Mengapa Marxis Menentang Terorisme Individual

Leon Trotsky (1911)

 


Sumber: Why Marxist Oppose Individual Terrorism. Trotsky Internet Archive

Penerjemah: MS (Februari 2007)

Diterbitkan pertama kali di Jerman di Der Kampt, November, 1911


Musuh kelas kita mempunyai kebiasaan mengeluh tentang terorisme kita. Yang mereka maksud tentang ini adalah kurang jelas. Mereka ingin mengecap semua aktivitas kaum proletariat yang ditujukan terhadap kepentingan musuh kelas sebagai terorisme. Mogok kerja, di mata mereka, adalah metode utama terorisme. Ancaman mogok kerja, pengorganisasian demonstrasi mogok kerja, boikot ekonomi terhadap para bos, boikot moral terhadap pengkhianat dari anggota kita sendiri – semua ini mereka sebut terorisme. Bila terorisme dimengerti sebagai semua aksi yang mengakibatkan ketakutan, atau melukai musuh, maka tentu saja seluruh perjuangan kelas adalah terorisme. Dan satu-satunya pertanyaan yang tertinggal adalah apakah politisi borjuis mempunyai hak untuk menuang air bah keberangan moral mereka terhadap terorisme kaum proletariat ketika seluruh aparatus negara mereka dengan hukum-hukumnya, polisi, dan tentara merupakan aparatus teror kaum kapitalis.

Akan tetapi, harus dikatakan bahwa ketika mereka mengkritik kita tentang terorisme, mereka berusaha – walaupun tidak selalu dengan sadar – untuk memberikan kata tersebut sebuah arti yang lebih sempit, yang lebih terus terang. Contohnya, pengrusakan mesin oleh buruh adalah terorisme dalam arti yang sempit tersebut. Pembunuhan seorang bos, ancaman untuk membakar sebuah pabrik atau ancaman mati terhadap pemilik pabrik, sebuah usaha pembunuhan terhadap pejabat pemerintahan dengan pistol – semua ini adalah aksi teroris dalam arti yang sebenarnya. Akan tetapi, setiap orang yang mempunyai pengertian mengenai watak sejati dari Sosial Demokrasi internasional haruslah tahu bahwa Sosial Demokrasi menentang terorisme macam ini dan menentangnya dengan tanpa kompromi.

Mengapa?

‘Menteror’ dengan ancaman mogok kerja, atau dengan benar-benar melakukan mogok kerja adalah sesuatu yang hanya bisa dilakukan oleh buruh industri. Makna sosial dari mogok kerja tersebut tergantung secara langsung dari, pertama-tama, besarnya pabrik atau cabang industri yang terpengaruh oleh mogok kerja tersebut, dan kedua, pengorganisasian, disiplin, dan kesiapan aksi dari buruh yang terlibat mogok kerja tersebut. Seperti halnya pemogokan ekonomi, ini adalah sama benarnya untuk pemogokan politik. Ini selalu menjadi metode perjuangan yang bersumber langsung dari peranan produksi kaum proletariat di jaman masyarakat moderen. 

Mengecilkan Peranan Massa

Untuk berkembang, sistem kapitalisme memerlukan sebuah superstruktur parlemen. Tetapi karena kapitalisme tidak bisa mengurung kaum proletariat moderen di dalam isolasi politik, cepat atau lambat dia harus mengizinkan buruh untuk berpartisipasi di dalam parlemen. Di dalam pemilihan umum, karakter massa dari proletariat dan level perkembangan politiknya – quantitas yang sekali lagi ditentukan oleh peranan sosial proletariat, dalam arti lain, peranan produksinya – menemukan ekspresinya.

Seperti halnya di dalam sebuah mogok kerja; metode, tujuan, dan hasil dari perjuangan di dalam pemilihan umum selalu tergantung dari peranan sosial dan kekuatan proletariat sebagai sebuah kelas. Hanya buruhlah yang bisa melaksanakan mogok kerja. Para tukang yang dihancurkan oleh pabrik, petani yang airnya diracuni oleh pabrik, atau lumpenproletariat (kriminal, pengemis, penganggur, dll) dalam usahanya untuk mencuri dapat menghancurkan mesin-mesin, membakar sebuah pabrik, atau membunuh pemilik pabrik.

Hanya kelas buruh yang sadar dan terorganisasi dapat mengirimkan representasi yang kuat ke dalam parlemen untuk membela kepentingan proletariat. Akan tetapi, untuk membunuh pejabat penting, anda tidaklah membutuhkan massa yang terorganisasi di belakang anda. Resep untuk bom tersedia untuk semua orang, dan Browning (sebuah merek dari senjata api – catatan penerjemah) dapat diperoleh dimana saja. Dalam kasus yang pertama, ada sebuah perjuangan sosial dimana metode dan caranya haruslah bersumber dari struktur sosial pada saat itu; dan di kasus yang kedua, sebuah reaksi murni mekanikal yang serupa dimana saja – di Cina ataupun di Prancis – sangatlah menyolok di dalam penampilan luarnya (pembunuhan, pemboman, dll) tetapi tidak berbahaya sama sekali bagi sistem sosial.

Sebuah mogok kerja, bahkan yang sedang-sedang saja ukurannya, mempunyai konsekwensi sosial: penguatan rasa percaya diri para buruh, perkembangan serikat buruh, dan bahkan tidaklah jarang menghasilkan kemajuan teknologi produksi. Pembunuhan seorang pemilik pabrik hanyalah menghasilkan efek yang bersifat kepolisian saja, atau penggantian pemilik pabrik tanpa makna sosial apapun. Apakah sebuah usaha terorisme, walaupun yang berhasil, melempar kelas penguasa ke dalam kekacauan tergantung dari kondisi politik yang konkrit. Bagaimanapun juga, kekacauan tersebut hanyalah sementara; negara kapitalis tidaklah mendasarkan dirinya dalam pejabat-pejabat pemerintah dan tidak dapat dihancurkan dengan pembunuhan pejabat-pejabat. Kelas yang dilayani oleh negara kapitalis tersebut akan selalu mendapatkan orang-orang yang baru; mekanismenya akan tetap utuh dan tetap berfungsi.

Akan tetapi kekacauan yang disebabkan oleh usaha terorisme ke dalam massa buruh adalah lebih dalam. Bila cukup dengan mempersenjatai diri sendiri dengan sebuah pistol untuk mencapai tujuan, apa gunanya usaha perjuangan kelas? Bila secuil mesiu dan sebongkah timah adalah cukup untuk menembus leher musuh, apa gunanya organisasi kelas? Bila masuk akal untuk menakuti orang penting dengan gemuruh ledakan bom, apa gunanya sebuah partai? Apa gunanya pertemuan, agitasi massa, dan pemilihan umum bila seseorang bisa dengan mudah membidik bangku pejabat dari galeri parlemen?

Di mata kami, teror individual tidak bisa diterima karena dia mengecilkan peranan massa di dalam kesadaran mereka sendiri, membuat massa menerima ketidakberdayaan mereka, dan mengalihkan mata dan harapan mereka ke seorang pembalas dendam dan pembebas yang maha besar yang pada suatu hari akan datang dan menuntaskan misinya. Nabi anarkis “propaganda aksi” (“Propaganda aksi” atau “Propaganda of the deed” adalah salah satu konsep anarkisme yang membenarkan aksi terorisme individual terhadap musuh politik sebagai cara untuk memberikan inspirasi terhadap massa dan mendorong terjadinya revolusi. – catatan penerjemah) dapat berargumen semau mereka tentang efek terorisme yang mengangkat dan merangsang massa. Pertimbangan teori dan pengalaman politik membuktikan sebaliknya. Semakin ‘efektif’ sebuah aksi teroris, semakin besar pengaruhnya, semakin banyak aksi-aksi tersebut mengurangi minat massa untuk berorganisasi dan mendidik diri mereka sendiri. Tetapi asap dari kekacauan tersebut akan hilang, rasa panik akan menghilang, pengganti pejabat yang dibunuh akan menampilkan dirinya, kehidupan kembali lagi ke rutinitas yang dulu, roda eksploitasi kapitalisme berputar seperti dahulu; hanya represi polisi yang bertambah kejam dan berani. Dan sebagai akibatnya, kekecewaan dan apati menggantikan harapan yang membakar dan pengobaran hati yang dirangsang secara artifisial.

Usaha dari reaksioner untuk mengakhiri mogok kerja dan gerakan massa buruh pada umumnya selalu berakhir dengan kegagalan. Masyarakat kapitalis membutuhkan kaum proletariat yang aktif, mudah bergerak, dan pintar; maka dari itu, dia tidak dapat mengikat kaki dan tangan proletariat terlalu lama. Sebaliknya, anarkis “propaganda aksi” sudah menunjukan setiap saat bahwa negara mempunyai lebih banyak metode penghancuran fisik dan represi mekanikal dari pada kelompok teroris.

Bila demikian, bagaimana dengan revolusi? Apakah revolusi menjadi tidak mungkin karena kondisi tersebut? Tidak sama sekali. Karena revolusi bukanlah terdiri dari kumpulan sederhana metode mekanikal. Revolusi dapat terjadi hanya dari menajamnya perjuangan kelas, dan revolusi hanya dapat menjamin kemenangannya dari peranan sosial kaum proletariat. Mogok politik massa, pemberontakan bersenjata, penaklukan kekuatan negara – semua ini ditentukan oleh level perkembangan produksi, posisi kekuatan kelas-kelas, pentingnya peranan sosial kaum proletariat, dan pada akhirnya, komposisi sosial dari tentara, karena tentara bersenjata merupakan faktor yang pada saat revolusi menentukan nasib kekuatan negara.

Sosial Demokrasi cukup realistik untuk tidak menghindari revolusi yang berkembang dari kondisi sejarah saat ini; sebaliknya, Sosial Demokrasi bergerak untuk menghadapi revolusi dengan mata terbuka lebar. Akan tetapi – berlawanan dengan kaum anarkis dan berjuang melawan mereka secara langsung – Sosial Demokrasi menolak semua metode dan cara yang bertujuan untuk memaksa perkembangan masyarakat secara artifisial dan menggantikan kekuatan revolusi kaum proletariat yang belum cukup matang dengan peracikan bahan kimia. (baca bom – catatan penerjemah).
Sebelum terangkat ke level metode perjuangan politik, terorisme menampilkan dirinya dalam bentuk aksi balas dendam individual. Seperti itulah di Rusia, tanah terorisme yang klasik. Pemukulan tawanan politik mendorong Vera Zasulich untuk mengekspresikan kemarahan dengan usaha pembunuhan Jendral Trepov. Aksinya dicontoh oleh kaum intelektual revolusioner yang tidak mempunyai dukungan massa. Apa yang saat itu dimulai sebagai aksi balas dendam yang tidak terencana dikembangkan menjadi sebuah sistem dari tahun 1879 sampai 1881. Ledakan insiden pembunuhan oleh kaum anarkis di Eropa Barat dan Amerika Utara selalu datang setelah sejumlah kekejaman yang dilakukan oleh pemerintah – penembakan para pemogok kerja atau eksekusi lawan politik. Sumber psikologi yang paling penting dari terorisme adalah selalu perasaan balas dendam dalam usaha mencari jalan keluar.

Tidaklah perlu untuk mengulang bahwa Sosial Demokrasi sama sekali tidak serupa dengan kaum moralis yang, dalam menanggapi setiap aksi terorisme, membuat pernyataan tentang ‘nilai absolut’ dari jiwa manusia. Mereka ini adalah orang-orang yang sama yang, pada saat kesempatan yang lain, di dalam nama nilai absolut yang lain – contohnya, kehormatan negara atau kemuliaan monarki – sudi untuk mendorong jutaan manusia ke neraka perperangan. Hari ini, pahlawan nasional mereka adalah pejabat yang memberikan hak kepemilikan pribadi yang suci, dan esok hari, ketika buruh penganggur yang putus asa mengepalkan tangannya atau mengangkat senjata, mereka akan memulai semua omong kosong tentang tidak layaknya kekerasan dalam segala bentuk.

Apapun yang dikatakan oleh para kasim dan kaum Farisi (baca munafik – catatan penerjemah) tentang moralitas, ada kebenaran di dalam perasaan balas dendam. Perasaan balas dendam memberikan pengakuan terbesar terhadap kelas buruh bahwa mereka tidak melihat apa yang terjadi di dunia ini dengan ketidakpedulian. Bukan untuk mematikan perasaan balas dendam kaum proletariat yang belum terpenuhi, sebaliknya untuk merangsang perasaan tersebut lagi dan lagi, untuk memperdalamnya, untuk mengarahkannya melawan sebab yang sesungguhnya dari ketidakadilan dan kekejian manusia – inilah tugas dari Sosial Demokrasi.

Bila kami menentang aksi teroris, ini hanya karena aksi balas dendam individual tidaklah memuaskan kami. Masalah yang harus kita selesaikan dengan sistem kapitalisme terlalu besar untuk diwakili oleh beberapa pejabat. Untuk belajar melihat semua kejahatan terhadap kemanusiaan, semua penghinaan yang diterima oleh tubuh dan jiwa manusia yang merupakan ekspresi dan kepanjangan dari sistem sosial masa kini, untuk mengarahkan semua tenaga kolektif kita dalam melawan sistem tersebut – inilah arah darimana hasrat membara untuk balas dendam dapat menemukan kepuasan moral yang tertinggi.