturan-peraturan acara pidana tidak ditepati. Maka dari itu sidang pengadilan negeri pada tanggal 23 September 1954 tidak sah diadakan dan tidak dapat dipergunakan sebagai dasar untuk menggagalkan (stuiten) jalannya jangka waktu kasip (verjaring), ialah sebagai pemberitahuan penuntutan pada terdakwa.

5. Dengan tambahan keterangan ini pada tangkisan kami, maka kami berkesimpulan tetap pada pendirian kami semula, ialah perkara ini telah kasip penuntutannya (verjaard).

II. Pasal-pasal yang dituduhkan pada terdakwa berlawanan dengan Undang-Undang Dasar (Inconstitutioneel)

6. Menurut surat tuduhan yang telah diubah, terdakwa dituduh: primair melanggar Pasal 134 dan subsidair melanggar Pasal 207 KUHP. Apakah benar Pasal 134 dan 207 KUHP dapat dilakukan dalam perkara ini? Untuk menjawab pertanyaan ini terlebih dahulu kita harus bertanya pada Konstitusi R.I.S. dan Undang-Undang Dasar Sementara, undang-undang pidana yang mana yang berlaku di Jakarta ini.

7. Menurut Pasal 192 ayat (1) Konstitusi R.I.S. di Jakarta pada saat Konstitusi itu mulai berlaku, tetap berlakulah undang-undang pidana yang masih belum diubah oleh undang-undang tahun 1946 No. 1 dari R.I. (Yogyakarta), karena undang-undang pidana tanpa perubahan itulah yang sudah ada dan berlaku di Jakarta di bawah kekuasaan Belanda dan pada saat perpindahan kekuasaan Belanda pada Indonesia. Tetapi Pasal 192 ayat (2) Konstitusi menentukan, bahwa kelanjutan peraturan-peraturan undang-undang yang sudah ada hanya sekedar peraturan-peraturan dari undang-undang tadi tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan Pemulihan Kedaulatan dan ketentuan-ketentuan dari Konstitusi R.I.S. Maka dari itu tidaklah seluruhnya peraturan-peraturan dari undang-undang pidana (Wetboek van Strafrecht) termaksud tetap berlaku. Peraturan-peraturan yang bersifat kolonial adalah tidak sesuai lagi dengan negara hukum yang merdeka-berdaulat. Peraturan-peraturan yang kolonial adalah berlawanan dengan ketentuan dari Konstitusi yang tidak memerlukan peraturan undang-undang atau tindakan-tindakan pelaksanaan, seperti halnya Pasal 1 Konstitusi. Dari sebab itu berdasar Pasal 192 ayat (2) Konstitusi peraturan-peraturan kolonial yang terdapat dalam undang-undang pidana (Wetboek van Strafrecht) tidaklah berlaku.

8. Pasal 134 adalah termasuk peraturan-peraturan yang berlawanan dengan Konstitusi, karena pasal tadi diadakan untuk memperlindungi keluhuran kedudukan raja. Negara kita adalah negara hukum yang berdaulat dan berbentuk republik, jadi tak mungkin kita mengakui keluhuran kedudukan raja. Begitu pula Pasal 207 adalah bertentangan dengan kedaulatan negara kita, karena Pasal 207 memperlindungi kekuasaan di Negeri Belanda di samping kekuasaan yang ada di Indonesia, bahkan dapat dikatakan memperlindungi terlebih dahulu kekuasaan di Negeri Belanda daripada kekuasaan di Indonesia. Karena itu sejak mulai berlakunya Konstitusi R.I.S. Pasal 134 dan 207 KUHP sudah tidak berlaku.

9. Setelah R.I.S. menjelma menjadi negara Kesatuan R.I., maka Pasal 134 dan 207 yang telah tidak berlaku itu juga tetap tidak berlaku, karena Undang-Undang Dasar Sementara juga mempunyai peraturan-peraturan peralihan yang maksudnya sama dengan Pasal 192 Konstitusi R.I.S. Pasal 142 dan 141 ayat 3 Undang-Undang Dasar Sementara intisarinya bersamaan dengan Pasal 192 ayat (1) dan (2) dari Konstitusi R.I.S. Berdasarkan Pasal 142 U.U.D.S., yang berlaku di Jakarta juga masih undang-undang pidana yang masih tanpa perubahan dari undang-undang No. 1/Tahun 1946 R.I., karena yang sudah ada pada tanggal 17 Agustus 1950 dan masih berlaku di Jakarta juga masih undang-undang pidana tanpa perubahan itu. Sejak tanggal 17 Agustus 1950 sampai sekarang masih belum ada perubahan suatu apapun atau pernyataan berlakunya U.U. No. 1/Tahun 1946 untuk seluruh wilayah R.I.

Dalam pada itu apa yang telah tidak berlaku lagi karena bertentangan dengan kedaulatan dan ketentuan dalam Konstitusi juga tetap tidak berlaku, karena Pasal 141 ayat 3 U.U.D.S. juga tidak memperkenankan melanjutkan berlakunya peraturan-peraturan yang berlawanan dengan ketentuan-ketentuan dalam U.U.D.S. yang tidak memerlukan peraturan undang-undang atau tindakan-tindakan pelaksanaan yang lebih lanjut, seperti halnya dengan ketentuan dalam Pasal 1 U.U.D.S. itu.

10. Berhubung dengan kemungkinan adanya anggapan bahwa Pasal 134 dan Pasal 207 dengan sendirinya telah diubah dengan undang-undang No. 1 tahun 1946, di sini hendak kami jelaskan, bahwa pendapat demikian adalah keliru, setidak-tidaknya tidak sesuai dengan pendapat dari pembentuk undang-undang (wetgever). Sebagai bukti dalam hubungan ini dapat kami kemukakan pernyataan berlakunya undang-undang kerja R.I. tahun 1948 untuk seluruh Indonesia dengan pengeluaran undang-undang No. 1 tahun 1951. Jika undang-undang kerja R.I. tahun 1948 itu dengan sendirinya boleh dianggap berlaku untuk seluruh Indonesia, maka tidak perlu diadakannya pernyataan berlakunya lagi dengan undang-undang No. 1 Tahun 1951.

Bahwa menurut pendapat pembentuk undang-undang daerah Jakarta tidak termasuk daerah hukum perundang-undangan R.I. dahulu lebih tegas dinyatakan dalam Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 1951 dalam Bab III dan IV. Di sini diadakan perbedaan mengenai daerah dalam melakukan aturan undang-undang kerja tahun 1948 itu, ialah dalam daerah Jakarta, daerah bekas negara bagian Indonesia Timur, Sumatera Timur, dan Kalimantan Barat saat berlakunya aturan-aturan dari undang-undang kerja adalah berlainan daripada di daerah yang telah dianggap termasuk daerah R.I. atau daerah berlakunya undang-undang kerja Tahun 1948. Dari kenyataan ini telah dijelaskan kiranya, bahwa pembentuk undang-undang (wetgever) tidak berpendapat, bahwa perundang-undangan R.I., di antaranya undang-undang No. 1 Tahun 1946, dengan sendirinya berlaku juga dalam daerah Jakarta.

11. Jika ada pendapat, bahwa orang boleh menafsirkan sebegitu rupa, sehingga kata Koning dapat diartikan sebagai Presiden dan Koningin sebagai Wakil Presiden dalam Pasal 134 dan perkataan Nederland dalam Pasal 207 dianggap sebagai tidak ada sama sekali, maka tafsiran semacam itu tidak lain hanya menunjukkan keinginan untuk memberi hukuman saja dan tidak mengindahkan dasar pokok dari hukum pidana sebagai tercantum dalam Pasal 1 K.U.H.P. Pasal ini adalah penjelmaan daripada kemenangan perjuangan demokrasi melawan penindasan sewenang-wenang. Aturan dalam Pasal 1, dalam ilmu hukum terkenal dengan formulasi dalam bahasa Latin sebagai “nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali”, adalah salah satu daripada hak-hak kemanusiaan yang telah diproklamirkan dalam tahun 1789 oleh umat manusia yang mencintai keadilan (Déclaration des droits de l’homme et du citoyen). Hak kemanusiaan itu tidak boleh diganggu-gugat. Dengan “nullum delictum” tadi ditegaskan, bahwa hanya undang-undang sajalah yang dapat menyatakan suatu perbuatan dapat dihukum dan bilamana undang-undang tidak mengatur suatu hal, maka tidak diperbolehkan Hakim dengan cara tafsiran menyatakan hal itu dapat dikenakan hukuman. (lihat Hazewinkel-Suringa, Inleiding tot de studie van het Nederlandse Strafrecht, tahun 1953, hlm. 276 dan seterusnya). Pelanggaran atas “nullum delictum” tadi berarti malapetaka bagi negara kita, karena pelanggaran tadi mengakibatkan tindakan yang sewenang-wenang, tindakan yang bertentangan dengan keadilan. Keadilan adalah dasar daripada negara yang demokratis, karena untuk meminjam perkataan dari Aristoteles keadilanlah yang dapat memberikan bahagia pada rakyat banyak dalam negara. (Lihatlah: Von Schmid, grote denkers over staat en recht, hlm. 25)

III. Tuduhan Primair

12. Terlepas dari soal berlaku atau tidaknya Pasal 134 K.U.H.P., di sini kami hendak meninjau unsur daripada Pasal 134. Pasal 134 mempunyai unsur-unsur:

a. Penghinaan.

b. Perbuatan yang sengaja.

13. Terlebih dahulu kami hendak membicarakan unsur penghinaan. Penghinaan dari Pasal 134 harus dijelaskan dengan tafsiran yang terdapat dari titel XVI. Dalam titel XVI kita dapat mengenal berbagai macam penghinaan, ialah: smaad, smaadschrift, laster, eenvoudige belediging dan lasterlijke aanklacht. Dalam Pasal 134 berbagai macam bentuk penghinaan tadi semuanya dikenakan satu hukuman dan semuanya diberi kualifikasi yang sama, yaitu penghinaan. Tetapi ini tidak berarti, bahwa tidak diperbolehkanlah kita menggunakan aturan-aturan mengenai “smaad” atau smaadschrift dari titel XVI, jika penghinaan menurut Pasal 134 itu sebenarnya memang bersifat “smaad”. Dari sebab itu, jika seperti dalam perkara ini, terdakwa dituduh melakukan penghinaan, yang sifatnya sebagai “smaadschrift”, yang dimaksudkan dalam Pasal 310 ayat (2), maka terdakwa berhak untuk mempergunakan Pasal 310 ayat (3), agar supaya tidak dapat dikenakan hukuman, karena ia melakukan perbuatan tadi guna kepentingan umum dan untuk pembelaan yang perlu dilakukan. Noyon dalam komentarnya pada Pasal 111 K.U.H.P. Belanda mengatakan bahwa juga terhadap raja pun dapat dilakukan hak untuk berbuat guna kepentingan umum atau pembelaan yang perlu (Lihat Noyon, het Wetboek van Strafrecht, I, Tahun 1954, hlm. 567).

14. Adalah sangat penting penyangkalan terdakwa terhadap tuduhan padanya dengan mengemukakan, bahwa ia membuat statement sengketa itu untuk kepentingan umum dan pembelaan yang perlu dilakukannya. Dengan diajukannya hal tadi, maka seandainya ada penghinaan, dalam hal ini lebih tepat “smaadschrift”, toh penghinaan itu tak dapat dikenakan hukuman (uitgesloten van strafbaarheid).

15. Sebagaimana telah dinyatakan oleh terdakwa di hadapan sidang pengadilan dan tidak disangkal oleh Saudara Jaksa dan Hakim, terdakwa sebagai Sekretaris Jenderal Partai Komunis Indonesia terpaksa mengeluarkan statement termaksud, karena PKI pada waktu itu diserang oleh lawan-lawan politiknya. Dalam Harian “Abadi” tanggal 4 September 1953 dimuat suatu resolusi dari Persatuan Bekas Pejuang Islam Indonesia (P.B. P.I.I.) Yogyakarta yang mengatakan, bahwa:

a. PKI telah mengadakan pemberontakan di Madiun dan memproklamirkan sebuah negara Komunis yang dipimpin oleh Musso-Amir, sesuai dengan instruksi imperialis Rusia.

b. Pemberontakan itu merupakan pengkhianatan dan kejahatan besar terhadap negara dan rakyat Indonesia.

c. Supaya Pemerintah R.I. menetapkan hari pemberontakan kaum Komunis PKI cs di Madiun tanggal 18 September menjadi hari Berkabung Nasional.

d. Supaya pada tanggal 18 September 1953 diadakan pawai yang dinamakan “Pawai Duka”, yang dilakukan dengan penuh khidmat dan disertai pukulan genderang tanda berkabung dan bersedih.

Dalam Harian “Pedoman” tanggal 7 September 1953 dimuat pengumuman BKOI Jakarta Raya, yang mengatakan antara lain sebagai berikut:

a. Beratus juta rupiah kekayaan negara telah dirampok, sesudah kaum Komunis berhasil merebut kekuasaan di Madiun, mereka mendirikan pemerintahan Soviet di sana dan melakukan pembersihan.

b. Waktu itu berlakulah kekejaman yang tidak ada taranya. Ulama-ulama Islam yang tidak terhitung banyaknya, pegawai-pegawai negeri, anggota-anggota tentara dan umat Islam dibunuh dengan cara di luar peri-kemanusiaan.

BKOI juga menuntut supaya tanggal 18 September ditetapkan oleh Pemerintah menjadi hari berkabung.

16. Serangan-serangan yang dilontarkan oleh lawan politik PKI itu dirasakan oleh pihak PKI sebagai fitnahan dan hasutan supaya rakyat membenci PKI, setidak-tidaknya supaya umat Islam terbakar hatinya dan meluap sentimennya. Dalam hubungan ini kami ingatkan pada tuduhan pembunuhan ulama-ulama Islam yang tidak terhitung banyaknya dan umat Islam dengan cara-cara di luar perikemanusiaan oleh kaum Komunis katanya.

17. Karena serangan-serangan ini, maka adalah sewajarnya, bahwa terdakwa dalam fungsinya sebagai Sekretaris Jenderal CC PKI untuk mengadakan pembelaan. Kami katakan, bahwa pembelaan itu dilakukan dalam fungsinya untuk menunjukkan, bahwa terdakwa perlu mengadakan pembelaan, karena kedudukannya itu mewajibkan padanya untuk melawan serangan-serangan terhadap Partainya. Karena itu sifat pembelaannya adalah sangat perlu (noodzakelijk).

18. Mengingat pada pasal dari undang-undang yang menyebutkan “ter noodzakelijke verdediging”, maka dasar peniadaan hukuman (strafuitsluitingsgrond) dari Pasal 310 ayat 3, tidak hanya berlaku dalam hal terdakwa membela dirinya sendiri, tetapi juga bilamana ia mengadakan pembelaan guna orang lain, jadi juga dalam pembelaan untuk Partainya, yang memberi kepercayaan padanya sebagai pimpinan yang terkemuka dan dalam pembelaan untuk kawan-kawan seperjuangannya yang telah wafat yang dicintainya. (Bandingkan keputusan Hof ‘s Hertogenbosch, tanggal 1 Oktober 1953, N. J. 1954, hlm. 1065).

19. Karena serangan-serangan yang dilancarkan oleh pihak lawan politik PKI memberikan gambaran yang keliru dari Peristiwa Madiun, mengingat dipergunakan perkataan yang sangat dilebih-lebihkan, seperti membunuh dengan cara di luar perikemanusiaan, pemberontakan, kekejaman yang tak ada taranya terhadap ulama-ulama Islam, pegawai-pegawai negeri, anggota-anggota tentara dan umat Islam, maka menurut pendapat terdakwa serangan-serangan itu tidak boleh dibiarkan saja, karena merugikan nama baik PKI dan orang Komunis umumnya. Dengan mengeluarkan statement sengketa terdakwa berusaha menjelaskan apa yang sebenarnya telah terjadi menurut pengalamannya dan laporan-laporan saksi-saksi yang bilamana perlu sanggup memberikan keterangan di bawah sumpah.

20. Jika dalam statementnya terdakwa mempergunakan perkataan provokasi yang kejam, maka hal ini bukanlah berlebih-lebihan, tetapi hanya pemberian nama pada rangkaian kejadian-kejadian yang mendahului peristiwa Madiun, sebagai pembunuhan Kolonel Sutarto, penculikan pemimpin-pemimpin FDR, penganiayaan pegawai kota praja Madiun, dan sebagainya. Jika dipergunakan perkataan membunuh dan tangan yang berlumuran darah, maka hal itu ada hubungannya dengan kenyataan, yang Mr. Amir Sjarifuddin dan kawan-kawan yang ada dalam tahanan Pemerintah, dikatakan secara resmi, bahwa mereka itu telah menjalani hukuman militer, sedangkan tak ada pemeriksaan perkaranya dan keputusan yang menjatuhkan hukuman itu. Jika dibandingkan dengan perkataan-perkataan yang telah dipergunakan oleh lawan PKI, maka dapat diambil kesimpulan, bahwa perkataan-perkataan itu tidaklah setajam perkataan yang dipergunakan oleh lawan PKI dalam surat-surat kabar “Abadi” dan “Pedoman” tersebut.

Dalam tulisan pihak lawan PKI dipergunakan perkataan pengkhianatan dan kejahatan besar terhadap negara dan rakyat Indonesia, sebaliknya dalam statement PKI oleh terdakwa hanya dipergunakan “berjasa” menimbulkan perang saudara dan “kepahlawanan” membasmi kaum Komunis dan kaum patriot. Pihak lawan PKI menulis membunuh dengan cara di luar peri-kemanusiaan, sebaliknya terdakwa mempergunakan perkataan provokasi, dan tangan berlumuran darah. Pihak lawan politik PKI menuduh kaum Komunis membunuh ulama-ulama Islam, umat-umat Islam, pegawai-pegawai Negeri dan anggota-anggota tentara, hal mana adalah terang berkelebih-lebihan, sebaliknya terdakwa hanya menuduh lawannya telah membunuh patriot-patriot saja. Tidak dihitung perkataan-perkataan lain yang menghina seperti merampok, pemberontakan, menuruti instruksi imperialis Rusia, dan sebagainya yang dipergunakan oleh lawan politik PKI dalam serangannya.

21. Adalah sangat penting bagi umum untuk diberikan penjelasan tentang duduk letaknya dan asal mulanya Peristiwa Madiun yang sebenarnya. Adalah sangat penting untuk umum menjaga jangan sampai khalayak ramai diberi penerangan yang keliru oleh lawan-lawan PKI, disesatkan (misleid), dihasut, dibakar hatinya dan dipancing untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang melawan hukum terdorong oleh kebencian yang ditimbulkan oleh lawan PKI.

22. Maka dari itu dapatlah kita mengambil kesimpulan, bahwa tepat sekali terdakwa mengelakkan diri dari hukuman dengan alasan yang telah diajukan pada sidang berdasarkan Pasal 310 ayat (3), ialah ia melakukan perbuatan yang diperkarakan itu demi kepentingan umum dan untuk pembelaan yang perlu mengingat pada kedudukannya sebagai Sekretaris Jenderal PKI yang berkewajiban membela PKI.

23. Kembali pada soal penghinaan, yang menjadi salah satu unsur dari Pasal 134, di sini kami hendak mengemukakan apakah sifat penghinaan itu. Penghinaan hanya ada, bila rasa kehormatan seseorang dilukai. Penetapan adanya penghinaan adalah sulit sekali, karena arti kehormatan, yang menjadi obyek dari penghinaan, adalah sangat relatif. Aristoteles mengatakan, bahwa kehormatan lebih banyak terdapat dalam orang yang menghormati daripada dalam orang yang dimuliakan. Dalam hubungan ini dapat dibandingkan pemujaan Drs. Mohammad Hatta oleh Saudara Dali Mutiara. Bahwa kehormatan hanya ada hubungannya dengan nilai kesusilaan (zedelijke waarde) manusia, tidak ada perbedaan paham baik dalam ilmu maupun jurisprudentie. (Lihat Simons – Pompe, dl. II, th. 1941, hlm. 55 dan seterusnya, dan Noyon dl. III, 3e dr. aant. 3 op titel XVI). Berhubung dengan itu, kritik terhadap kecakapan, kebijaksanaan seseorang tidak mungkin menimbulkan penghinaan, karena kritik demikian itu tidak mengenai nilai kesusilaan (zedelijke waarde). Dalam hubungan ini patut diperhatikan keputusan Hoge Raad, yang menyatakan, bahwa seorang Mahaguru tidak mungkin terhina dirinya berhubung dipergunakannya oleh seseorang perkataan-perkataan yang menghina mengenai soal dari pelajaran yang diberikannya, sekalipun hal itu dilakukan berhubung dengan jabatannya (H.R. tanggal 24 Februari 1902, W. 7730).

24. Apa yang termuat dalam statement PKI yang disangkut-pautkan dengan tuduhan menurut Pasal 134, tidak lain hanyalah suatu kritik terhadap kebijaksanaan atau tindakan kabinet Hatta dahulu di Yogyakarta. Kritik itu, walaupun dilakukan dengan perkataan-perkataan yang mungkin menghina, tidak dapat dikatakan mengenai nilai kesusilaan diri pribadi Saudara Hatta, karena kritik itu mengenai kebijaksanaan Pemerintah dahulu di Yogyakarta. Jika nama Saudara Hatta disebut, hal itu tidak lain hanya untuk menunjukkan kabinet yang mana, yang bersangkutan dengan Peristiwa Madiun, karena R.I. dari mulai berdirinya sampai sekarang ini telah mengalami berkali-kali pergantian kabinet atau pemerintah.

25. Adalah tidak masuk akal, jika kritik terhadap kebijaksanaan pemerintah itu dapat menyinggung kehormatan Wakil Presiden, karena toh kedudukan Wakil Presiden menurut hukum tata negara yang berlaku sekarang dalam negara kita tidak membawa pertanggungjawaban pemerintahan. Jadi tidak mungkin Wakil Presiden yang tidak mempunyai tanggung jawab pemerintahan dapat bertindak atau melakukan kebijaksanaan yang salah, yang dapat dikritik. (Bandingkanlah Noyon, het Wetboek v. Strafrecht, dl. I, th. 1954, ps. 111, aant. 3).

26. Mengenai unsur sengaja harus diperhatikan, bahwa hal ini kecuali pada penghinaan juga harus ditujukan pada Wakil Presiden (jika Koningin dapat ditafsirkan menjadi Wakil Presiden). Menurut pendapat kami unsur sengaja dalam hal ini tidak terbukti. Pada waktu membuat statement itu terdakwa tidak mengetahui akan sifat penghinaan tulisannya itu, karena bukanlah maksudnya untuk menghina siapapun, tetapi yang dimaksudkan adalah mengadakan pembelaan berhubung adanya serangan-serangan dari pihak lawan PKI.

27. Juga tidak ada pikiran sama sekali untuk menghina Wakil Presiden. Dalam statement itu tidak disebut sama sekali Wakil Presiden, melainkan pemerintah Hatta-Sukiman-Natsir, yang berarti Kabinet dari RI dahulu, yang dipimpin oleh Drs. Mohammad Hatta sebagai PM, dalam kabinet mana turut serta duduk sebagai Menteri-menteri Dr. Sukiman dan Saudara Mohammad Natsir.

28. Berdasarkan uraian tersebut di atas mengenai tuduhan primair dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

I. Terdakwa tidak melakukan suatu perbuatan yang dapat dikenakan hukuman, karena belum/tidak adanya lagi peraturan yang mengancam hukuman atau tidak ada penghinaan yang telah dilakukan.

II. Kesalahan terdakwa tidak terbukti.

Oleh karena itu kami mohon supaya terdakwa dibebaskan, setidak-tidaknya dinyatakan bebas dari segala tuntutan hukum.

IV. Tuduhan Subsidair

29. Unsur-unsur dalam Pasal 207 dalam hakikatnya sama dengan unsur-unsur dalam Pasal 134; bedanya hanyalah penghinaan menurut Pasal 134 ditujukan pada “Koning” atau “Koningin”, sedangkan menurut Pasal 207 ditujukan pada “gestelde macht” atau “openbaar lichaam”.

30. Mengenai penghinaan tidak perlu kiranya kami mengulangi keterangan kami yang telah diucapkan berhubung dengan tuduhan primair, tetapi cukuplah kami menunjuk pada alinea 13. Juga berhubung dengan tuduhan subsidair ini berlaku mutatis mutandis apa yang telah diuraikan dalam alinea 13, begitu pula terdakwa dalam tuduhan subsidair ini menyatakan haknya untuk menghindari hukuman berdasar pada ketentuan dalam Pasal 310 ayat 3. Selanjutnya keterangan-keterangan yang telah kami ajukan dalam alinea 14 sampai dengan 22 kami mohon supaya dianggap juga diajukan berhubung dengan tuduhan subsidair dan karena itu tidak perlu lagi kami ulangi.

31. Lebih lanjut mengenai penghinaan, apa yang telah kami terangkan dalam alinea 23 sampai dengan 25 mutatis mutandis berlaku pula berhubung tuduhan subsidair.

32. Juga mengenai soal sengaja (opzet) dalam hal ini kami menunjuk pada uraian kami dalam alinea 26 dan 27.

33. Hanya tentang soal perbedaan antara Pasal 134 dan 207 kami hendak mengadakan uraian lebih jauh. Keistimewaan dari Pasal 207 adalah: penghinaan pada lain dari perseorangan (individu). Untuk dapat mengerti hal ini adalah penting sekali untuk mengetahui bagaimana dalam tahun 1887 Komisi yang merencanakan hukum pidana untuk bangsa Eropa di Indonesia mengatur soal kejahatan penghinaan. Komisi tadi dalam KUHP Belanda hanya menjumpai aturan sebagai tercantum dalam titel XVI. Panitia hanya menjumpai smaad, smaadschrift dan eenvoudige belediging, juga yang dilakukan terhadap pegawai negeri, tetapi tidak ada aturan tentang penghinaan badan-badan hukum dan collectiviteiten. Aturan-aturan dari KUHP Belanda itu dikutip secara letterlijk oleh Panitia tersebut. Dalam pada itu Panitia berpendapat, bahwa di Indonesia dengan menyimpang dari hukum yang berlaku di Nederland perlu sekali diadakan aturan-aturan untuk memberantas penghinaan kekuasaan dan badan pemerintahan, bilamana mereka bukan merupakan seorang atau beberapa orang penjabat secara perseorangan (individual) dihina. Jadi karena itu jelaslah, bahwa Pasal 207 hanya dipergunakan, jika penghinaan dilakukan terhadap pada kekuasaan yang bukan perseorangan. Hal ini dalam penjelasan pada pasal tadi diterangkan sebagai berikut: “Mist de belediging geheel dat individueel karakter, treft zij uitsluitend de organen van het openbaar gezag als zodanig, dan is de aangewezen plaats voor strafbaarstelling deze titel en niet T. XVI.” (Lihat van Hatum I.T. dl. 149, hlm. 71 dan seterusnya dan Lemaire het Wetb van Strafr., hlm. 95 dan seterusnya).

34. Adalah mengherankan sekali, bahwa dalam tuduhan subsidair yang didasarkan pada Pasal 207 dicantumkan: “menghina dengan tulisan terhadap Wakil Presiden Republik Indonesia yang dijabat oleh Drs. Moh. Hatta”. Sudah teranglah berhubung dengan uraian dalam alinea 3 tadi, bahwa tuduhan ini tidak tepat, karena justru dengan demikian ditunjukkan, bahwa penghinaan itu bersifat individual, jadi tidak pada tempatnya, bila dipergunakan Pasal 207. Selain dari itu juga tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, ialah statement PKI tidak sekali-kali menyebut Wakil Presiden.

35. Jika dalam statement tadi disebutkan pemerintah Hatta, dapatkah berhubung dengan ini dipergunakan Pasal 207? Menurut pendapat kami juga tidak, karena jika maksud Pasal 207 itu memberantas penghinaan kekuasaan yang diadakan, tentu yang dimaksudkan adalah kekuasaan yang masih tegak, bukanlah kekuasaan yang telah tidak ada. Pemerintah Hatta, ialah kabinet yang dipimpin oleh Drs. Moh. Hatta sebagai PM yang bersangkutan dengan Peristiwa Madiun telah lama tidak ada.

36. Oleh karena hal-hal tadi mengenai tuduhan subsidair kami berkesimpulan sebagai berikut:

I. Terdakwa tidak melakukan suatu perbuatan yang dapat dikenakan hukuman, karena belum/tidak adanya lagi peraturan yang mengancam hukuman atau memang tidak ada penghinaan yang dilakukan.

II. Kesalahan terdakwa tidak terbukti.

Berdasarkan hal-hal tadi kami mohon supaya terdakwa dibebaskan, setidak-tidaknya dinyatakan bebas dari segala tuntutan hukum.

Lampiran III. PROSES YANG LEBIH MENGERATKAN HUBUNGAN PKI DENGAN MASSA

(Pidato D.N. Aidit di muka rakyat di halaman Gedung Pengadilan Negeri Jakarta pada tanggal 24 Februari 1955)

Kawan-kawan dan Saudara-saudara.

Hari ini sungguh hari yang bersejarah bagi PKI dan bagi pergerakan revolusioner negeri kita. Pada hari ini kita mendapat pelajaran penting, bagaimana seharusnya kita bersikap terhadap pengadilan sebagaimana yang kita hadapi sekarang.

Kita adalah murid-murid Dimitrov dalam berhadapan dengan pengadilan seperti yang sekarang kita hadapi. Kawan Dimitrov mengajar kita supaya kita di hadapan pengadilan dengan teguh berdiri membela kehormatan Komunis kita, membela kehormatan Partai kita, dan membela kehormatan rakyat banyak. Kawan Dimitrov mengajar kita, walaupun apa yang akan terjadi, kita harus pegang teguh kebenaran-kebenaran dan tampil ke depan mengemukakan kenyataan-kenyataan yang sesungguhnya terjadi (publik: kebenaran pasti menang!)

Ketika saya mengucapkan pembelaan saya selama kira-kira satu setengah jam tadi sangat saya rasakan betapa eratnya hubungan PKI dengan massa rakyat sekarang ini. Seluruh pembelaan tadi, tiap-tiap perkataan dan kalimat yang kita gunakan, adalah bukti yang hidup, bahwa Partai Komunis Indonesia, dalam keadaan yang bagaimana pun sulitnya, senantiasa berada di pihak rakyat. Demikian PKI dulu, dan demikian PKI sekarang. Demikian eratnya hubungan PKI dengan massa rakyat, sehingga proses terhadap saya sekarang tidak bisa diartikan lain kecuali proses terhadap rakyat Indonesia yang sekarang masih hidup tertindas (publik: hidup PKI!). Proses terhadap saya sekarang tidak bisa diartikan lain kecuali lebih mengeratkan hubungan PKI dengan massa.

Kawan-kawan dan Saudara-saudara. Waktu-waktu belakangan ini keeratan hubungan PKI dengan massa saya rasakan dalam berbagai bentuk. Saya tidak hanya menerima beribu-ribu salinan surat dan telegram kepada Pengadilan Negeri Jakarta yang berisi tuntutan supaya saya dibebaskan, tetapi saya juga banyak menerima surat-surat dari kaum tani dan kaum buruh, tempo-tempo dengan tulisan yang tidak begitu terang. Tulisannya tidak begitu terang, tetapi maksudnya sangat terang. Mereka menyatakan, bahwa walaupun mereka tidak bisa menyumbang materiil untuk kebebasan saya, tetapi mereka mendoa dan sembahyang menurut caranya masing-masing supaya saya dibebaskan (publik tertawa lebar). Saya tidak tahu apakah usaha mereka dengan cara begini akan berhasil, tetapi saya mengharap jerih-payah mereka tidak akan sia-sia (publik tertawa lebih lebar lagi). Saya mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada mereka.

Kawan-kawan dan Saudara-saudara tentunya menghendaki supaya saya dibebaskan (publik: betul Bung Aidit harus bebas!). Betul Kawan-kawan, saya harus bebas, karena tidak ada alasan untuk tidak membebaskan saya. Kebebasan saya adalah juga diinginkan oleh Saudara Mr. Suprapto, pembela yuridis dalam perkara saya (publik: juga keinginan kami).

Tetapi, Kawan-kawan dan Saudara-saudara, keinginan bebas tidak boleh diikuti oleh rasa takut membela kebenaran. Kita berjuang untuk cita-cita yang tinggi dan suci, untuk ini kita sudah bersedia menanggung semua risikonya. Kita berjuang untuk kemerdekaan tanah air dan rakyat negeri kita. Kita tahu, bahwa untuk sampai ke tujuan ini kita harus melalui perjalanan yang jauh, dan tempo-tempo harus melalui jalan dari bui yang satu pindah ke bui yang lain. Dan sebagaimana Kawan-kawan ketahui, saya bukan baru satu kali masuk bui karena ingin merdeka (tawa dan di antaranya menyerukan “Hidup Aidit!”).

Jadi, kita akan terus berjuang dengan sekuat tenaga untuk bebas, dan kita akan menolak hukuman yang tidak adil yang dijatuhkan pada kita. Sebagaimana Kawan-kawan ketahui, saya tadi dapat “tawaran” Jaksa Dali Mutiara tiga bulan penjara dan harus bayar semua ongkos perkara. Sudah tentu kita tidak mungkin terima tawaran ini (tawa dan seorang nyeletuk: tawaran salah adres).

Sambil menunggu tanggal 31 Maret yang akan datang, dimana putusan pengadilan akan dinyatakan oleh hakim, saya harap Saudara-saudara dan Kawan-kawan terus bekerja dengan rajin untuk memperkuat persatuan rakyat dan untuk memenangkan rakyat dalam pemilihan umum yang akan datang. Hanya kalau rakyat menang dalam pemilihan umum yang akan datang, undang-undang kolonial yang sering menjerat kita akan dapat kita lenyapkan (tepuk tangan).

(Dengan tepuk tangan yang gemuruh dan seruan “bebas” beberapa kali, Aidit mengakhiri pidato singkatnya. Kemudian di antara hadirin banyak yang bersalaman dengan Aidit, beberapa orang mengucapkan terima kasih atas keterangannya yang jelas mengenai duduk perkara yang sebenarnya dari Peristiwa Madiun, sedangkan beberapa orang lagi merangkul Aidit dengan air mata bercucuran).

-------------------------------------

 

LAMPIRAN IV. Verslag proses verbal pembunuhan Sidik Aslan dan kawan-kawan serta Letnan Kolonel Dachlan dan Mayor Mustoffa dan kawan-kawan dari TNI Batalyon 38/Divisi I

Tentara Nasional Indonesia Divisi I

Batalyon 38.

No       : C. S. 1948

Hal      : verslag proses verbal

Sifat    : rahasia

Sekedar laporan/riwayat

I. Pada tanggal 5 Mei 1948 kami selaku Komandan CPM (Corp Polisi Militer) Pusat Yogyakarta, gedetacheerd Jawa Timur termasuk dalam formasi Regiment TJOKROBIROWO Divisi I, pimpinan langsung di bawah P.T. Mayor Sabarudin.

II. Pada bulan Agustus 1948, kami menjabat sebagai Komandan I. S. Divisi I. NAROTOMO, langsung di bawah pimpinan Plm. Div. I. (G.M.D.T.) dengan mandat No. 176/Plm. Sec. 48 dan merangkap sebagai kepolisian di Detachement CPM 206 mandat No. 70/Pol. 49 dan cdt. C.I.S. dari Batalyon 38 (Sabarudin).

III. Madiun Affair tanggal 19 September 1948, maka kami mendapat tugas sebagai kepolisian disahkan/diketahui oleh Cdt. CPM det. 602/Let. Kol. Surachmad, sehingga pencabutan kembali mandat tersebut dalam bulan November tahun 1948.

Kediri/Madiun Affair:

Pada tanggal 19 September 1948 kami menerima tugas kewajiban dari P. T. Cdt. bat. 38 ialah sebagai C.I.S., dan kepolisian: agar seluruh anggota F.D.R. dan Pesindo Brigade 29, menerima tugas langsung dari Det. CPM. 602/Let. Kol. Surachmad.

a. Menangkap seluruh anggota F.D.R./Pesindo brig. 29 dan wanita Kowani.

b. Seluruh anggota P.K.I. dan Kaum Buruh Gula

Ketegasan:

I. Mengingat kami selaku perintah yang patuh dari pimpinan maka kami mau tidak mau harus menjalankan sebagai semestinya, sehingga mulai perintah tersebut melakukan penangkapan orang-orang tersebut di atas dengan beleid kami sendiri ialah sebagai pelindung.

II. Jumlah penangkapan lebih kurang ada dua puluh orang yang terdiri dari kaum buruh gula Pesantren yaitu: Saudara Sukarno, Saudara Subandijono, Saudara Suminar, dan Letnan II Sunarjo dari pabrik Pesantren.

III. Dalam tempo dua puluh empat jam (sehari semalam) semua anggota tersebut yang kami tahankan di Dandangan kami lepaskan kembali secara teratur serta mendapat pengesahan bebas.

IV. Sedangkan di salah seorang di antaranya ialah Saudara Sukarno kami beri surat mandat/kuasa untuk kembali ke pabrik gula menjabat sebagai kepala dari buruh sebagai sediakala.

Keadaan dalam tahanan CPM Det. 602

Mayor Sujatmo:

Pada tanggal 29 bulan 9-1948, Kapten Sugito dan Let. I Sampurno mengirim surat kepada kami, agar kawan-kawan dari Pesindo/B. 29 (F.D.R. P.K.I.) lebih kurang tujuh orang supaya diambil oleh kepolisian Bat. 38 supaya:

a. Segera mengadakan pembunuhan terhadap dirinya almarhum Sidik Aslan cs.

b. Bertanggung jawab penuh kepada CPM (Kapten Sugito dan Letnan I Sampurno dan disahkan oleh Let.Kol. Surachmad dalam melakukan pembunuhan tersebut).

Kesimpulan:

I. Sebenarnya P.T. Bat. Cdt. 38 dalam perintahnya kepada kami supaya meminta anggota-anggota dari Pesindo/F.D.R. dan B. 29.

II. Guna mempersenjatai lebih lanjut (sesuai dengan pengumuman yang disiarkan oleh Panglima Div. I Kolonel Sungkono) dalam surat kabar “dasar-dasar memperbaiki kembali”.

Ketegasan:

Ketegasan P.T. Kom. Bat. 38, sebagaimana tindakan dan suruhan dari CPM sama sekali tidak mau menjalankan serta menolak akan melakukan pembunuhan tersebut.

Tindakan CPM Det. 602:

I. Lebih kurang pada tanggal 11-10-1948 almarhum Sidik Aslan cs diangkut ke Besuki (Kediri) oleh CPM dengan truk.

II. Mendengar berhubung almarhum Sidik Aslan dibawa ke Besuki, maka Cdt. Bat. 38 ikut mempersaksikan “bagaimana kekejaman CPM terhadap saudara-saudara tersebut”.

III. Pengikut-pengikut dari Cdt. Bat. 38 adalah beberapa orang anggota dari B. 29 sebagai chauffeur, Saudara Djamal dan Saudara Dul.

Pembunuhan:

a. Pembunuhan dilakukan oleh seorang Sersan CPM (yang lupa namanya) dengan secara baris zonder berbaju.

b. Kuburan almarhum Sidik Aslan adalah di Besuki.

c. Segala proses verbaal pembunuhan tersebut adalah di tangan Inspektur Pol. kl. 2 Saudara Saimin dan Let. I. Sampurno.

d. Pembunuhan-pembunuhan tersebut sebagai saksi yang nyata ialah anggota bawahan almarhum Sidik Aslan sendiri yang ikut mempersaksikannya (Saudara Jamal dan Dul) dari B. 29.

e. Selain dari pembunuhan tersebut menurut keterangan Inspektur Polisi kl. 2 Saudara Saimin, juga pembunuhan terhadap dirinya P.T. Kol. Munadji dan beberapa orang lainnya (yang tidak diterangkan kepada kami lebih lanjut).

Sekitar penahanan Pt. Let. Kol. Cdt. Ba. 29 Dahlan dan Mayor Mustoffa:

1. Oleh Pt. Mayor Sabarudin: mengingat kekejaman-kekejaman CPM maka Let. Kol. Dachlan dan Mayor Mustoffa ditetapkan di rumah Let. Kol. Surachmad untuk sementara waktu.

2. Berhubung dari pihak CPM sangat menaruh sentiment kepada B. 29 (Dachlan cs) maka diserobot di rumah Let. Kol. Surachmad serta dianiaya melewati dari batas kemanusiaan, sehingga kepala mereka berdua pecah dan keluar otaknya, dengan tidak sadar akan dirinya lagi. Setelah penganiayaan tersebut dilakukan maka ditempatkan di rumah sakit Semampir Kediri.

3. Beberapa waktu kemudian setelah Dachlan-Mustoffa dibawa ke rumah sakit maka pada malamnya sekira jam tujuh malam Pt. Let. Kol. Dachlan dan Mayor Mustoffa kita bawa ke Ngantang di tempat yang dingin. Beberapa hari kemudian Saudara tersebut dirawat di rumah Pt. Mayor Z. Sabaruddin Kediri, Jalan Weringin 11 sehingga sehat kembali.

4. Setelah sehat maka Mayor Mustoffa mendapat mandat disahkan oleh Komandan Bat. 38 serta berjanji akan mengumpul seluruh anggota Bat. 38 (Z. Sabaruddin).

5. Organisatoris – Administratif Teknis yang bertanggung jawab Pt. Bat. Comd. Sabaruddin.

Anggota Kowani:

1. Seluruh anggota Kowani ditahan di Balai Prajurit, lebih kurang sebanyak 60 orang. Di dalam anggota Kowani termasuk beberapa orang dari CC PKI Madiun yang kini berada Bat. 38 (sebagai saksi).

2. Berhubung dalam tawanan anggota Kowani selalu terganggu oleh CPM pada waktu siang/malam, pula kesehatannya kurang sehat, maka semua anggota Kowani kami lepaskan kembali dengan tidak disetujui oleh CPM.

3. Sedang di antaranya seorang Kowani (Sulastri) bagian masyarakat mendapat mandat sebagai anggota pembantu Bat. 38.

Pengesahan/pengangkatan Bat. 38 (Sabaruddin) pada tanggal 10 November 1948 oleh Panglima Divisi I di Pesantren:

1. Pada tanggal 10 November 1948 jam 10.00 pagi Bat. 38 Divisi I disahkan oleh Panglima Divisi I/Sup. Mil. Jawa Timur serta menyampaikan amanat-amanat kepada seluruh anggota Batalyon, serta ikut pula Let. Kol. Surachmad.

2. Dalam amanat Panglima Divisi I tersebut adalah sebagai berikut:

a. Bat. 38 Divisi I Pimpinan Mayor Sabaruddin kami sahkan, (sesuai dengan perintah Panglima Tertinggi Presiden Republik Indonesia) mulai hari ini tanggal 10 November 1948, serta segala kesalahan-kesalahan dihapuskan. Bat. Sabaruddin adalah sebagai pelopor dari seluruh Bat. di Jawa Timur.

b. Berjuang terus serta mengembalikan jiwa 17 Agustus 1945 serta memelihara semangat 10 November 1945 dan seterusnya.

c. Menjaga/membersihkan segala sifat oportunis atau yang berkepala dua dalam kesatuan 38.

d. Kami selaku Panglima Divisi I/G.M.D.T. mengesahkan Bat. 38 sebagai pelopor seluruh Jawa Timur serta terus berjuang (sesuai dengan jiwa Agustus 1945).

Sentiment dari beberapa kesatuan CPM/Brg. Surachmad:

Setelah selesai beberapa minggu, pengesahan Bat. 38 maka timbul kecurigaan-kecurigaan dari CPM dan Brg. “S” terhadap Bat. 38 (Sabaruddin) termasuk juga dalam F.D.R. berhubung:

a. Melindungi/melepaskan anggota-anggota FDR/PKI, Pesindo dan B. 29.

b. Memperhebat/memperkuat mempersenjatai anggota-anggota B. 29 dan FDR.

c. Tidak mau melakukan pembunuhan terhadap dirinya Almarhum Sidik Aslan cs.

Ayat di atas ini diperkuat pula oleh Let. Kol. Surachmad sehingga makin lama makin jauh di antara Let. Kol. Surachmad dan Bat. 38 sehingga jatuhnya Kediri dalam tempo sesingkat-singkatnya. Kediri jatuh terlebih lagi tuduhan-tuduhan terhadap Bat. 38 bertambah hebat dan sebagainya; sehingga Blimbing Affair selesai.

Demikian laporan/verslag ini dengan sebenarnya.

Demi rakyat, demi Negara Republik Indonesia, kami bersumpah dan membubuh tanda tangan dengan saksi-saksi secukupnya.

NB.     Berhubung dengan Blimbing Affair, maka segala proses verbaal kurang lengkap melainkan menurut peringatan kami dan kami perbuat hari ini tanggal 1 November 1949.

 

Tentara Nasional Indonesia

Batalyon 38/Div. I

Commandant Contra Spionase

_______________

ttd.

H. Maladi alias Idrus.

 

Mayor Z. Sabaruddin.

Pro. Jth. Btl. Kdt.

1. Untuk diketahui oleh segenap keluarga FDR/Pesindo enz.

2. Arsip sebagai dokumen.

Keterangan tambahan:

1. Untuk lebih jelas kami persilakan kepada P. T. Mayor Z. Sabaruddin selaku Komandan Batalyon 38. Saksi-saksi:

a. Saksi-saksi dari anggota B. 29 Saudara Djamal dan Saudara Dul

b. Inspektur Polisi kl. II. Saudara Saimin.

c. Anggota CC PKI.

d. Segenap anggota Kepolisian Staf C.I.S. Bat. 38.

e. Komandan Brg. Bat. 29 Pt. Let. Kol. Dachlan dan Mayor Mustoffa bagian masyarakat.

f. Wanita Kowani/Saudara Sulastri, Kemasan Gg. II/65 Kediri.

g. Kepala Buruh Gula Sukarno dan Saudara Subandijono Pesantren.

h. Anggota pengawal mobil, Mochamad.

Selesai.

Dengan sebenarnya dengan tiada mengurangi/melebihi menurut sumpah pada waktu menerima jabatan.

Noot: Keterangan lain-lain dari yang bersangkutan.

 

_________

 

R I S

Diturun tanggal 3 Januari 1950.

Diturun untuk kedua kalinya tanggal 19 Maret 1955.

--------------------------------------------------------

 

LAMPIRAN V. Pengakuan Mayor Zainul Sabaruddin, Komandan Batalyon 38 TNI mengenai pembunuhan terhadap Sidik Aslan dan kawan-kawan

Tentara Nasional Indonesia Divisi I

Batalyon “38” (SABARUDDIN)

Tanggal 3 Januari 1950

 

P E N G A K U A N

No. 325/Cdt/49/I.

 

Kami Komandan Batalyon 38 dari Tentara Nasional Indonesia Divisi I, Mayor ZAINUL SABARUDDIN:

dengan mengingat akan sumpah selaku:

a. Angkatan Perang Republik Indonesia;

b. Anggota Central Commando Geurilla Pembela Proklamasi;

Pemuda Republik Indonesia;

“DEMI ALLAH, KEPENTINGAN NEGARA, PERJUANGAN, DAN PERSATUAN”

Bahwasanya pembunuhan (Snelrecht) yang dijatuhi terhadap saudara-saudara:

1. Almarhum SIDIK ASLAN;

2. Almarhum MURSID;

3. Almarhum ANWARI;

4. Almarhum MUNADJI;

5. Almarhum ACHLIJAN;

6. Almarhum ISMANGIL.

Nomor 1, 2, 3, 4, 5, dan 6, telah menjalani hukuman tembak (executie) pada tanggal 11 November 1948 di desa Besuki (Modjo) pada jam 15.00 yang dilakukan/dikerjakan oleh;

a. Letnan I. SUDARMO.

b. Letnan I. HARIBOWO.

kedua-duanya dari Corps Polisi Militer Jawa di Kediri yang dipimpin oleh (atas perintah) Mayor SUJATMO, Komandan C.P.M. dan dikuati oleh Komandan Komando Militer Karesidenan Kediri, Letnan Kolonel Raden SURACHMAD.

Pengakuan ini kami lakukan di hadapan yang bersangkutan untuk ditujukan kepada:

a. Siaran kabar bohong yang dikeluarkan di sekitar Wonosalam oleh Saudara Gatot Sugyanto;

b. Memelihara persatuan yang konsekuen mencapai Kemerdekaan sesuainya Proklamasi 17 Agustus 1945;

c. Mencegah perpecahan di antara sesame Patriotten yang tetap meneruskan perjuangan, khusus dari Organisasi PESINDO.

Dengan keterangan bahwa saksi yang pertama mengetahui dan melihat pembunuhan ini adalah Saudara Djamal, bekas chauffeur Cdt. Brigade 29 Let. Kol. DACHLAN, sewaktu itu menjabat chauffeur kami.

Pengakuan ini dibuat dengan sebenarnya dengan tak melebihi atau mengurangi serta mengingat akan hak-hak yang ada pada kami selaku Komandan Batalyon umumnya, warga negara khususnya.

Selesai.

Dikeluar: Mosbat.

Pada tanggal: 4 November 1949

Jam: 10.00

Komandan

(MAYOR ZAINUL SABARUDDIN)

---------------------------------------------------

 

LAMPIRAN VI. Penjelasan mengenai pengakuan Mayor Zainul Sabaruddin

 

TENTARA NASIONAL INDONESIA DIVISI I

BATALYON 38 (SABARUDDIN)

Surat Pengakuan

No. 326/Cdt/49/I.

 

Kami, Komandan Batalyon 38 Tentara Nasional Indonesia Divisi I, Mayor Zainul Sabaruddin dengan mengingat akan sumpah selaku Angkatan Perang Republik Indonesia, pada tanggal 4 November 1949 di hadapan yang bersangkutan memberikan/mengeluarkan sesuatu PENGAKUAN, “DEMI ALLAH, KEPENTINGAN NEGARA, PERJUANGAN, DAN PERSATUAN” atas PEMBUNUHAN (Snelrecht) dalam pembersihan Madiun Affaire terhadap pemuka-pemuka dari Front Demokrasi Rakyat dan Commandanten dari Brigade 29 dengan tujuan dan pengertian khusus untuk:

a. Memelihara dan menjaga persatuan antara sesama Patriot Bangsa dari segala aliran dan partai, untuk menciptakan sesuatu bolwerk kekuatan yang rieel dan compact menuju ke arah Proklamasi 17 Agustus 1945.

b. Menyapu bersih infiltrators dari pihak reaksioneren yang menghendaki perpecahan di antara sesama patriot untuk kepentingan Belanda serta kaki tangannya yang telah bertahta di kalangan kita: sebagai tertera di bawah ini:

SIAPA PEMBUNUH ALM. SIDIK ASLAN, MURSID, MUNADJI, ACHJAN, DAN LAIN-LAIN?

Pada tanggal 11 November 1948 pada jam 15.00 hari itu, saya yang diikuti oleh chauffeur saya, bernama Djamal ialah bekas chauffeur dari Let. Kol. Dachlan, berada di Besuki, oleh karena mengetahui akan adanya eksekusi yang dijalankan oleh C.P.M. Kediri. Tertarik hati saya, oleh karena yakin, bahwa pembunuhan yang dilakukan itu tidak diadakan pengusutan yang teliti oleh pihak C.P.M. sesuainya Negara Hukum, apalagi jika melihat sampai di mana pengertian Recht (hukum) sesuai Negara Demokrasi yang dimengerti oleh C.P.M. itu.

Pada hari itulah tampak oleh saya 7 Pahlawan Revolusi pertama dari Surabaya, ialah almarhum Sidik Aslan, Mursid, Achjan, Anwari, Ismangil, dan dua pemuda yang tak saya kenal, diberdirikan masing-masing di hadapan satu lubang yang akan menjadi penutupan riwayat pahlawan-pahlawan itu.

Pakaian-pakaian dari mereka itu diperintahkan membuka, sehingga mereka hanya bercelana pendek dan kutang saja. Almarhum Mursid yang pada waktu dalam keadaan berpuasa dengan sebuah botol berisi air di tangannya diperintahkan berdiri di muka lubang yang ditetapkan menjadi tempatnya.

Pembunuhan ini dilakukan oleh C.P.M. di bawah pimpinan Letnan I Sudarmo (sekarang Komandan Sektor Tiron, Barat sungai Brantas Kediri) dan Letnan I Haribowo, Cdt. mobil trup C.P.M. beserta anak buahnya satu regu lengkap. Pembunuhan ini dilakukan eigenhandig oleh kedua opsir tersebut di atas. Kenyataan inilah membawa saya ke arah protes terhadap Cdt. CMKKK Let. Kol. Surachmad dan Mayor Sujatmo Cdt. C.P.M. Jawa Timur, bahwa tindakan semacam itu adalah tindakan melewati hak-hak selaku alat Negara dan Pemerintahan yang lahir dari revolusi ini.

Tuntutan saya, saya ajukan kepada Panglima Divisi dengan menuntut pembebasan semua anggota Pesindo dan Brigade 29 yang ditawan di Kediri dan menyerahkan mereka ini pada Batalyon “S” untuk dijadikan anggota dan kedua, betrokken Officieren yang ternyata tersangkut-paut dengan Peristiwa Madiun itulah yang seharusnya dituntut dan dihukum. Yang berhak mengadili mereka yang tersangkut-paut itu ialah, sesuatu komisi yang ditetapkan oleh Panglima Divisi serta segala hukuman mati harus terlebih dahulu disetujui dan diperintahkan oleh Panglima Divisi I selaku Gubernur Militer Jawa Timur. Perlu agaknya saya kemukakan di sini beberapa keterangan yang dapat dimengerti sesama Patriot Bangsa dalam mengadakan kanalisasi lawan dan kawan, Reaksioneren dan Patriotten.

Betul bahwa Madiun-Affaire itu menyeret Batalyon “S” dalam melakukan perang sesama saudara, akan tetapi sesuatu bukti menjadi kenyataan dan sejarahlah kelak dapat mengetahui nanti, bahwa dalam gerakan ini tidak ada SATU orang dari Batalyon “S” yang gugur. Malahan senjata-senjata yang saya dapati di Dungus itu, tertera tulisan-tulisan “Untuk kawan-kawan senasib dari Surabaya”. Pula kembalinya Batalyon 38 dari Madiun itu adalah pada bulan September 1948 sebelum Madiun seluruhnya selesai, oleh karena tujuan saya ke Madiun itu hanya SENJATA. Betul di antara kawan-kawan Patriot Pesindo dan ini hingga kini saya rasai, bahwa mungkin pada diri saya masih tersimpan benih SENTIMEN ATAU DENDAM, akan tetapi saya selaku Pemuda yang mengerti sedalam-dalamnya arti daripada revolusi tetap mempunyai pendirian, bahwa soal tahun 1945 dan tahun 1946 yang menimpa organisasi PTKR tidak menjadi ukuran bagi saya, oleh karena saya yakin dalam alam dan masa pancaroba di waktu itu, tiap-tiap Pemuda itu terdorong oleh perasaan HEROISME yang murni, yang pula berdasarkan ini, dapat dibelokkan ke arah yang salah oleh Pemuda-pemuda politik yang kenamaan yang dalam hakikatnya hanya seorang avonturier dan reaksioner belaka.

Saya kembali ke tuntutan tersebut di atas: Tuntutan ini mendapat tamparan hebat dari Let. Kol. Surachmad dengan mengeluarkan penyelidikan terhadap organisasi Bat. saya dengan motto: Hubungan apa Sabarudin dengan F.D.R.?

Almarhum Achjan. Kawan seperjuangan saya dari Sidoardjo.

Saya kenal ia selaku pegawai S.S., sebagai kawan main bola, dan terutama saya mengetahui dasar dan tujuan perjuangannya. Jika saya ingat sesuatu siasat yang saya rencanakan bersama-sama dengan Let. Kol. Dachlan dan Achjan yang disaksikan dengan Saudara Suroto selaku orang bekas kepala staf Brig. 29 pada bulan Juni dan Juli 1948 untuk menghancurkan STC Kediri yang dipimpin oleh Mayor SUHUD. Suatu bukti kelak dalam sejarah nanti akan membukanya, bahwa sewaktu saya menggoyangkan kota Kediri dengan penyerbuan terhadap CPM dan STC Kediri itu, Brig. 29 memberikan bantuan sepenuhnya pada Bat. 38 berupa moril dan materiil. Ini suatu kenyataan.

Mayor Achjan, pada waktu dirawat di Rumah Sakit Kediri oleh karena siksaan yang dilakukan oleh CPM, telah saya datangi dan saya pesan padanya, sabarlah, satu kesempatan akan saya ambil untuk mengeluarkannya. Hari itu juga ia diambil oleh Mayor Banuredjo Kom. C.M.K.K.K. dan dipindahkan ke markas C.M.K.K.K. Istri almarhum Achjan mendatangi saya untuk meminta pertolongan. Setelah ini saya uruskan dengan Mayor Banu, maka pada malam hari itu juga Saudara Alm. Achjan dipindahkan ke tempatnya yang tak saya ketahui.

Berkenaan dengan Let. Kol. Dachlan dan Mayor Mustoffa (Ex. Syodantyo).

Sepulang saya dari Madiun, maka terdapat oleh saya bahwa Saudara ini telah berada di rumah sakit, oleh karena pukulan yang diberikan oleh CPM di bawah perintah Sudarmo dengan karabijn, sehingga menyebabkan dua saudara ini mendapatkan lichte hersen-schudding dan otaknya keluar. Seketika itu juga dua saudara itu saya angkut keluar dari rumah sakit dan merawat ia sendiri di rumah saya di Ringinsirah 11, Kediri. Kebebasan untuk menemui keluarganya saya berikan malah rumah saya itu dapat diibaratkan rumah mereka sendiri. Yang berkepentingan dapatlah memajukan pertanyaan-pertanyaan terhadap istri-istri mereka sampai di mana kebenaran keterangan saya ini. Sesuatu niatan yang timbul dari pihak saya ialah: untuk memerdekakan dan memperjuangkan mereka kembali di kalangan-kalangan Batalyon 38. Perlu saya terangkan di sini mengenai kedudukan Let. Kol. Dachlan.

Sewaktu saya dipanggil pemerintah Republik Indonesia di Yogya dan juga oleh Panglima Jawa Kol. Nasution, maka saya didesak oleh pemerintah untuk menyerahkan Dachlan oleh karena ini yang melakukan pengkhianatan sesuainya dekrit Presiden untuk memulai dengan pembersihan di Madiun. Oleh karena saya yakin, bahwa Yogya adalah pusat pemimpin-pemimpin yang birokratis dan haluannya agak ke barat, maka saya memajukan suatu sangsi sanggup menyerahkan Dachlan jika PEMERINTAH MENYERAHKAN AMIR SJARIFUDDIN PADA KAMI ANAK-ANAK JAWA TIMUR. Berdasarkan pemerintah tidak dapat memenuhi sangsi saya itu, maka Dachlan tetaplah berada pada saya.

Pada tanggal 17 Desember 1948 jam 20.00 datanglah perintah dari Gubernur Militer tertanda Let. Kol. Sungkono, untuk menyerahkan Let. Kol. Dachlan pada staf Gubernur Militer dengan ancaman: jika tidak mentaati perintah ini akan diambil tindakan pada diri saya. Saudara Dachlan saya beritahukan dan dia pun mengatakan: Saudara Sabarudin, serahkanlah saya pada Sungkono, agar segala sesuatu dapat saya jelaskan duduk perkara dengan secara jujur dan jantan.

Maka pada malam itu, berpisahlah kita dan saya yakin ke mana Dachlan akan dipergikan.

Saudara Mustoffa, sewaktu tanggal 19 Desember 1948 mulai dengan peperangan, maka kesempatan ini yang tepat sekali bagi saya melepaskan ia dan memberikan mandat pada Mustoffa selaku anggota staf opcratief dengan pangkat Kapiten dari Batalyon 38 dengan tugas tertentu ialah: Bertanggung jawab atas mengkonsolideer semua anggota-anggota Brig. 29 dan mewujudkan satu kekuatan yang riil. Memelihara tetapnya aktivitas gerilya di dalam dan di luar kota Kediri. Senjata-senjata dapat diperoleh dengan jalan melucuti semua bersenjata yang ternyata melarikan atau menjauhkan diri dari pertempuran. Mandat ini sengaja saya berikan untuk dapat dimengerti oleh kawan sesama patriot bahwa bayangan peristiwa PTKR tidak ada lagi pada saya dan mencegah kembali tangkapan dan perlucutan-perlucutan yang pada waktu sudah hendak dilakukan kembali oleh Batalyon Haji Machfud CPM MOB. BRG. Polisi, dan CMKKK di atas perintah Komd. Surachmad. Dengan tugas inilah Saudara Mustoffa dapat tetap in peil houden gerakan-gerakan kita sehingga dapat menguasai posisi yang kuat di sekitar Kediri. Mustoffa memimpin staf operasi Bat. 38 Sektor Kediri, hingga tanggal 19-2-1949 sesuainya peristiwa Belimbing yang terkenal dan yang menimpai kedudukan dan organisasi Bat. 38 dan hancurnya pertahanan kota Kediri, dan memasuki Bat. Munasir di Jombang hingga kini.

Pada Saudara Mustoffa lebihlah jelas lagi yang bersangkutan dapat keterangan untuk memeriksa sampai di mana kebenaran keterangan dan pengakuan saya ini.

Selanjutnya mengenai lain-lain kawan yang masih ditahan oleh CPM di bui Kediri pada bulan Desember 1948, maka saya dapat memberi keterangan yang saya peroleh dari Let. I Sudarmo sendiri di Belimbing pada tanggal 9-2-1949 sebagai berikut:

Pada waktu Belanda memulai doorstootnya pada tanggal 19 Desember 1948, maka CPM melepaskan beberapa orang dari Kediri yang mereka anggap tak bersalah atau barangkali memang tiada waktu untuk memeriksa atau pula karena panik.

Sisa daripada mereka yang tetap ditawan, adalah sejumlah 130. Pengakuan yang saya dapati dari Let. I. Sudarmo tersebut, ialah di antara orang 130 itu terdapat Kolonel Munadji, Komd. Alri Kesatuan 8. Selanjutnya ia menerangkan, bahwa tanggal 20-21 Desember 1948 maka sejumlah 130 orang ini dibasmi dengan eksekusi, juga di daerah Besuki (Modjo) yang turut mengerjakan pembunuhan secara besar-besaran ini terdapat seorang Jepang, anggota CPM bernama: Moh. Djaman.

Saya pikir, dengan pengakuan ini dapatlah kepada kawan-kawan setujuan dijernihkan atau disapu segala infiltrator dari pihak yang memang menghendaki perpecahan, agar tetap terpeliharanya perjuangan kita seterusnya. Keterangan ini atau pengakuan ini saya berikan dengan tidak melebihi atau mengurangi, dengan mengingat sumpah-sumpah selaku pemuda yang bertanggung jawab atas Republik Indonesia dalam perjuangan revolusi kita pada umumnya.

Tetapi sebaliknya ini saya agak merasa menyesal dan kecewa atas pelaporan-pelaporan yang disiarkan secara langsung atau pun tidak langsung pada kawan-kawan seperjuangan dari Pesindo di daerah Wonosalam dan sekitarnya, siaran provokasi mana konon kabarnya disiarkan oleh Saudara Gatot Subjanto, salah satu anggota staf I dari Pesindo yang berani mengakui bahwa pembunuhan Alm. Sidik Aslan cs saya yang melakukan dengan meminumi darah para korban itu.

Kepada organisasi Pesindo dan terutama kepada keluarga mereka yang menjadi korban itu, saya serukan: bahwa siaran ini adalah sesuatu siaran yang sangat berani disiarkan, sehingga melewati batas-batasnya dan bahwa siaran ini mau tidak mau hendaknya dipertanggungjawabkan pula. Sesuatu sangsi yang hendak saya kemukakan, apakah siaran ini tidak dikeluarkan oleh seorang infiltrator dari pihak lawan yang menyelundup di organisasi Pesindo? Karena selama perang ini sebetulnya telah terbentuk dua blok yang kuat dalam pendirian dan perjuangannya. Pihak reaksioner dan pihak konsekuen Radikalen. Masing-masing blok ini mempunyai kekuatan yang agak seimbang. Untuk memecahkan atau menghancurkan blok Radikal, agar tercapai cita-cita negara yang menyimpang dari proklamasi, maka jalan lain tidak ada lagi daripada jalan pemecah-belahan blok itu dengan jalan memasuki infiltrator-infiltratornya. Sebab empat tahun sudah cukup bagi tiap-tiap pemuda yang mengetahui dan mengecapkan perjuangan kita selama itu, bahwa perjuangan atau revolusi kita ini telah dibawa ke arah vaarwater imperialis kapitalis barat dan bangsa sendiri yang bertahta di pemerintah Republik dan berkedok Nasionalis asli. Ingat dan waspadalah Saudara-saudara. Saya selaku anggota Central Komando Gerilya Pembela Proklamasi (GPP) cukup mengetahui sudah pahit-getir perjuangan kita bersama. Dan pengorbanan yang sia-sia itu cukup sudah memperlemah kita secara langsung maupun tidak langsung. Hendaknya pula diingat, bahwa konsekuensi saya dalam memperjuangkan cita-cita bersama, saya tidak terikat pada tucht dari tentara yang ditetapkan dari atasan, tetapi terikat pada tucht Proklamasi 17-8-1945. Belimbing affairs cukup sudah membuka khalayak ramai yang berjiwa asli Republiken, ke mana hendak saya bawa perjuangan Bat. 38 dan ke mana pula hendak saya bawa rakyat pada umumnya.

Saudara yang bertanggung jawab atas organisasi Pesindo!

Lihat dan pelajarilah sedalam-dalamnya peristiwa-peristiwa di Selatan (Lodojo) dan sekitar Ponorogo yang terjadi pada bulan-bulan terakhir ini sesudah gencatan. Gencatan ini membawa akibat menggencet kita sendiri. Pembersihan di daerah selatan Blitar yang aktif dilakukan oleh Mobile Brigade Polisi dengan bantuan penuh dari Batalyon Sikatan yang menyebutkan sekarang namanya Batalyon S (harap awas) dan Batalyon Sobiran dari Tulungagung, yang kesemuanya ini perintah dari Let. Kol. Surachmad dan anjuran dari Cdt. SWK. III di Wonokerto daerah Malang, ialah Mayor Moechlas Rowi, terlihat bayangan-bayangan bahwa yang dimaksudkan “pembersihan” ini adalah mempunyai backing party dan kepentingan Belanda dengan menuduh membersihkan “kaum Merah” (progressief-patriotten). Ketahuilah Saudara-saudara Patih Gunawan, Mayor Natak telah menjadi korban pada bulan September 1949 yang baru lalu ini oleh kaum Si Pembersih! Sesuatu figur yang cakap dan yang dibutuhkan oleh masyarakat dengan pendirian yang kokoh tegas.

Cukup sudah pengakuan saya tertera di atas, dan bermohon saya dengan sangat dan hormat terhadap organisasi Pesindo, untuk segera membersihkan suasana sekitar pengakuan saya ini. Suatu saksi untuk memperkuat pengakuan saya ini, dapat saya keluarkan secara pampletten op roneo (surat edaran) dengan tanda tangan saya, untuk membuktikan pembunuhnya itu, ialah satu konsekuensi dari pihak Batalyon 38 dengan pasti akan timbulnya persengketaan dan pertikaian ke dalam yang tidak kita inginkan.

Sekian pengakuan saya dan siap-sedia pula untuk satu saat menunjukkan kuburan-kuburan dari pada mereka di Besuki itu.

 

Sekali Merdeka tetap Merdeka.

Vide et crede. Selesai!

Dikeluarkan     : Mosbat

Pada tanggal   : 4 November 1949

Jam                  : 10.00

Commandant

(Mayor Zainul Sabarudin)